Dušan Tadić merupakan salah satu dari kepingan terbaik Southampton ketika masih diperkuat Sadio Mané, Nathaniel Clyne, Graziano Pellè, Toby Alderweireld, Jose Fonte, dan Morgan Schneiderlin. The Saints yang kala itu diarsiteki Ronald Koeman bisa bertahan di papan tengah Premier League–bahkan menggapai peringkat lebih tinggi–meski harus kehilangan sang gaffer, Mauricio Pochettino, dan melakukan “bedol desa” dengan melepas banyak bintang mereka seperti Adam Lallana, Luke Shaw, Dejan Lovren, serta pemain potensial, Calum Chambers.
Selama empat musim memperkuat Southampton, secara taktikal Tadić tidak mendapatkan banyak dukungan. Kedatangan gelandang bertipe agresif seperti Nathan Redmond dan Sofiane Boufal tidak berpengaruh banyak. Tadić seakan menjadi penopang beban dan harus melakukan semua tugas di lini tengah.
Bagi perantau, termasuk Tadić, pindah ke Inggris selalu bukan hal yang mudah. Banyak yang akhirnya berakhir menjadi partyhead untuk mengisi kesepian mereka. Publik tentu masih ingat bagaimana kehancuran karier Andy van der Meyde saat pindah ke Everton. Yang paling mutakhir, Memphis Depay yang akhirnya menjadi bulan-bulanan di Manchester United.
Baca juga: Memphis Depay yang Hidup Kembali Bersama Lyon
Definisi Zona Nyaman
Bergerak dari zona nyaman bukan hal yang mudah. Apalagi, setiap orang memiliki pengertian akan zona nyaman-nya sendiri.
Penulis lebih suka dengan definisi zona nyaman yang diutarakan Richie Norton dalam The Power Of Starting Something Stupid. Lain dengan pemahaman kebanyakan penulis atau motivational speaker lainnya, Norton mengibaratkan comfort zone sebagai wilayah yang harus diperluas, bukan petak-petak yang harus kita lompati.
“It’s not about getting out of your comfort zone to reach your goal. It’s about widening your comfort zone so far that your goal fits comfortably inside. Once you do that, hitting your goals will be like hitting 3s for Steph Curry.”
Istilah “Zona Nyaman” sendiri populer semenjak era 2000-an. Kemunculan motivational speaker atau yang biasa kita kenal sebagai motivator, membuat istilah ini populer. Walaupun, tentu saja tidak ada definisi persis tentang “comfort zone” alias semuanya kembali pada pemahaman masing-masing. Ada yang memahaminya sebagai zona di mana kita harus menghentikan kebiasaan buruk, pindah ke tempat yang lebih baik, atau menafsirkannya dengan mencoba melakukan hal di luar kebiasaan.
Pribadi seperti Tadić juga paham betul definisi zona nyaman menurut dirinya sendiri. Sebagai pesepakbola, bermain dengan apik selalu menjadi tujuan akhir. Begitu pula dengan tawaran-tawaran dari klub yang pernah ia perkuat di luar tanah kelahirannya, Serbia.
Petualangannya di Belanda dan Inggris akan selalu diingat banyak orang. Namun, zona nyaman baginya bukanlah terus menerus mencari apa yang menurutnya menantang. Ia mungkin tersadar bahwa yang terbaik baginya adalah kembali dekat dengan keluarganya dan membiarkan takdir membawanya selagi ia bekerja maksimal.
Kalau kita ingat bagaimana briliannya seorang Matt LeTissier atau Fabio Quagliarella, mungkin sebagian orang akan mencemooh karena keengganan mereka pergi keluar menantang zona nyaman. Keduannya adalah contoh kecil bagaimana pesepakbola menolak meninggalkan apa yang mereka rasa membuat dirinya nyaman. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memperluas zona nyaman mereka dengan bekerja keras, tanpa harus menderita karena mengalami homesick atau jauh dari keluarga mereka.
Keputusan Tadic kembali ke Belanda mudah dipahami banyak orang. Belanda tentunya sulit dipisahkan dari karier seorang Dušan Tadić. Empat tahun dari karier profesionalnya bersama FK Vojdovina, Tadić merantau ke Eredivisie. Groningen menjadi klub pertamanya di Belanda. Debutnya terbilang spektakuler. Ia menyelesaikan musim 2010/2011 dengan raihan 7 gol dan 22 asis dalam semusim. Pada musim itu, ia hanya kalah dari raihan Mesut Ozil (26 asis) dan Lionel Messi (25 asis).
Perjalanan karier pemain bertinggi badan 181cm tersebut berlanjut dengan bergabung bersama FC Twente selama 2 musim hingga 2014. Bersama Twente, ia mencetak 24 gol dari total 70 penampilan. Raihan yang pastinya membuat klub-klub berebut memakai jasanya, sebelum akhirnya memutuskan ikut bersama Ronald Koeman di stadion St. Marry dan memperkuat klub kebanggan kota pantai selatan Inggris tersebut selama empat musim.
Revolusi Peran Seorang Tadić
Berita bergabungnya Tadić ke Ajax Amsterdam pada Juni 2018 lalu tentu membuat sebagian orang terheran-heran. Apalagi, dengan usianya yang sudah berkepala tiga. Ditambah nilai transfer yang lumayan, yaitu hampir menyentuh angka 14 juta Euro.
Sudah jelas, Tadić merindukan Belanda. Negara yang berhasil membuat kariernya terdongkrak sejauh ini. Ditambah, ia telah memboyong sanak keluarganya ke negeri Oranye. Alasan yang membuatnya semakin mantap untuk mennggalkan Inggris dan kembali ke Belanda.
Lantas, apakah dengan kembali ke Belanda, Tadić memilih untuk berhenti bergerak keluar zona nyamannya? Jawabannya: Tentu saja tidak.
Di Ajax, kali ini Tadić dituntut untuk memerankan peran yang berbeda. Ia diplot untuk mengisi posisi “Nomor 9”. Tak perlu repot untuk berusaha membangun serangan, Tadić akan mundur dan mencari celah pertahanan kemudian melesatkan bola ke gawang lawan. Sejauh ini, Tadić menjadi pencetak gol terbanyak bagi Ajax di Eredivisie dengan 19 gol dengan rasio shot on target yang tertinggi yaitu 74 persen.
Ajax seakan paham keistimewaan Tadić. Ia tidak dibebani tugas seperti yang dilakukan saat bersama Southampton, di mana ia menjadi tulang punggung lini tengah. Di Ajax, ada dukungan penuh dari pemain-pemain yang eksplosif seperti Hakim Ziyech, David Neres, dan Lasse Schone.
Hal ini jelas merupakan perubahan besar bagi pemilik nomor punggung “10” ini. Kejelian Erik ten Hag, sang pelatih yang juga pengagum sepakbola menyerang untuk melihat kemampuan Tadić sesungguhnya, patut diapresiasi. Tadić yang dahulu dikenal sebagai gelandang serba bisa, kini menjadi senjata mencetak gol bagi Ajax. Saking vitalnya, Tadić selalu bermain di setiap laga yang dijalani de Godenzonen pada musim ini.
Baca juga: Spektakuler, Ajax Hancurkan Real Madrid 4-1
Puncaknya adalah penampilan Tadić bersama Ajax di partai perempatfinal Liga Champions kontra Real Madrid. Tadić mencatatkan sebuah gol dan 2 buah asis, lengkap dengan Man Of The Match. Ajax menggulung Real Mdrid di kandangnya dengan skor telak 4-1. Saking impresifnya penampilan Tadić, majalah kenamaan L’Equippe memberi rating 10 pada laga tersebut.
Peluang Tadić meraih trofi musim ini masih terbuka lebar mengingat Ajax yang melaju ke semifinal Piala KNVB, berada di posisi perebutan kampiun Eredivisie, dan siapa tahu… Liga Champions.
***
Bersama Ajax, kini Dušan Tadić berhasil menaikkan levelnya menjadi lebih tinggi. Tentunya tak lepas dari pilihannya untuk kembali kepada zona nyamannya. Jika dihubungkan dengan kutipan seorang Richie Norton tentang pengertin zona nyaman, Tadić berhasil memperluas zona nyamannya dan tinggal beberapa langkah lagi mencetak lemparan 3 poin seperti Stephen Curry.