Fabio Grosso dan Penalti Terakhir yang Bawa Italia Juara Piala Dunia 2006

Italia mengalami kenyataan pahit di final Piala Dunia 1994, kalah dalam drama adu penalti dari Brasil. Pertandingan dilanjutkan dengan adu tendangan 12 pas, setelah skor tanpa gol tidak berubah selama waktu normal hingga extra time. Sialnya, tiga penendang Gli Azzurri gagal memberikan skor termasuk algojo terakhir Roberto Baggio yang tendangannya melayang tinggi, dan Brasil akhirnya jadi juara.

12 tahun kemudian, kegagalan itu pun menghantui Fabio Grosso menjelang babak adu penalti antara Italia vs Prancis di final Piala Dunia 2006. Kekalahan di final Piala Dunia 1994 itu tampaknya seperti menjadi kutukan untuk sepakbola Negeri Pizza. Apalagi bagi seorang Grosso yang selama ini sangat jarang diberi kepercayaan untuk mengambil tendangan penalti, baik di timnas maupun di level klub.

Penendang Kelima

“Mengapa saya?” kenang Grosso.

Itulah reaksi dan jawaban spontan darinya ketika ditunjuk sebagai salah satu algojo Italia dalam adu penalti di final Piala Dunia 2006 tersebut. Dia mengaku heran saat diminta oleh pelatih Marcelo Lippi untuk mengambil salah satu penalti dalam laga penting seperti itu. Apalagi, bek kiri tersebut ditunjuk sebagai penendang kelima, alias yang terakhir dalam sesi normal.

Grosso memahami bahwa selama ini dia tak pernah termasuk dalam lima penendang penalti pilihan Italia sebelum partai final itu. Andrea Pirlo, Marco Materazzi, Daniele De Rossi, Alessandro Del Piero dan Francesco Totti adalah nama-nama yang ada di benak pelatih. Meski Totti sudah ditarik keluar, masih ada kandidat lain yang lebih baik; Luca Toni, Vincenzo Iaquinta atau kapten Fabio Cannavaro.

Selain itu, Grosso juga masih terbayang kegagalan Italia dalam adu penalti di sejumlah laga penting. “(Ada) Kutukan pada Italia untuk adu penalti dan perpanjangan waktu. Ada final Piala Dunia 1994, perempat final 1998, Euro 2000. Hal yang sama mengkhawatirkan kami sebelum final (2006),” ucap pemain yang saat itu berusia 29 tahun dan dalam proses perpindahan dari Palermo ke Inter Milan.

Tendangan Sempurna

Begitulah perasaan Grosso secara mental saat menghadapi drama adu penalti final Piala Duna 2006 itu. Bahkan, ketika itu dia masih ingat momen terakhir kalinya mengambil tendangan penalti sebelum partai puncak di Berlin, Jerman tersebut. Penalti terakhirnya itu terjadi lima tahun sebelumnya, dan itu pun di Serie C2, kasta keempat Liga Italia, ketika masih bermain dengan Chieti periode 1999-2001.

Tapi, Lippi berusaha meyakinkan pemainnya itu. “Karena Andalah orangnya di menit-menit terakhir,” katanya dengan tegas menjawab pertanyaan “mengapa saya?” dari Grosso saat itu. Pernyataan itu mengacu pada gol telatnya dalam extra time semi final melawan tim tuan rumah Jerman dengan skor akhir 2-0, dan aksinya yang menghasilkan penalti untuk kemenangan atas Australia dalam 16 besar.

Pada akhirnya, Grosso harus memantapkan hatinya. “Saya memaksakan diri untuk tetap tenang di dalam,” katanya lagi mengingat momen itu.

“Pengalaman tidak berarti apa-apa di saat-saat seperti itu. Tentu saja, Anda harus memiliki tekniknya, tetapi yang terpenting, ini tentang mencapai kondisi mental yang sangat spesifik di detik-detik sebelum pengambilan gambar,” ujarnya menambahkan.

Empat algojo pertama Italia; Pirlo, Materazzi, De Rossi dan Del Piero bekerja dengan baik. Sedangkan penendang kedua Prancis, David Trezeguet malah gagal setelah tendangannya membentur mistar gawang. Keunggulan pun membuat Grosso jadi lebih baik. Dan, dia berhasil melepaskan tendangan penalti yang sempurna, tinggi dan keras ke kiri, sementara kiper lawan bergerak ke arah yang salah.

Mengakhiri Kutukan

Meski dengan hanya sedikit pengalaman penalti, dan dihantui pula oleh bayangan kegagalan Italia di final Piala Dunia 1994, namun Grosso akhirnya mampu menunaikan harapan dan impian bangsanya.

“Kali ini kami memiliki sumber daya untuk tetap tenang. Lippi membantu melampaui kami dengan percaya diri,” kata pemain yang memulai karier Serie A usia 24 tahun bersama Perugia pada 2001 itu.

Juara Piala Dunia 2006 itu pun jadi prestasi tertinggi bagi Grosso, yang lima tahun sebelumnya masih bermain di divisi empat. Sebelumnya, dia hanya pernah memenangkan Piala Intertoto 2003 bersama Perugia.

Tapi, satu hal yang paling penting baginya adalah, “Saya akan selalu ingat bahwa saya telah mengakhiri kutukan Italia,” pungkas full-back yang juga pernah membela Lyon dan Juventus itu lagi.

Setelah Piala Dunia 2006 itu, pemain yang mengawali karier profesionalnya dari liga amatir bersama Renato Curi sejak 1994 tersebut sempat bermain selama semusim untuk Inter. Kemudian, dia pindah ke Prancis memperkuat Lyon selama periode 2007-2010, sebelum kembali ke Italia untuk bermain Juventus hingga pensiun pada 2012. Setelah gantung sepatu, Grosso melanjutkan karier sepakbola sebagai pelatih, dan baru saja berhasil mengantarkan Frosinone promosi ke Serie A 2023/3024.

Sumber: FIFA.com