Hanya diikuti oleh 10 kesebelasan pada 2004, Major Leagues Soccer (MLS) kini sudah menjadi salah satu liga utama dengan jumlah peserta terbanyak di dunia. Total, 24 kesebelasan akan bertarung memperebutkan MLS Cup 2019.
Penambahan jumlah peserta MLS ini tidak lepas dari sistem franchise yang dianut oleh liga sepakbola di Amerika Serikat. Promosi dan degradasi tak menentukan di mana sebuah tim bermain. Faktor utamanya adalah uang. MLS lebih memilih diikuti 10 kesebelasan dengan kondisi ekonomi sehat dibandingkan 18 tapi tidak jelas nasibnya seperti di Indonesia.
Kebijakan itu perlahan membuahkan hasil, Los Angeles FC, Atlanta, dan Minnesota United, adalah nama-nama baru yang mengisi MLS dalam beberapa tahun terakhir dan pada 2019, satu tim lagi mencuat ke liga paling prestius di tanah Paman Sam: FC Cincinnati.
Melihat kesuksesan Atlanta United yang berhasil jadi juara MLS 2018, status anak baru tentu tidak membuat mereka dapat dipandang sebelah mata. Sebaliknya, kesebelasan-kesebelasan ‘veteran’ layaknya, New York Red Bull dan New England Revolution harus waspada dengan FC Cincinnati.
Masuk ke Zona Timur MLS, FC Cincinnati bukanlah tim yang baru lahir. Mereka jelas masih muda, lahir pada 2015. Tapi mereka juga sudah memiliki piala. FC Cincinnati bahkan akhiri pertualangan mereka di United Soccer League (USL) sebagai juara musim reguler. Unggul jauh dari Tampa Bay Rowdies yang dibela mantan pemain Chelsea, Joe Cole.
Hanya dalam tiga tahun, FC Cincinnati mengangkat empat piala. IMG Suncoast Pro Classic, River Cities Cup (2016), Queen City Cup (2016, 2017), dan USL Regular (2018). Si Oranye dan Biru -julukan Cincinnati- sudah mengincar MLS sejak 2016. Jelas mereka tidak main-main menghadapi musim perdananya.
“Juru kunci zona timur ? Itu yang saya dengar saat kabar FC Cincinnati masuk MLS. Kita lihat saja nanti, semoga kami dapat membungkam orang-orang tersebut,” kata gelandang Cincinatti, Fatai Alashe.
“Waktu di Atlanta, juga banyak yang meremehkan kami,” ungkap Greg Garza, bek anyar Cincinnati yang diboyong dari juara MLS 2018, Atlanta United.
Disokong Miliarder Kesayangan Daerah
Menanti tiga tahun untuk bisa bermain di MLS, FC Cincinnati sudah mempersiapkan diri mereka sejak pertama dibangun oleh Carl Lindner III pada 2016. Lindner III merupakan anak dari orang terkaya di dunia, Carl Lindner Jr.
Semasa hidupnya, Lindner Jr. banyak membantu tempat kelahirannya dengan memberikan dana ke institusi pendidikan, membangun perusahaan asuransi, hingga membentuk media cetak khusus untuk daerah. Lindner III juga melakukan hal yang sama dan keberadaannya di dalam FC Cincinnati langsung membuat kesebalasan itu jadi idola daerah.
Pada musim perdana mereka di USL, FC Cincinnati sampai mencatatkan rekor pengunjung terbanyak di liga dengan rata-rata 17.296 pengunjung setiap pertandingannya. Angka itu mengalahkan pencapaian rival mereka, Columbus Crews di MLS 2016 (17.125).
“Semua terjadi karena kami disokong oleh Keluarga Lindner. Memiliki fondasi yang baik adalah awal dari segalanya,” ungkap General Manajer FC Cincinnati Jeff Berding. “Lindner tahu ini [bermain di MLS] adalah sebuah ujian. Tapi dia tetap tenang dan melihat ujian itu sebagai tantangan,” lanjut Berding.
Percaya Akan Progres
Menurut Cincinnati Enquirer, ketika masih anak-anak, Lindner III sering ikut ke peternakan ayahnya dan menjadi alat ukur kualitas susu di sana. “Lindner III merupakan penentu dari kualitas di United Dairy Farmers. Dia yang memastikan bahwa semuanya memiliki kualitas bagus,” tulis Sharon Coolidge dari Cincinnati Enquirer.
Hal yang sama juga ia lakukan kepada FC Cincinnati. Lindner III tidak pernah melihat ke arah lain selain MLS ketika ia membangun klub. Setidaknya itulah yang dikatakan George Joseph, rekan bisnis sekaligus teman sekolah Lindner. “Ia selalu mempersiapkan tim ini untuk MLS. Bukan sekedar kesebelasan tapi anggota dari tim elit di MLS,” kata Joseph.
Keseriusan Lindner membangun FC Cincinnati itu terlihat dari skuat Si Oranye dan Biru untuk MLS 2019. Memiliki 29 pemain, 19 di antara mereka merupakan pemain-pemain yang sudah membela klub sejak masih di USL.
Memenangkan musim reguler, memborong empat dari delapan penghargaan individu, memang tak alasan untuk pelatih terbaik USL 2018, Alan Koch, mengubah banyak hal dari tim asuhannya.
“Semua pemain yang bertahan di sini punya alasan untuk bermain di MLS. Mereka sudah berjuang dan memenangkan musim reguler USL dengan sangat mudah. FC Cincinnati jelas membangun tim berkualitas,” puji jawara MLS Cup 2018, Greg Garza.
Nama-nama populer seperti Emmanuel Ladesma (eks-Middlesbrough), Roland Lamah (eks-Swansea), dan Przemyslaw Tyton (eks-PSV) mengisi deretan pemain Cincinnati. Mereka bahkan menjadi kesebelasan USL pertama yang berhasil mendaratkan ‘designated player‘ dalam diri Fernando Adi.
Mayoritas pemain FC Cincinnati sudah disiapkan untuk MLS setidaknya sejak 2018. Sebuah modal yang tidak dimiliki Atlanta United ataupun LAFC yang langsung bermain di MLS sejak pertama berdiri.
Tidak Semua Senang Lindner
FC Cincinnati besar karena pengaruh pemilik mereka, Carl Lindner III. Namun Lindner juga sadar bahwa dia dan kesebelasan miliknya tak akan menjadi apa-apa tanpa dukungan dari warga Cincinnati.
Oleh karena itulah Lindner tidak membangun FC Cincinnati semata-mata untuk memutar uang di sepakbola, tapi juga memberikan balas budi kepada warga sekitar. Lindner bahkan disebut menggelontorkan uang pribadinya untuk membangun stadion. Padahal dirinya bisa saja bekerja sama dengan pemimpin daerah dan menggunakan uang warga untuk hal itu.
Sayangnya, tidak semua pihak senang dengan Lindner dan FC Cincinnati. Joe Mallory, wakil presiden dari salah satu organisasi hak asasi manusia di Amerika Serikat, NAACP, merasa Lindner III hanya menggunakan sepakbola dan stadion sebagai alat memutar uang. Bukan membangun komunitas di Cincinnati.
“Membangun stadion bukanlah cara untuk balas budi kepada warga. Jika dia [Lindner III] memang ingin memberikan sesuatu kepada komunitas di Cincinnati, banyak hal yang bisa dilakukan selain membangun stadion,” kata Mallory. “Pada dasarnya, di mana ada sebuah indistri, akan datang pula uang,” lanjutnya.
Meski demikian, FC Cincinnati terlihat menjanjikan. Mereka memiliki pemilik yang bukan hanya berlimpah harta, tapi juga peduli terhadap warga. Pemain-pemainnya telah main bersama sebelum masuk MLS, dan paling penting, mereka juga mendapat dukungan luar biasa dari warga Cincinnati.
Sekarang tinggal masalah waktu saja untuk membuktikan bahwa mereka datang ke MLS bukan sekedar karena memiliki uang.