Fenomena klub “AFC” di Inggris: Resistensi, dan Pentingnya Mendukung Klub Lokal

Hari ini pukul tiga sore di hari Sabtu, kami seharusnya bermain melawan Portsmouth. Saat ini, para pemain harusnya keluar dari lorong. Aku biasa duduk disana, tepat di atas huruf “A” di tulisan The Shakers – julukan Bury FC-. Kakakku biasanya sudah lebih dulu disana, karena dia selalu tepat waktu. Sungguh, ini sedikit emosional bagiku.

Hannah Monaghan adalah salah seorang pendukung Bury. Baginya dan puluhan ribu penduduk Bury lainnya, hari itu merupakan hari berduka cita. Bury FC, klub peserta divisi ketiga Inggris, League One, pada Agustus silam diputus oleh EFL sebagai operator liga untuk dilarang mengikuti liga karena gagal menunjukkan hal administrasi. Singkatnya, Bury dibubarkan.

Namun kesedihan Hannah dan penduduk kota Bury akan sedikit terobati. Otoritas sepakbola lokal tempat Bury berasal, The North West Counties Football League telah mengabulkan permintaan bagi Bury untuk kembali mengikuti kompetisi. Dengan nama baru, Bury AFC akan berlaga di divisi kesepuluh Inggris mulai musim 2020/2021.

Bury AFC menambah daftar klub-klub yang bangkit kembali di Inggris. Disadari atau tidak, menambah daftar klub-klub “AFC” di Inggris dalam dua dekade terakhir.

https://twitter.com/OfficialBuryAFC/status/1230777824400809985

Fenomena Klub AFC dan AFC “Phoenix club” di Inggris

AFC adalah singkatan dari Association Football Club, nama identik yang diberikan oleh para “pencipta” sepakbola modern di Cambridge. Sejarahnya, memang klub sepakbola mahasiswa universitas mereka, Cambridge University AFC adalah klub sepakbola pertama di dunia.

Namun penyebutan AFC di klub-klub sepakbola di Inggris ini cenderung tidak seragam bahkan kini langka, meskipun ketika itu olahraga sepakbola disebut sebagai associaton football bukan football saja. Misalnya, Sheffield Football Club (bukan Sheffield United) yang diklaim sebagai kesebelasan sepakbola pertama di dunia tak pernaH menyertakan “AFC” pada logonya melainkan hanya “S.F.C”.

Singkat cerita, para kesebelasan yang dulunya menyantumkan AFC di belakang namanya, perlahan melakukan re-branding. Leeds United misalnya, yang melepas tulisan AFC pada logo mereka pada tahun 1971 meskipun melakukan perubahan kembali ke AFC enam tahun kemudian dan melepasnya kembali pada 1998.

Tapi tak semua klub melakukan hal yang sama. Beberapa klub di dua divisi atas Inggris masih menggunakan AFC ini di logo mereka hingga kini. Klub asal Wales, Swansea misalnya yang tetap menggunakan term AFC ini sejak masih bernama Swansea Town. Ada pula Bournemouth yang tampil layaknya kesebelasan asal Italia: AFC Bournemouth. Alih-alih menggunakan association football club, Bournemouth menggunkan nama athletic football club karena alasan historis.

Apa yang digunakan oleh Bury sebenarnya bukan hal baru di Inggris. Malah, adalah istilah khusus dalam hal ini. Mereka menyebutnya sebagai phoenix club. Diambil dari nama burung dalam mitologi Yunani kuno, burung Phoenix adalah lambang dari kehidupan abadi karena hidup 500 tahun sebelum akhirnya terlahir kembali.

Mungkin kalian masih ingat kisah sebuah klub yang berhasil menumbangkan raksasa sepakbola Eropa ketika itu di laga final Piala FA 1988. Wimbledon FC dengan “Crazy Gang” nya berhasil menundukkan Liverpool. Kisah tragis Wimbledon bermula ketika klub mengalami kesulitan keuangan dan sang pemilik “menjual” secara franchise.

Wimbledon akhirnya pindah markas sekaligus kota. Pendukung Wimbledon yang kecewa langsung membuat klub phoenix yakni AFC Wimbledon pada 2002. Sempat bermain di divisi ke-9 Inggris, kini The Wombles bermain di divisi ketiga, League One dan bertemu dengan klub franchise yang telah menjelma menjadi MK Dons.

Kesamaan yang dialami Wimbledon atau Bury yakni “matinya” klub asli mereka. Namun dalam kasus lain, ada klub lain yang merupakan bentuk resistensi mereka terhadap klub asli, terutama terhadap jajaran manajemen. Hal ini juga yang mendasari kelahiran klub-klub baru bernafaskan “AFC” seperti AFC Liverpool, AFC Rushden & Diamonds, AFC Telford United, AFC Croydon Athletic.

Untuk kasus AFC Liverpool tak banyak yang menyangka bahwa AFC bukanlah association football club melainkan affordable football club (Indonesia: Kesebelasan Sepakbola Terjangkau). Hal ini dilakukan mengingat motivasi para pendiri AFC Liverpool untuk menolak tingginya harga tiket menonton klub Premier League seperti Liverpool. Kasus yang sama juga pernah dilakukan oleh FC United of Manchester sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemilik mereka, klan Glazer.

Pentingnya Mendukung Klub Lokal

Cerita yang dituturkan oleh Hannah di atas juga diungkapkan oleh sesama pendukung Bury lainnya, Helen. Dalam video dokumenter pendek yang dibuat oleh BBC, Helen berujar: “Kamu tahu, ketika ada orang yang tak benar-benar fans sepakbola, mereka hanya berkata ‘Mengapa kamu tak menonton saja Rochdale atau Bolton (Wanderers)?’ Mereka tidak mengerti apa-apa..” ujarnya.

Pendukung Bury lainnya, Zoe, menganggap bahwa klub sepakbola dari kota kecil seperti Bury punya arti lebih daripada sekadar kesebelasan sepakbola. Menurutnya, klub seperti Bury dan kota-kota kecil lainnya di Inggris, dapat menjadi tempat bagi anak muda sepertinya menggali pengalaman. Zoe bercerita bagaimana ia pernah menimba pengalaman mengurusi tiket, hingga belajar memotret pertandingan sepakbola.

Bury seperti klub-klub pada umumnya di Inggris memiliki landasan berbasis komunitas (community based). Pendukungnya bisa turun langsung menjadi tim jurnalis dan media, mengurusi stadion, mengurusi penjualan tiket,atau mengurusi logistik tim. Matinya suatu klub berarti juga matinya kegiatan komunitas. Maka, sangat jarang dijumpai suatu stadion di Inggris sepi penonton. Bagi mereka, sebuah klub sepakbola tak hanya persoalan menonton sepakbolanya saja. Banyak hal lain dimana komunitas maupun penduduknya merasa terlibat dan dilibatkan.

Sebagai orang Indonesia, saya heran mengapa di negara yang katanya penonton sepakbola terbesar di dunia tidak mengikuti model seperti ini. Maaf, mayoritas pengemar sepakbola di sini masih glory hunter alias mengejar kemanangan belaka. Maka jika di Inggris klub franchise seperti MK Dons akan ditinggalkan, maka akan berbeda bila itu terjadi di Indonesia. Tak apa pendukung tak dilibatkan di dalam klub, asal menjanjikan kemenangan. Tak apa klub franchise, asal menjanjikan kemenangan.

Penulis bahkan sering membayangkan, seperti apa jadinya jika pendukung sepakbola di sini berpikir seperti mereka. Berjuang demi menghidupkan kembali kesebelasannya, tak peduli bermain di divisi berapa, bermodalkan pemain-pemain seperti apa, atau membuat klub baru sebagi bentuk protes. Atau mungkin juga klub-klub “daerah” yang lebih lokal seperti Persikab, Persitara, atau PSB Bogor akan memiliki nasib berbeda, tak melulu harus kehilangan pendukung yang lari ke klub “kaya”.

Zoe si pendukung Bury dalam video dukumenter BBC tersebut, berkata: “Ketika uang dan kekuasaan mengambil alih, maka kamu akan kehilangan pandangan tentang apa yang sebenarnya paling penting di dalamnya. Orang-orang. Suporter.”

Bury AFC, AFC Liverpool, AFC Wimbledon, dan klub phoenix lainnya adalah contoh kecil bahwa sepakbola tak melulu soal kemenangan. Lebih dari itu, ia mewakili identitas, cita-cita, idealisme, serta bentuk perlawanan terhadap segelintir orang yang mulai mengenyahkan pentingnya arti masyarakat, komunitas, serta pendukung.