Ada suatu masa ketika Fernando Torres bagaikan sebuah badai yang tentu meluluhlantakkan apa yang dilhadapinya di atas lapangan hijau, dalam hal ini pertahanan lawan. Mirip julukan yang disematkan padanya: El Niño– yang kebetulan juga nama sebuah badai di lautan Pasifik yang kerapkali menimbulkan kekeringan dan juga hujan badai di lain tempat.
Penulis masih ingat, Torres di Liverpool adalah idola bagi semua anak-anak yang bermain bola di lapangan sekolahan maupun lewat game di rental-rental playstation. Apalagi dengan paras yang rupawan, Torres saat itu dengan mudahnya mengkonversi mbak-mbak untuk menjadi fans Liverpool, tanpa tahu sebenarnya klub tersebut tak kunjung juara Liga Inggris.
Pasti hanya sedikit yang tahu kalau awal kariernya, Torres bermain sebagai penjaga gawang, sampai akhirnya sebuah serial anime berjudul Captain Tsubasa turut andil mengubah garis hidupnya.
Bakat briliannya terendus kala bermain di klub pinggiran kota Madrid, Rayo Vallecano U13, padahal dirinya baru saja berusia 11. Lagipula, siapa yang tak kepincut dengan pemain muda yang mencetak 55 gol dalam satu musim kompetisi junior?
Bakat besarnya diasah oleh kesebelasan ibukota, Atletico Madrid. Berkat kesempatan yang diberikan pelatih Luis Aragones, Torres muda mampu memberikan keyakinan kepada para pendukung Los Rojiblancos. Comeback Atletico ke La Liga 2002/2003 setelah terdegradasi selama 2 musim diselamatkan Torres dengan mencetak 13 gol. Musim berikutnya, kala dibesut Gregorio Manzano, Torres menasbihkan dirinya sebagai striker masa depan Spanyol dengan mencetak 19 gol dalam usianya yang baru 20 tahun.
Enam tahun berkarier di tim senior Atleti, sepanjang itupun ia keluar sebagai pencetak gol terbanyak bagi tim. Kegemilangan Torres kala itu hingga tak mampu membendung ambisi untuk berkiprah lebih tinggi di kancah kontinental. Atleti kala itu belum sekuat saat ini, paling banter ada di papan tengah. Maka pinangan Liverpool yang baru saja menjuarai trofi Liga Champions adalah keputusan yang tepat bagi kedua belah pihak.
Maka pemain bertinggi badan 186 cm ini menjadi kartu truf bagi permainan Liverpool. Pada musim debutnya, ia berhasil mencetak 33 gol. Jumlah gol yang dicetak selama tiga setengah musim memperkuat The Reds adalah 81 gol. Raihan yang cukup untuk membuat Chelsea untuk kali ketiga (sebelumnya sempat menawar Torres di dua klub terdahulu) membuat tawaran yang akhirnya diterima oleh striker tertajam nomor tiga sepanjang sejarah timnas Spanyol ini.
Cedera lutut adalah momok bagi penyerang-penyerang andal. Mari sejenak menundukkan kepala kepada karier striker tajam yang akhirnya mati perlahan seperti Michael Owen, Ronaldo, atau Falcao. Beredar kabar, tawaran Chelsea kepada Liverpool untuk Torres dilanggengkan oleh jajaran klub karena mereka tahu masa pakai pemain andalannya tak akan lama lagi. Ia dijual dengan rekor transfer 50 juta pounsterling.
Apabila ingin mengakhiri kariernya dengan manis, harusnya Torres sudah langsung pensiun sejak gagal total bersama Chelsea. Klub itu lagi-lagi memberi contoh bahwa kebuasan striker-striker top dunia seperti Torres, Shevchenko, Mutu, dan Falcao, tak ada apa-apanya dibanding buasnya Roman Abramovich dan ambisi-ambisinya bersama Chelsea. Bahkan saya masih ingat, bagaimana seorang pandit sepakbola seperti Pangeran Siahaan dengan sukses mengolok-ngolok karier Fernando Torres lewat sebuah kolomnya.
Karier tragis Torres tak berakhir di Chelsea. Mulai dari memutuskan pindah ke AC Milan dan berakhir sama tragisnya karena tak mendapatkan tempat, juga karena Milan lebih menginginkan jasa Alessio Cerci. Padahal, saat bergabung ke Milan, Torres mengungkapkan ingin sekali bisa seperti Marco van Basten.
Sebenarnya, ada cerita dibalik julukan El Niño. Kala itu, Torres yang bergabung di tim muda Atletico seringkali tidak dikenali oleh pemain-pemain lain.
Torres berujar, “Waktu aku berumur 16 tahun dan berada di ruang ganti Atletico, tak seorang pun ingin berbicara denganku karena mereka merasa terancam,” sebut Torres pada laman resmi Chelsea, “Mereka memanggilku El Niño (si bocah) karena tak satu pun yang tahu namaku. Aku tidak suka itu dan seharusnya (keadaannya) tidak seperti itu. Namun, di ruang ganti sangat rumit dengan pemain yang baru datang dari belahan dunia antah-berantah dan peran yang berbeda,” tuturnya.
Entah kebetulan atau tidak, julukan El Niño yang didapatkannya juga berarti angin yang menyebabkan kekeringan. Sama seperti dirinya yang kerapkali mengalami paceklik gol usai memutuskan pergi dari Liverpool dan hijrah ke Chelsea. Sejak itu, ketajaman Torres tak pernah lagi sama.
Karena tak ada tempat terbaik untuk kembali kala semuanya meredup, kecuali rumah. Maka Torres setuju kembali ke Vicente Calderon.
Ajaibnya, raihan trofi Torres malah meningkat drastis setelah kariernya “meredup”. Ia meraih trofi Piala Dunia 2010 bersama timnas Spanyol, Champions League bersama Chelsea di musim 2011/2012 dan Europa League pada musim berikutnya. Saat ia kembali pulang ke Atletico, ia mendapat bonus untuk mengangkat trofi Europa League kedua kalinya, dengan klub yang berbeda.
Dengan modal nostalgia masa kecilnya yang gandrung anime Captain Tsubasa, Torres memilih terbenam di tempat matahari terbit. Bagi penggemar sepakbola, sepak terjang Torres akan selalu melekat sebagai salah satu penyerang tajam dekade 2000-an.
Kelak, semua penyerang yang bergabung dengan Atletico akan mengicapkan template ini pada sesi perkenalan: “Atletico adalah klub impian saya sejak kecil. Saya ingin menjadi legenda seperti Fernando Torres.”
Fernando Torres bukanlah Kurt Cobain yang memilih untuk meninggalkan kalimat dalam surat wasiatnya: “it’s better to burn out than fade away”. Di balik kariernya yang terus merosot, ia terus menikmati segala proses dalam karier sepakbolanya. Torres (ternyata) memilih untuk menolak mati lebih awal, dan akhirnya pudar perlahan-lahan seperti badai yang pasti berlalu.
Gracias y adios, El Nino!