Anda tentu mengenal Neymar sebagai pemain berbakat Brasil, yang direkrut Barcelona dari Santos. Neymar kemudian berkembang menjadi salah satu pesepakbola terbaik di dunia.
Sejatinya, bukan cuma Neymar yang mestinya dikenal sebagai pesepakbola hebat saat ini. Soalnya, rekan duetnya di Santos, juga tak kalah menarik perhatian. Namanya adalah Paulo Henrique Ganso.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi pada Ganso?
Ganso terlahir dengan nama Paulo Henrique Chagas de Lima. Ia lahir pada 12 Oktober 1989, atau tiga tahun lebih tua ketimbang Neymar. Debutnya juga terjadi setahun sebelum Neymar. Ia langsung menjadi perhatian dan digadang-gadang akan menjadi masa depan Brasil.
Ganso dikenal karena ketenangan serta kepintarannya saat berperan sebagai playmaker. Ia bisa bermain di manapun di lini tengah. Kemampuannya ini langsung membuatnya menjadi pemain inti Santos pada 2009.
Permainan bagus Ganso membantu Santos meraih Copa do Brasil dan Campeonato Paulista. Ia dianugerai penghargaan Pemain Terbaik dan namanya masuk ke dalam Team of the Year. Legenda Brasil, Socrates, sampai-sampai menyebut Ganso sebagai pemain terbaik di generasi itu.
Kehadiran Ganso dan Neymar membuat para penggemar meminta Dunga untuk memasukkan mereka ke skuad Brasil di Piala Dunia 2010. Namun, Dunga tak melakukannya. Ia lebih memilih para pemain yang lebih senior.
Meski tak dipanggil timnas, tapi perkembangan Ganso terus berkembang. Puncaknya ketika Santos menjuarai Copa Libertadores pada 2011. Cedera pernah menderanya, tapi karier Ganso tetap berjalan dengan sangat baik.
Sial buat Ganso karena di fase tersebut, kemampuan Neymar meningkat drastis. Ganso memang bekerja keras di lini tengah, tapi tetap saja, Neymar yang jadi ujung tombaknya dengan mencetak 43 gol pada musim 2012.
Perbedaan mulai terlihat dari caps di timnas. Ganso mencatatkan delapan caps, sementara Neymar yang tiga tahun lebih muda, punya 27 caps. Ia pun berada di depan koleganya itu.
Meski tak seumur, tapi Ganso dan Neymar adalah sahabat dekat. Ganso hadir dalam kelahiran putra pertama Neymar. Ia pun menjadi ayah baptis dari anak bernama Davi Lucca da Silva Santos tersebut.
Saat perbedaan kian lebar, media pun membuat wacana: Ganso bisa jadi wonderkid kelas-dua seperti Fabio Paim. Ia akan hidup dalam bayang-bayang rekannya yang lebih berbakat. Ia pun pernah dirumorkan cemburu pada kesuksesan Neymar, yang langsung dibantah oleh Ganso.
“Rumor itu membuatku marah karena itu tak pernah terjadi. Itu membuatku marah karena orang-orang selalu bilang ada kecemburuan di antara kami. Tapi aku pikir kalau kami punya persahabatan sejati, itu karena kami tak pernah membiarkannya menganggu apapun,” kata Ganso.
Tahun 2012 memang tahun yang bagus buat karier Ganso di atas lapangan. Namun, di luar lapangan lain cerita. Ia disebut ingin pindah dari Santos. Dampaknya besar: para penggemar membencinya dan menyebutnya mata duitan.
Rumor berkembang kalau Ganso akan terbang ke Italia untuk memperkuat salah satu dari dua tim di Milan. Kenyataan berkata lain. Ganso tidak terbang jauh. Ia hanya pindah beberapa kilometer dengan bergabung bersama Sao Paulo. Ia diplot menggantikan Lucas Moura yang pindah ke Paris Saint-Germain.
“Adalah mimpi yang menjadi nyata. Sejak Sao Paulo menunjukkan ketertarikan untuk merekrutku, aku ingin kesepakatan itu berjalan lancar. Aku tak sabar menanti bermain di atas lapangan,” terang Ganso.
Dari sini, jurang perbedaan dengan Neymar sudah terbuka sangat lebar. Ia pindah ke Barcelona dengan biaya transfer berkali-kali lipat dari yang didapat Santos dari Sao Paulo. Ganso juga menggagalkan mimpi Socrates yang berpikir kalau dirinya bisa menjadi pemain kelas dunia.
Di Sao Paulo, dampak Ganso instan: Menjuarai Copa Sudamericana! Namun, itulah satu-satunya trofi yang ia persembahkan dalam empat tahun. Ia pun gagal menembus timnas Brasil.
Namun, kesialannya itu berkurang ketika Sao Paulo memulangkan Kaka, Alexandre Pato, dan Luis Fabiano, pada 2014. Ganso menunjukkan kalau ia masih punya kualitas. Sampai akhirnya, Sevilla merekrutnya pada musim panas 2016.
“Aku tahu aku harus bekerja keras. Aku datang ke Sevilla dengan tujuan untuk meraih gelar. Pada usia 26 tahun aku melihat diriku siap untuk membuat lompatan dan itu berjalan baik,” kenang Ganso.
Sayangnya, keinginan Ganso tak terealisasi. Untuk menembus tim utama, sulitnya bukan main. Ia bahkan dipinjamkan ke klub kecil Prancis, Amiens, pada 2018. Tentu, tujuannya adalah memberinya menit bermain, karena klub kecil yang hampir terdegradasi tentu senang memainkan pemain top, temannya Neymar. Sayangnya, hal tersebut tak terealisasi.
Amiens kesulitan untuk mengakomodasi pemain yang tak punya energi dengan kerja keras yang tinggi. Di akhir musim, Ganso akhirnya bergabung dengan Fluminense, dan perjalannya di Eropa resmi berakhir.
Berakhirnya perjalanan Ganso di Eropa sekaligus menunjukkan seberapa lebar jurang perbedaan antara dirinya dengan Neymar.
Sumber: Planet Football