Garra Charrúa, Filosofi Sepakbola Uruguay

Mengigit seseorang dalam apapun konteksnya kecuali untuk melindungi diri, jelas tidak diperbolehkan. Pun dengan yang dilakukan oleh Luis Suarez di Piala Dunia 2014 silam. Gigitannya terhadap Giorgio Chiellini jelas tidak diperbolehkan dalam aturan olahraga manapun. Namun, Suarez masih menjadi pemain kelas dunia saat ini. Instingnya tajam dan liar di kotak penalti. Mencetak gol merupakan naluri alamiahnya.

Lain lagi dengan Edinson Cavani. Memang dirinya tidak seliar Suarez. Namun tetap, perangai angkuhnya selalu jadi masalah sejak ia bermain untuk Palermo. Intrik kecil dengan rekan satu tim seringkali terjadi. Mulai dari intriknya dengan Jasmin Kurtic, Marcelo Zalayeta di Napoli hingga terakhir dengan Neymar ketika secara tersirat Cavani tampak terusik dengan kehadirannya di PSG. Tapi klub manapun jelas tidak akan menolak kedatangan Cavani. Sosok striker lengkap dan handal yang cocok bermain dimanapun.

Keduanya kini menjadi motor dari Uruguay di Piala Dunia. Apa yang diilakukan oleh Suarez dan Cavani merupakan bentuk rasa semangat dan gairah mereka untuk sepakbola. Keduanyapun merepilkasi hal tersebut di Tim Nasional Uruguay. Sebuah negara dengan filosofi sepakbola yang cukup kental. Selama bertahun-tahun konsisten menelurkan bakat-bakat baru di sepakbola.

Uruguay di tingkat regional Amerika Selatan jelas belum tersaingi. Sebanyak 15 gelar Copa America menjadi bukti. Catatan tersebut menasbihkan mereka sebagai negara dengan raihan Copa America terbanyak. Sebanyak dua medali emas Olimpiade cabang sepakbola hingga dua gelar Piala Dunia juga turut menjadi bukti bahwa mereka negara sepakbola tersukses di Amerika Selatan.

Tapi bukankah Brasil lebih banyak mengoleksi gelar Piala Dunia lebih banyak? Belum lagi Argentina yang mencetak pemain-pemain kelas dunia seperti Diego Maradona dan Lionel Messi, juga memiliki raihan Piala Dunia lebih banyak dibanding Uruguay? Bagaimana bisa Uruguay dikatakan merajai sepakbola di Amerika Selatan?

Pesepakbola profesional di Brasil adalah tiga juta pemain. Argentina pun cukup banyak yakni 2,4 juta pemain. Sedangkan total penduduk Uruguay secara keseluruhan total adalah 3 juta orang! Selain itu hanya terdapat kurang dari 250.000 pemain profesional di Uruguay.

Namun Uruguay secara konsisten melahirkan bibit andal tiap tahunnya dan memelihara gairah sepakbola di Uruguay untuk terus berkembang. UAF sebagai induk sepakbola Uruguay, memiliki data bahwa nyaris rataan penonton yang hadir ke stadion sebesar 80-90% dari kapasitas stadion. Seringkali tiket pertandingan habis terjual, tanpa memandang rivalitas. Bagi suporter Uruguay, siapapun yang menghadapi klub mereka memiliki rivalitas yang sama.

Semangat ala Uruguay inilah yang menyebabkan pemain Uruguay seperti menggila di lapangan. Suarez yang tak segan menjatuhkan diri di kotak penalti atau menepis bola yang nyaris masuk kegawang Uruguay di Piala Dunia 2010 lalu. Cavani yang mengambil bola dari Neymar untuk menendang tendangan penalti. Muslera yang bahkan seringkali berduel keras untuk mengamankan gawangnya, tidak jarang duel-duel tidak perlu dilakukannya dan justru merugikan Muslera sendiri.

Namun mereka memiliki persamaan: memenangkan pertandingan apapun strategi dan caranya. Mundur ke tahun 1950 ketika Piala Dunia digelar di Brasil. Uruguay harus menghadapi tuan rumah di final. Didukung nyaris 100.000 pasang mata yang hadir ke Stadion Maracana, menghadapi Brasil yang digdaya selama babak gugur.

Uruguay juga bermain taktik. Para pemain Uruguay memahami bahwa mereka tidak mungkin menekan pemain Brasil yang memiliki teknik tinggi dan didukung suporternya. Mereka menekan sosok lain, yakni wasit.

Uruguay yang dikomandoi Obdulio Varela, secara konsisten menekan wasit dalam keputusan apapun. Tujuannya? Membuat tempo permainan sedikit lambat dan memberi ruang bagi para pemain Uruguay untuk setidaknya membangun mental mereka. Sukses! Uruguay mempecundangi Brasil 2-1 dan menjadikan tragedi Maracanazo sebagai hantu bagi masyarakat Brazil.

Filosofi ini merupakan bentuk Garra Charrúa yang telah ada berabad-abad silam dan diimplementasikan disepakbola Uruguay. Filosofi ini berarti bertarung, menyerang, dan kompak.

Garra Charrúa sendiri berasal dari suku nomaden yakni suku Charrúa. Secara fisik mereka tidak sebesar suku Indian. Namun mereka mampu berburu hewan-hewan besar dan bertahan hidup. Bahkan konon para suku Charrúa bias menangkap hingga 20 ikan piranha dengan tangan kosong.

Di sepakbola Uruguay sendiri hal ini terlihat jelas. Tidak ada satupun yang berani menyalahkan satu sama lain. Bahkan ketika Suarez mengigit Chellini tidak ada satu pemain pun yang menyalahkan apa yang dilakukan Suarez. Uruguay sangatlah kompak. Ditambah dengan gairah untuk memenangkan pertandingan Uruguay selalu menjadi tim yang disegani dalam turnamen apapun.

Tidak kenal takut dan selalu berjuang keras dengan segala cara untuk menang di lapangan. Mereka meyakini bahwa selama mereka besatu kuat dan tetap semangat. Tidak ada tim yang mereka tidak bisa kalahkan. Tentu hal ini mempermudah kinerja Oscar Tabarez yang menangani Uruguay.

“Saya memahami bahwa kekompakan tim adalah segalanya, di sini pun begitu. Tidak ada saling menyalahkan semua bertarung keras dengan satu tujuan. Mereka (para pemain) mungkin keras di lapangan, namun mereka melakukan itu untuk membuktikan tekad mereka,” ujar Tabarez di Uruguayan Independence.

Kini La Garra Charrúa menjadi semboyan nasionalisme bagi para penduduk Urugay. Nilai-nilai kesatuan ini dibawa di Piala Dunia kali ini. Buktinya Catholic National University of Uruguay membuat kebijakan bahwa ketika Uruguay bertanding, tiap kelas diliburkan dan akan disediakan ruang untuk menonton bersama.

Langkah ini konon akan ditiru beberapa universitas lain di Uruguay. Dukungan ini juga menyatu dengan skuat Uruguay yang bias dibilang ideal. Gabungan antara pemain senior seperti, Suarez, Cavani, Muslera, dengan pemain muda seperti Jose Gimenez, Guliermo Varela hingga Lucas Torreira menjadi komposisi ideal bagi Uruguay di Piala Dunia nanti.

Filosofi, komposisi skuat dan dukungan. Adalah tiga faktor kunci yang bisa saja membawa Uruguay menjadi juara di Piala Dunia edisi kali ini, kalaupun tidak, setidaknya kita akan menyaksikan aksi-aksi Spartan dan spontan ala Uruguay. Mungkin saja kali ini Suarez akan menjegal wasit atau tiba-tiba Cavani melakukan gol tangan Tuhan kedua. Mari kita nantikan.