Gelap-Terang Karier Danny Drinkwater

Foto: Zimbio.com

Sejak usia sembilan tahun, Danny Drinkwater sudah tahu kalau masa depannya akan cerah. Sebagai warga asli Manchester, sebuah kebanggaan bisa bergabung dengan kesebelasan terbesar di Manchester, juga di Inggris.

Masa depannya kian cerah ketika United menawarinya kontrak sebagai trainee pada 2006. Perlahan, ia mulai naik ke tim reserves Manchester United. Sampai akhirnya, ia dipanggil ke tim senior pada pertandingan terakhir musim 2008/2009. Ia masuk ke dalam skuat meski tak diturunkan dalam pertandingan menghadapi Hull City.

Setelahnya, karier Drinkwater tak menentu. Ia dipinjamkan ke sejumlah kesebelasan: Huddersfield Town, Cardiff City, Watford, dan Barnsley. Lantas, pada 20 Januari 2012, Drinkwater bergabung dengan Manchester United secara permanen.

Naik Turun Bersama Leicester

Leicester saat itu berkompetisi di Divisi Championship. Ia merasakan menjuarai Divisi Championship dan membawa mereka ke Premier League. Drinkwater pun ditawari kontrak empat tahun setelah membawa The Foxes promosi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun.

Di bawah arahan Claudio Ranieri, Drinkwater memegang peranan penting di lini tengah. Bersama N’Golo Kante, ia bahkan secara mengejutkan bersama-sama membawa The Foxes juara Premier League musim 2015/2016.

Akan tetapi, kegagalan Leicester City mempertahankan gelar juara Premier League membuat para pemainnya diincar satu persatu oleh kesebelasan lain. N’Golo Kante sudah hijrah duluan, sampai pada 1 September 2017, Drinkwater mengikuti jejak Kante untuk hijrah ke London, tepatnya bersama Chelsea.

Peran Penting Drinkwater di Lini Tengah 

Sekilas, Drinkwater gelandang yang biasa-biasa saja. Ia tak punya daya tarik istimewa macam visi hebat seperti Andreas Iniesta, atau tendangan gledek macam Paul Scholes. Akan tetapi, ia padu saat dipasangkan dengan N’Golo Kante, serta Marc Albrighton di sisi kiri. Di sisi kanan, ia menjadi penyuplai yang bagus buat Riyad Mahrez.

Dalam sistem permainan Leicester City, Ranieri menggunakan skema 4-4-2. Empat pemain di lini pertahanan biasanya stagnan di belakang. Mereka hanya mengandalkan permainan bertahan dengan memaksimalkan serangan balik.

Tidak jarang Leicester mencetak gol ketika Kante meng-intercept bola. Hal ini tak akan terjadi andai Drinkwater tak menjaga kedalaman. Kante seperti diberikan peran bebas, karena fungsi bertahan dipegang Drinkwater.

Ini yang membuat kombinasi Drinkwater-Kante berjalan dengan baik di Leicester. Kegagalan Leicester pada musim 2016/2017 tak lepas dari tak padunya lini tengah The Foxes yang saat itu diemban Daniel Amartey dan Andy King.

Sulit Bersaing di Chelsea

Kepindahan Drinkwater ke Chelsea memang mengejutkan. Ada beberapa hal yang mendasarinya. Pertama, ia masih konsisten bermain di lini tengah Leicester. Kedua, banyak gelandang yang lebih secara kualitas ketimbang Drinkwater. Kalau tujuannya untuk menyelaraskan lini tengah bersama Kante, itu bisa dipertimbangkan. Namun, Kante juga agaknya bisa-bisa saja beradaptasi dengan gelandang Chelsea lain.

Di musim 2017/2018, Drinkwater harus bersaing dengan Cesc Fabregas, dan gelandang yang baru direkrut di musim itu, Tiemoue Bakayoko. Chelsea bahkan mendatangkan Ross Barkley dari Everton di pertengahan musim.

Alhasil, jumlah penampilannya di liga berkurang drastis menjadi hanya 12 kali tampil. Total pertandingannya di musim pertamanya bersama The Blues menjadi 22 bila ditotal dengan Piala FA, Piala Liga, dan Liga Champions.

Prahara akhirnya pecah ketika Maurizio Sarri tiba dari Napoli. Drinkwater bahkan hanya tampil di satu pertandingan, itu pun di Community Shield. Jahat betul memang Sarri. Apalagi lini tengah The Blues kian padat dengan kehadiran Jorginho yang dibawanya dari Naples.

Berakhir di Burnley?

Minimnya kesempatan bermain membuat Drinkwater dipinjamkan ke Burnley hingga pertengahan musim mendatang. Ketika ia diperkenalkan, Drinkwater mengakui kalau dirinya tak sabar untuk segera tampil bersama The Clarets. Ia pun yakin betul kalau Turf Moor adalah tempat yang tepat di waktu yang tepat untuk masa depannya.

“Tak ada cara yang lebih baik dalam menjabarkannya dan aku tak sabar untuk memulai. Di sini terasa seperti di rumah dan kini aku hanya ingin berkonsentrasi pada sepakbola. Dari orang-orang yang kutemui sejauh ini, ini terasa seperti klub sepakbola keluarga yang baik dengan orang-orang dan staf yang merendah, dan itu membantu,” tutur Drinkwater kepada situs resmi Burnley.

Akan tetapi, segala ingar bingar tersebut mulai meredup kala Burnley menjamu Sunderland di Piala Liga Inggris. Burnley awalnya mendominasi permainan. Mereka bahkan mencetak gol pertama lewat Jay Rodriguez. Akan tetapi, sebuah kesalahan antisipasi dari Drinkwater membuat Sunderland mencetak gol penyama skor.

Blunder Drinkwater sempat dipermasalahkan. Namun, tidak dengan pelatihnya, Sean Dyche. Menurutnya, ia tak akan mempertanyakan permainan Drinkwater. Alasan lainnya karena Drinkwater juga sudah lama tak bermain, sehingga ia masih penyesuaian dengan pemain di sekitarnya.

Ucapan Dyche mungkin ada benarnya. Namun, kesalahan besar di laga debut bukanlah harapan semua pesepakbola. Alasan jarang bermain, justru bisa menjadi bumerang buat Drinkwater. Di usianya yang kini menginjak 29 tahun, Drinkwater agaknya sudah melihat masa depannya; masa depan yang mungkin tak akan disukainya.