Pertengahan Februari 2016 lalu, Lionel Messi merasa kecewa. Pelatih timnas Argentina kala itu, Gerardo ‘Tata’ Martino tidak ingin memaksakan bintang Barcelona tersebt untuk ikut Olimpiade yang diselenggarakan di Rio de Janeiro. Tata ingin pemainnya bisa memanfaatkan jeda tersebut untuk beristirahat karena mereka baru saja menjalani musim yang panjang di kompetisi domestik dan Copa America Centenario.
Messi sendiri mengaku begitu senang jika dia bermain di Olimpiade. Menurutnya, bertemu dengan atlet dari cabang olahraga lain merupakan pengalaman yang tidak bisa dia lupakan. Meski hal tersebut membuatnya harus tinggal di perkampungan atlet.
“Bermain di Olimpiade adalah pengalaman yang menyenangkan. Itulah pengalaman spektakuler saya. Bermain di Olimpiade tidak hanya untuk mencari kemenangan, tapi untuk menambah pengalaman. Saya bisa bertemu banyak atlet meski harus menghabiskan waktu lebih lama di kampung atlet,” tuturnya saat itu.
Pandangan Messi mengenai Olimpiade memang cukup menarik. Cabang sepakbola pada pesta olahraga multicabang ini tidak masuk dalam kalender resmi FIFA. Oleh karena itu, mayoritas yang bermain adalah penggawa yang berusia di bawah 23 tahun. Jarang sekali pemain terkenal yang bermain pada ajang ini meski mereka tetap bermain pada turnamen yang kelasnya sudah mendunia.
Rasa senang Messi terhadap Olimpiade mungkin disebabkan karena memori indah yang masih membekas di kepalanya. Ketika itu, ia bersama rekan setimnya bahu membahu membawa timnas Argentina meraih medali emas Olimpiade 2008 di Beijing, Cina. Inilah kali kedua timnas Tango meraih medali emas setelah sebelumnya mereka juga meraihnya di Athena. Prestasi ini juga menjadi prestasi terakhir yang bisa diraih oleh timnas Argentina di semua ajang.
Skuad asuhan Sergio Batista saat itu disebut-sebut sebagai salah satu dari generasi emas terbaik yang pernah dimiliki sepakbola Argentina. Dari 18 pemain yang mereka bawa, mayoritas diantaranya adalah nama-nama yang sekarang kita kenal sebagai bintang sepakbola dunia. Sebut saja Ezequiel Garay, dan Pablo Zabaleta di lini belakang. Juan Roman Riquelme dan Javier Mascherano, selaku pemain senior, bahu membahu bersama Ever Banega dan Fernando Gago.
Lini depan dipenuhi pemain-pemain yang sekarang sudah menjadi pemain kelas dunia. Selain Lionel Messi, mereka punya Ezequiel Lavezzi. Selain itu, mereka masih punya Sergio Aguero. Winger PSG saat ini, Angel Di Maria, juga ada dalam skuad tersebut. Untuk sektor penjaga gawang, Argentina saat itu memiliki Oscar Ustari dan Sergio Romero.
Argentina saat itu tergabung di Grup A bersama Pantai Gading, Australia, dan Serbia. Pertandingan pertama pada 7 Agustus mempertemukan mereka dengan Pantai Gading. Messi, yang saat itu memakai nomor punggung 15, dan Lautaro Acosta saat itu membawa Argentina menang tipis dengan skor 2-1. Skor tipis kembali mewarnai pertandingan berikutnya. Melawan Australia, mereka hanya menang tipis 1-0 melalui gol Lavezzi. Kemenangan dengan selisih dua gol baru didapat ketika merka mengalahkan Serbia. Lagi-lagi Lavezzi menjadi bintang dengan mencetak satu gol dalam kemenangan mereka 2-0 atas negara pecahan Yugoslavia tersebut. Satu gol lain dicetak oleh Diego Buonanotte.
Langkah pemenang Piala Dunia 1986 ini nyaris saja terhenti oleh Belanda pada babak perempat final. Lionel Messi sempat lebih dulu mencetak gol memanfaatkan kesalahan pemain Belanda pada menit ke-14. Sepuluh menit jelang babak pertama berakhir, skor berubah menjadi 1-1 melalui kaki Otman Bakkal. Skor tidak berubah hingga pertandingan berakhir. Pada menit ke-105, Angel Di Maria menjadi pahlawan kemenangan berkat golnya memanfaatkan umpan cantik Messi.
Babak semifinal mempertemukan Argentina dengan rival abadinya yaitu Brasil. Duel ini mempertemukan Messi dengan rekan setimnya di Barcelona yaitu Ronaldinho. Sama seperti Argentina, Brasil juga dipenuhi oleh banyak bintang. Sebut saja Hernanes, Marcelo, Anderson, Pato, Ramires, hingga Diego Ribas.
Namun, Argentina menunjukkan kalau saat itu mereka lebih baik dari Brasil. Sang juara Piala Dunia lima kali kalah telak 3-0. Setelah Messi dan Di Maria bergantian menjadi bintang, kali ini giliran Sergio Aguero yang mencuri perhatian. Ia mencetak dua dari tiga gol kemenangan. Gol pelengkap hadir melalui penalti Juan Roman Riquelme. Penampilan Sergio Romero juga saat itu cukup gemilang.
Di National Stadium Beijing, Argentina bertemu dengan Nigeria pada partai puncak. Elang Super saat itu mengalahkan Belgia dengan skor 4-1. Skor telak tidak muncul. Hanya skor tipis 1-0 menghiasi papan skor saat itu melalui gol cungkil Angel Di Maria.
Laga ini sangat sulit untuk dimainkan karena cuaca yang saat itu mencapai lebih dari 40 derajat celcius. Hal ini bahkan membuat wasit sempat dua kali melakukan water break. Panasnya suhu memengaruhi penampilan mereka di atas lapangan. Menurut The National, kedua kesebelasan lebih banyak berjalan ketimbang berlari. Bahkan Sepp Blatter saja terlihat tidak nyaman saat pembagian medali saking panasnya suhu kala itu. Meski demikian hal tersebut tidak mengganggu pesta Argentina untuk mempertahankan medali emas mereka.
“Bukan tontonan yang menarik, tapi kami harus beradaptasi dengan suhu dan bermain cukup cerdas,” kata sang pelatih.
Keberhasilan menjadi juara Olimpiade 2008 menjadi awal dari beberapa pemain menuju puncak karier yang lebih tinggi lagi. Nama-nama seperti Garay, Zabaleta, Gago, Lavezzi, Di Maria, Mascherano, Messi, Aguero, dan Romero berada pada skuad Argentina yang melangkah ke final Piala Dunia 2014. Sayangnya, mereka tidak bisa membendung Jerman pada saat itu.