Setiap penggemar Benfica mengenang Bela Guttmann, terselip doa dan harapan agar kutukan dari mantan pelatihnya tersebut bisa segera berakhir.
Setelah lima kali meraih gelar juara Piala Champions berturut-turut, langkah Real Madrid terhenti pada percobaan mereka yang keenam pada 1960/1961. Mereka dikalahkan oleh rival abadinya, Barcelona dengan skor agregat 4-3. Blaugrana ketika itu bahkan sukses melangkah hingga partai puncak.
Nama besar Spanyol di kompetisi ini coba diteruskan oleh Barcelona. Sayangnya, mereka justru dikalahkan oleh Benfica dengan skor 3-2. Aguas, gol bunuh diri Ramallets, dan Coluna, menjadi pencetak gol Benfica. Dua gol Barcelona dicetak oleh Sandor Kocsis dan Zoltan Czibor. Benfica menjadi pemenang Piala Champions pertama yang berasal dari Portugal.
Real Madrid mencoba lagi semusim berikutnya untuk bisa meraih trofi Eropa mereka yang keenam. Kali ini, mereka berhasil melaju ke final. Sayangnya, ambisi tersebut kembali pupus. Lagi-lagi datang dari Benfica. Madrid kalah dengan skor 5-3. Padahal, skuad Madrid saat itu masih diperkuat oleh bintang mereka yaitu Puskas, Di Stefano, dan Paco Gento.
Kesuksesan As Aguias saat itu tidak lepas dari sosok sang pelatih, Bela Guttmann. Dia membuat Benfica menjadi kesebelasan yang atraktif ketika menyerang melalui formasi 4-2-4 yang ia punya. Menurut dia, tidak masalah sebuah tim kebobolan hingga beberapa kali asalkan mereka mencetak gol lebih banyak dari lawannya. Filosofi kalau menyerang adalah pertahanan terbaik menjadi pedoman Guttmann ketika melatih.
Berkat filosofinya ini, Guttmann meraih dua gelar Piala Champions dan dua gelar Liga Portugal. Satu gelar Piala Portugal melengkapi prestasiya tersebut. Prestasi ini diraih hanya tiga tahun sejak dirinya datang dari FC Porto. Guttmann merasa kalau prestasi instan yang ia berikan seharusnya bisa membuatnya mendapat gaji yang lebih tinggi lagi. Sayangnya, presiden Benfica, Fezas Vital menolak permintaan tersebut
Guttmann marah dan merasa kalau kerja kerasnya selama ini tidak dihargai dengan baik. Menurutnya, kenaikan gaji yang ia minta tidak sebanding dengan prestasi yang mereka raih. Dengan emosi, Guttmann kemudian berujar kalau Benfica tidak akan pernah menjuarai final turnamen Eropa sejak ucapan tersebut keluar dari mulutnya. Kejengkelan dari Guttmann tersebut kemudian diikuti dengan keputusan Guttmann yang memilih untuk mengundurkan diri.
Delapan Kesempatan, Delapan Kegagalan
Setelah ditinggal Guttmann, Benfica kemudian dilatih oleh Fernando Riera. Tidak ada yang berubah pada saat itu. Mereka masih tetap menjadi klub kuat di kompetisi domestik. Bahkan untuk ketiga kalinya, secara beruntun, mereka kembali ke final Piala Champions. Kali ini mereka berhadapan dengan AC Milan di Wembley.
Skor akhir saat itu adalah 2-1 untuk kemenangan wakil Italia tersebut. Tidak banyak yang percaya kalau kekalahan itu adalah karena kutukan Guttmann. Kalah satu dari tiga final jelas merupakan sebuah prestasi meski mereka tetap kecewa karena gagal membuat hat-trick.
Dua tahun berselang, Mereka kembali ke final. Kali ini, lawannya adalah rival abadi Milan, yaitu Inter. Lagi-lagi mereka kalah dengan skor tipis. Jair saat itu membawa Inter meraih trofi Eropa kedua secara beruntun sekaligus membuat Benfica kembali kalah di final. Namun, tampaknya kutukan itu masih dipandang sebelah mata.
Lama-kelamaan, kisah kalau kutukan Guttmann itu nyata mulai terbukti. Pada 1968, Benfica kembali masuk final Piala Champions. Namun, bukan wakil Italia yang mengganjal mereka melainkan Manchester United. Sempat menyamakan kedudukan, Benfica kalah 4-1 pada perpanjangan waktu melalui dua gol yang dicetak Bobby Charlton.
Apes bagi Benfica karena kutukan ini tidak hanya sebatas penampilan mereka di Liga Champions. Kutukan ini juga ngikut ketika Benfica bermain di kompetisi Piala UEFA. Pada 1983, mereka kalah dari Anderlecht dengan skor 1-2. Pada 1988 dan 1990, mereka kembali ke final Piala Champions. Lagi-lagi nasib sial yang mereka dapat. PSV mengalahkan mereka 5-4 dalam drama adu penalti pada 1988, sedangkan gol tunggal Frank Rijkaard membawa kemenangan untuk Milan dua tahun berselang.
Butuh 23 tahun bagi Benfica untuk bisa kembali ke final kejuaraan Eropa. Mereka bertemu Chelsea pada final Europa League 2013. Mereka sempat memberikan perlawanan sengit sebelum sundulan Branislav Ivanovic jelang laga berakhir menunjukkan kalau kutukan Guttmann memang benar-benar ada.
Setahun berselang, Benfica kembali lagi ke final Europa League dan kembali menderita kekalahan. Dua tendangan penalti yang gagal membuat mereka kalah 4-2 pada drama adu penalti. Jorge Jesus, sang pelatih kala itu, menolak kalau kekalahan ini mutlak karena kutukan Guttmann. Namun, mau menolak seperti apa pun, tetap saja Benfica sudah kalah delapan kali beruntun dalam delapan kesempatan mereka bermain di final.
Benfica bukannya tidak ada upaya untuk mengatasi masalah ini. Sebelum final 1990, Eusebio menangis di makam Guttmann yang meninggal di Vienna. Sang legenda memohon agar mantan pelatihnya itu mau mencabut kutukan yang sudah ia ucapkan. Sayangnya, hal itu tetap tidak membuahkan hasil meski sang legenda terus datang tiap Guttman berulang tahun sampai ia meninggal dunia pada 2014 lalu.
Selain pergi meninggalkan banyak prestasi, Guttmann pergi meninggalkan kutukan yang belum jelas kapan akan berhenti. Jika mengikuti ucapan Guttmann, maka Benfica baru akan menjadi juara Eropa pada tahun 2062 atau masih tersisa 42 tahun lagi.