Sebelum mengenal Alvaro Recoba, Diego Forlan, Luis Suarez, hingga Edinson Cavani, Uruguay lebih dulu mengenal sosok Enzo Francescoli sebagai salah satu bintang sepakbola di negara mereka. Keberhasilan La Celeste meraih tiga gelar Copa America pada 1983, 1987, dan 1995, tidak lepas dari sosoknya sebagai pengatur serangan di lapangan tengah.
Gelar itu belum ditambah dengan kesuksesannya meraih lima gelar Liga Argentina dan satu trofi Copa Libertadores yang keduanya diraih ketika ia memperkuat River Plate. Enzo juga tidak lupa melengkapi rangkaian gelarnya tersebut dengan gelar individu seperti dua kali menjadi pemain terbaik Copa America, dua kali menjadi pemain terbaik Amerika Selatan, masuk dalam Team of the Year Amerika Latin empat kali berturut-turut. Atas pencapaiannya ini, Pele memasukkan namanya dalam 100 pemain terbaik dunia versi dirinya.
Dengan banyaknya raihan gelar tersebut, Enzo tidak hanya menjadi salah satu pemain terbaik di dunia. Akan tetapi, ia juga menjadi inspirasi bagi para pesepakbola muda yang ingin memiliki karier cemerlang seperti dirinya. Salah satunya adalah Zinedine Zidane. Bukan tanpa alasan dia menyukai Enzo sampai-sampai salah satu anaknya ia beri nama seperti idolanya tersebut.
“Dia adalah pemain favorit saya dan saya selalu melihatnya berlatih,” ujar Zidane kepada These Football Times. Ketika itu, Enzo sedang memperkuat Marseille sehingga Zidane tentu cukup mudah untuk melihatnya berlatih setiap pekan. ebagai seorang pemain muda, Zidane telah menemukan semangat yang sama, dan cara bermain yang sama seperti idolanya.
“Setelah masa-masa itu, saya mendapat kehormatan bermain satu lapangan dengannya saat saya memperkuat Juventus. Enzo itu benar-benar seperti dewa,” ujarnya.
Tidak hanya Zidane yang menyukai Enzo, Luis Suarez juga begitu mengagumi pria yang pada tanggal 12 November ini berulang tahun ke-59 tersebut. Meski sosok Enzo bukan berposisi sebagai striker, namun layaknya masyrakat Uruguay yang mencintai sepakbola, Suarez belajar banyak hal dari Enzo.
“Saya menyukai dirinya sejak saya masih kecil. Pemain terbaik saya untuk Uruguay adalah Enzo Francescoli. Rakyat Uruguay pastinya belajar banyak hall dari sosok Enzo,” kata Suarez.
Sayangnya, kedua pemain ini tidak seberuntung Pablo Aimar. Jika Zidane dan Suarez hanya bisa mengagumi atau berhadapan dengannya sebagai lawan, maka Pablo jauh lebih beruntung. Ia bisa merasakan nikmatnya bermain sebagai rekan setim Enzo ketika masih memperkuat River Plate. Sebuah pengalaman luar biasa karena Pablo bisa belajar dari dekat.
“Di Buenos Aires saya mengagumi Nestor Gorosito dan kemudian saya mendapat kesempatan berlatih bersama Enzo Francescoli. Begitu banyak keanggunan yang bisa kita lihat saat berada satu lapangan dengannya. Anda bisa menikmatinya dengan mudah dan dia akan langsung menjadi role model Anda, kata pria yang pernah bermain di Malaysia tersebut.
Enzo Francescoli mengawali karier sepakbolanya bersama Montevideo Wanderers yang merupakan kesebelasan di tanah kelahirannya. Hanya butuh waktu dua tahun bagi Enzo untuk kemudian bisa merasakan bermain bagi kesebelasan yang memiliki nama besar jauh lebih baik dari Montevideo.
River Plate kemudian berhasil membawa Enzo dari Uruguay menuju Argentina. Sebuah keputusan yang membuahkan hasil mengingat di sinilah Enzo meraih banyak pencapaian sebagai seorang pemain sepakbola. Ia membuat 68 gol hanya untuk kompetisi liga domestik selama tiga tahun. Sebuah pencapaian hebat bagi pemain yang bukan berposisi sebagai seorang penyerang.
Penampilan apiknya bersama River inilah yang membuka jalan Enzo menuju Eropa. Kesebelasan asal Paris, RC Paris, yang beruntung mendapat tanda tangan Enzo. Performa apiknya di atas lapangan terus berlanjut, namun Enzo tidak bisa membawa tim ini meraih trofi. Sempat membuat 14 gol pada musim pertamanya, namun Paris ketika itu hanya sanggup menyelesaikan kompetisi pada urutan ke-13.
Ciamiknya penampilan Enzo ini yang membuat Marseille merekrutnya pada 1989. Akan tetapi, ia hanya bertahan satu musim. Enzo memutuskan untuk mengadu nasib ke Italia untuk memperkuat Cagliari setelah Piala Dunia 1990 berakhir. Bersama klub yang berada di Sardinia tersebut, Enzo bermain bareng dengan rekan setimnya Jose Herrera dan Daniel Fonseca.
Sayangnya, performa Enzo di Italia tidak lebih baik ketika bermain di Prancis. Bermain lebih ke dalam menjad alasan kenapa dia sulit sekali tampil optimal. Cagliari juga lebih banyak berkutat pada zona degradasi saat itu. Meski begitu, nama Enzo masuk dalam Cagliari Hall of Fame.
Nasibnya juga tidak kunjung membaik ketika ia memutuskan hengkang ke Torino. Hanya bermain selama satu musim, ia memutuskan kembali ke River Plate. Ajaib, penampilan Enzo kembali membaik dan bermain selama tiga musim.