Jose Mourinho dan Prestasi Luar Biasa di Porto

Tentu tak ada yang menyangsikan Jose Mourinho sebagai salah satu pelatih sepakbola terbaik dunia. Sebelum menangani AS Roma pada 2021, dia sudah memimpin banyak klub raksasa Eropa sejak lebih 20 tahun sebelumnya. Bahkan, sudah terlibat dalam kepelatihan bersama sejumlah manajer ternama sekelas Sir Bobby Robson dan Louis van Gaal sejak awal 1990-an, saat usianya belum genap 30 tahun.

Tetapi, dari sekian panjang perjalanan kepelatihannya di dunia sepakbola, sejak menjadi caretaker di Benfica lalu mengawalinya bersama klub kecil Portugal Uniao de Leiria awal 2000-an, hingga meraih treble winners di Italia sebelum pindah ke Spanyol sampai ke Inggris, ada satu periode di mana dia mengejutkan seluruh Eropa. Itulah periode ketika dia membawa Porto merebut prestasi luar biasa.

Keberhasilan Tak Terduga

Mourinho ditunjuk Porto menggantikan Octavio Machado pada Januari 2002, setelah enam bulannya yang menarik perhatian banyak orang di Uniao de Leiria, klub Portugal yang dilatih sejak awal musim itu. Tapi, dia baru membuat kejutan di musim penuh perdananya bersama Porto pada 2002/2003. Setelah musim sebelumnya yang lesu, akhirnya mereka bisa merengkuh treble winners minor Eropa.

Hanya dalam enam bulan di bawah Mourinho, Dragoes mengalami banyak perubahan di musim yang baru. Mereka bisa mengklaim semua trofi di tiga kompetisi yang diikuti musim itu. Diawali juara Liga Primeira dengan unggul 11 poin dari lawan. Lalu, menjuarai Taca de Portugal atas mantan klubnya Uniao de Leiria, dan diikuti trofi Piala UEFA setelah menang dari Celtic FC dalam perpanjangan waktu.

Main di Liga Champions pada musim kedua Mourinho jadi peningkatan besar dalam kesulitan Porto di Eropa. Namun, dalam dua pertandingan mereka sempat terancam tersingkir di fase grup, sebelum bangkit dengan tiga kemenangan beruntun. Setelah itu, Mourinho sukses membawa tim melewati Manchester United, Lyon, Deportivo La Coruna, hingga ke final melawan wakil Prancis, AS Monaco.

Partai puncak itu digelar setelah mengamankan gelar Liga Primeira kedua mereka, melengkapi trofi Supertaca Candido de Oliveira atau Piala Super Portugal di awal musim. Dan, di pertandingan final Liga Champions itu, Mourinho benar-benar mencapai hasil tak terduga, menjadi juara dalam usianya yang ke-41 tahun, trofi keenamnya hanya dalam dua musim, dan kesuksesan Eropa kedua bagi Porto.

Skuad Terbuang

Bagaimana seorang Mourinho mampu melakukan terobosan luar biasa bersama Porto di awal karier kepelatihannya? Jika melihat seorang manajer hebat, maka idealnya mereka memiliki sekelompok pemain berbakat dan menjadikan mereka tim besar. Tetapi, skuad Porto yang tersedia saat itu hanya pemain biasa-biasa saja, dengan Mourinho yang bisa melakukan lebih baik dalam waktu yang singkat.

Ini bukanlah tim yang dibangun selama bertahun-tahun; karena tujuh pemain dalam starting line-up saat lawan Monaco di final Liga Champions 2003/2004 hanya berada di klub selama dua tahun atau kurang. Mereka juga bukan anak-anak muda yang akan bersama selama bertahun-tahun. Usia rata-rata 27,7 tahun, dan selain kiper Vitor Baia, tak satu pun yang bertahan setelah musim panas 2005.

Skuad yang diwarisi Mourinho saat itu, bahkan kebanyakan adalah pemain yang sebelumnya telah gagal, berkumpul dari skuat terbuang. Baia misalnya, pernah berada di Barcelona ketika Mourinho jadi asisten Robson, tapi begitu saja dicoret oleh penggantinya Louis Van Gaal.  Kapten Jorge Costa berselisih dengan Machado, yang membuatnya sempat dipinjamkan ke tim Inggris, Charlton Athletic.

Lalu, playmaker Deco sebelumnya dibuang dari Benfica di usianya yang masih 20 tahun. Tapi, dengan segala keterbatasan tersebut, Mourinho mampu menyulap skuat tersebut menjadi salah satu tim yang solid dan kohesif pada masa itu. Pastinya, kondisi itu pula yang telah terus-menerus melatih kemampuan taktisnya, yang di kemudian hari membuatnya menjadi manajer paling diminati di dunia.

Jadi Diri Sendiri

Seluruh tantangan yang telah dihadapinya selama hanya 2,5 tahun ternyata mampu membentuk karakter taktik seorang Mourinho yang kemudian dikenal selama bertahun-tahun kemudian. Gaya bermain timnya selalu lebih defensif, membuat frustrasi lawan sepanjang laga, dengan margin tipis yang memisahkan kesuksesan dan kegagalan mengikuti iramanya yang terorganisir dengan baik.

Sedangkan sebagian pemainnya, sudah menjadi bintang baru ketika pergi dari Estadio do Dragao. Seperti Deco ke Barcelona, serta duo Paulo Ferreira dan Ricardo Carvalho terbang ke Chelsea, yang dapat digambarkan sebagai kesuksesan tanpa syarat. Setahun sebelumnya, striker pencetak gol terbanyak Porto di musim 2002/2003 juga telah berhasil menarik perhatian Tottenham Hotspur.

Sementara Mourinho, pergi ke Chelsea yang baru menjadi klub kaya raya setelah diakuisisi oleh miliuner asal Rusia, Roman Abramovich. Dia membawa Ferreira dan Carvalho bersamanya, hanya dua hari setelah kemenangan Liga Champions. Sedangkan Porto yang sempat menjadi tim terbaik Eropa meskipun tanpa pemain terbaik, akhirnya kembali ke status sebelum kedatangan Mourinho. Mereka akan selalu mengejar gelar domestik, tapi hingga kini belum pernah lagi sebesar masa itu.

Sumber: Planetfootball