Beberapa musim terakhir, Tottenham Hotspur menjelma menjadi salah satu kekuatan di sepakbola Inggris. Tercatat, tim ini tidak pernah keluar dari enam besar sejak musim 2009/2010. Bahkan dalam tiga musim beruntun,, sejak 2015/16, The Lylywhites selalu menempati tiga besar setiap musimnya dan selalu finis di atas Arsenal sejak musim 2016/17.
Meski memiliki prestasi yang menanjak, namun Spurs masih memiliki cela. Yang paling utama tentu adalah keringnya trofi dalam lemari mereka. Kesebelasan yang identik dengan warna putih ini tidak pernah lagi mengangkat piala sejak 2008. Meski telah memiliki banyak pelatih berkualitas, namun mereka tetap kesulitan untuk memberi piala.
Sosok terakhir yang sanggup memberi gelar kepada Spurs adalah Juande Ramos. Pria asal Spanyol ini datang pada akhir Oktober 2007 untuk menggantikan Martin Jol yang dipecat. Ketika itu, Spurs menjalani musim yang buruk karena hanya meraih satu kemenangan dalam 10 pertandingan pertama di liga. Satu-satunya kemenangan itu mereka dapat dari Derby yang merupakan tim terlemah pada musim itu.
Prestasi bersama Sevilla menjadi alasan kenapa Spurs memilih Juande. Sejak awal musim, dia sebenarnya sudah didekati oleh Spurs. Akan tetapi, Juande mengaku belum bisa menerimanya karena masih terikat kontrak dengan Sevilla. Spurs pun juga membantah dengan menyebut kalau mereka tidak pernah memberikan tawaran apa-apa kepada Juande.
Namun ketika Jol benar-benar dipecat, Ramos kembali masuk radar. Namun kali ini, Spurs benar-benar memberikan tawaran yang kemudian ia terima. Kontrak empat tahun membuat Juande memilih resign dari Ramon Sanchez Pizjuan dan memulai petualangan baru di White Hart Lane ketika itu.
Prestasi Spurs di Premier League bersama Juande memang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Mereka tetap menjadi tim yang inkonsisten. Menang hari ini, lalu imbang atau kalah pada hari berikutnya. Bahkan sepanjang Januari hingga Februari, Spurs hanya menang satu kali di liga. Enam dari tujuh pertandingan terakhir musim 2007/2008 hanya membuahkan tujuh poin bagi mereka yang membuat Spurs finis pada posisi ke-11. Finis terendah mereka sejak 2004.
Penampilan buruknya juga berlanjut ketika mereka kalah dari Manchester United pada Piala FA dan PSV Eindhoven pada 16 besar Piala UEFA. Meski begitu, Juande membayar tidak konsistennya Spurs dengan penampilan apik pada ajang Piala Liga. Turnamen ini tampaknya berada dalam sasaran Juande untuk memulai kariernya di London Utara.
Setelah menang melawan Blackpool pada debutnya di ajang tersebut, laju Spurs tidak terhenti. Mereka mengalahkan City 2-0 pada babak perempat final. Ketika itu, Spurs bermain 10 orang lebih dari 70 menit akibat kartu merah yang diterima Didier Zokora.
Pada babak semifinal, Spurs menyingkirkan rival abadinya, Arsenal. Bermain imbang pada leg pertama dengan skor 1-1, mereka menggila ketika bermain di kandang sendiri. Ketika itu, Arsenal takluk 5-1. Kemenangan itu menjadi kemenangan pertama Spurs atas Arsenal pada North London Derby sejak 1999 dan kemenangan terbesar sejak 1983. Hasil ini membawa Spurs kembali ke Wembley setelah 2002.
Menghadapi Chelsea pada laga final, Spurs tertinggal terlebih dahulu melalui gol Didier Drogba. Gol penalti Dimitar Berbatov pada menit ke-70 membuat pertandingan harus diteruskan ke perpanjangan waktu. Pada menit ke-94, Jonathan Wodgate menjadi pahlawan karena sundulannya membuat bola bergulir pelan ke gawang Chelsea sekaligus menjadi gol kemenangan bagi Spurs.
“Sangat puas rasanya untuk mendapatkan trofi. Ini sudah lama sekali bagi klub sebesar Tottenham. Trofi ini jelas memiliki rasa khusus karena melawan tim seperti Chelsea. Kejadian ini mirip seperti ketika Sevilla mengalahkan Real Madrid dan Barcelona. Ini menjadi sebuah pengalaman yang berkesan dan saya ingin mengulanginya,” kata Juande setelah laga.
Trofi tersebut memang cukup berkesan bagi Spurs karena mereka memutus puasa gelar yang sudah berlangsung 9 tahun. Akan tetapi, ambisi Juande untuk mengulang prestasi serupa justru sirna hanya setahun setelah ia ditunjuk menjadi pelatih Tottenham.
Hasil buruk sepanjang musim 2008/2009, ketika Spurs hanya meraih dua poin dari delapan pertadingan awal, membuat Spurs memecat Juande pada 25 Oktober dan menggantinya dengan Harry Redknapp. Sebuah ironi karena Spurs cukup hebat sepanjang pra-musim.
“Semuanya terasa sangat senang sampai akhirnya mereka memecat saya,” kenang Juande.
Pemilik nama lengkap Juan de la Cruz Ramos Cano tersebut tentu disalahkan karena hasil buruk sepanjang musim. Meski begitu, dia menolak untuk disalahkan sepenuhnya. Dalam interview dengan Guardian, Juande juga menunjuk sang direktur olahraga, Damien Comolli, sebagai penyebab. Ketika itu, Juande kehilangan Robbie Keane dan Dimitar Berbatov secara bersamaan, namun Juande yang meminta Samuel Eto’o dan David Villa tidak bisa dipenuhi oleh Damien. Sebaliknya, ia harus menerima Darren Bent dan Roman Pavlyuchenko yang sebenarnya bukan target incarannya.
Setelah Juande, sederet pelatih hebat datang silih berganti. Mulai dari Harry Redknapp, Andre Villas Boas, hingga Mauricio Pochettino. Sayangnya, tidak ada satu pun yang bisa memberikan trofi kepada Spurs. Prestasi terbaik mereka hanya mentok sebagai runner up Piala Liga 2009, semifinalis Piala FA 2010, semifinalis Piala FA 2012, runners-up Piala Liga 2015, runners-up Premier League 2017, semifinalis Piala FA 2017, semifinalis Piala FA 2018, dan runners-up Liga Champions 2019. Segala prestasi “nyaris” ini diharapkan berubah musim ini ketika Spurs dilatih Jose Mourinho.
Tulisan ini dibuat untuk merayakan ulang tahun Juande Ramos ke-66 yang jatuh pada 25 September lalu