Ke Mana Giovani Dos Santos?

Para pemandu bakat mulai teralihkan perhatiannya ketika Giovani Dos Santos menyabet penghargaan Sepatu Emas di Piala Danone 2001. Penghargaan untuk pencetak gol terbanyak untuk turnamen U-12 ini, jelas tak mungkin didapatkan oleh pesepakbola biasa-biasa saja.

Karier Dos Santos melonjak ketika pada 2005, ia dipanggil timnas Meksiko U-17 untuk main di Piala Dunia. Ia pun meraih Silver Ball sebagai pemain terbaik kedua di turnamen tersebut. Dua tahun kemudian, ia meraih Bronze Ball di Piala Dunia U-20 pada 2007.

Bakat Dos Santos memang memesona. Sejak usia 13 tahun, ia sudah berlatih di La Masia dan main buat Barcelona di Juvenil A. Setahun setelah Piala Dunia U-17, ia dipanggil ke tim utama Barcelona untuk mengikuti tur pramusim. Debutnya bahkan dihiasi dengan sebuah gol ke gawang klub Denmark, AGF Aarhus. Barcelona lantas membuat keputusan berani dengan mendaftarkan Dos Santos dalam daftar 23 pemain di Piala Dunia Antarklub pada 2006 di Jepang.

Debut kompetitif Dos Santos buat Barcelona terjadi pada 2 September 2007 pada usia 18 tahun 114 hari. Ia masuk pada menit ke-63 menggantikan Thierry Henry dalam pertandingan yang dimenangi Barcelona 3-1 atas Athletic Bilbao tersebut.

Di musim pertamanya untuk tim senior Barcelona, Dos Santos main cukup banyak. Total ia mengumpulkan 38 penampilan dari semua kompetisi. Akan tetapi, itu sekaligus menjadi musim terakhirnya. Pasalnya, pada 18 Juni 2008 Spurs menebusnya seharga enam juta euro.

Di Spurs, Dos Santos justru lebih sering dipinjamkan, mulai dari Ipswich Town, Galatasaray, hingga Racing Santander. Sampai akhirnya ia meminta untuk dijual dan pindah ke Mallorca pada 2012.

Setelah Mallorca, Dos Santos hijrah ke Villareal, LA Galaxy, dan kini membela kesebelasan Meksiko, Club America. Hampir tidak ada kejutan berarti dari pemain yang digadang-gadang menjadi wonderkid di masa depan ini. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dalam tulisannya di GoalJon Arnold berkesimpulan kalau Dos Santos kehilangan motivasi untuk bermain dan kesulitan menemukan posisi terbaiknya. Ini yang membuat Dos Santos tak kunjung berkembang.

“Semua orang setuju Giovani dos Santos punya bakat. Sayangnya buat Dos Santos, semua orang juga setuju kalau dia tak akan pernah bisa meraih bakatnya secara penuh,” tulis Arnold.

Hal senada juga diakui Jesus Ramirez yang melatih Dos Santos di Piala Dunia U-17. Menurutnya, Dos Santos punya bakat tapi agak tertahan. Padahal, apa yang ia tunjukkan bersama Carlos Vela di lini serang amatlah luar biasa.

Permainan Dos Santos tak konsisten di Eropa. Ia berkelana ke sana ke mari, sampai akhirnya di usia yang masih matang, 26 tahun, ia malah pindah ke MLS. Kepindahan ini seperti sebuah pernyataan kalau kariernya sudah habis. Ditambah lagi, di LA Galaxy ia bukanlah pilihan utama.

Siapa yang salah dalam inkonsistensi Dos Santos? Si pemain atau klub? Arnold menulis kalau ini bisa diperdebatkan. Namun ia menggarisbawahi bahwa sulit bagi klub untuk menempatkan pemain yang entah di mana posisi terbaiknya.

Posisi terbaik Dos Santos sebenarnya sebagai second striker. Akan tetapi klub yang ia bela umumnya tak memiliki posisi ini. Hal ini bikin Dos Santos menjalani berbagai peran. Misalnya saja sebagai pengatur serangan. Olah bolanya mengagumkan, tapi ia tak bisa menghadirkan peluang. Saat dipindahkan ke sayap menjadi inverted winger, Dos Santos lebih banyak bergerak ke dalam untuk mencari bola atau membuat peluang untuk dirinya sendiri.

Secara permainan Dos Santos juga inkonsisten. Pada 2016 ia mampu membikin 14 gol dengan 12 asis dari 28 penampilan. Namun, dua musim kemudian, ia cuma mencetak tiga gol dan memberi dua asis.

Masalah penempatan posisi ini sudah terasa di Barcelona. Soalnya, Frank Rijkaard sebenarnya memberi Dos Santos kesempatan dengan bermain lebih dair 1000 menit di La Liga. Dos Santos diperlukan untuk mengeksploitasi area sisi lawan, tapi ia malah sering masuk ke dalam, tempat Lionel Messi beroperasi. Ini yang bikin Dos Santos kalah tenar oleh Bojan Krkic yang bisa mengisi peran tersebut dengan baik.

Saat pindah ke Spurs, cobaan kembali datang karena transfer Dos Santos bersamaan dengan kedatangan Luka Modric, yang bertahun-tahun kemudian kelak menyabet penghargaan Ballon d’Or.

Inkonsistensi di atas lapangan membuat kehidupan pribadinya mendapatkan sorotan. Ia dianggap tak terlalu fokus pada sepakbola dengan lebih senang menghabiskan waktu di dunia malam. Julukan “Party-boy” pun tersemat padanya.

Motivasinya pun dipertanyakan. Soalnya, ketika main untuk Villareal, Dos Santos malah memilih menyebrangi Atlantik dengan membela LA Galaxy. Padahal, ia main rutin di Villareal dengan total 73 penampilan dari dua musim.

Apa yang terjadi pada Dos Santos di level klub memang memprihatinkan. Namun, hal kontras terlihat di level timnas. Bagaimana tidak? Dos Santos justru tampil sensasional buat El Tri. Dos Santos meraih tiga trofi Gold Cup dan menjadi MVP untuk gelaran 2009.

Meski begitu, Dos Santos tak menyesali kepindahannya ke MLS. Kepada ESPN Mexico ia mengaku bahagia dengan keputusan yang telah ia ambil.

“Aku bangun di pagi hari dan aku bahagia dan itulah yang penting buatku pada akhirnya. Aku menyapa keluargaku, saudaraku, orang tuaku. Kebahagiaanku tak ternilai harganya,” kata Dos Santos.

Baiklah kalau begitu, Party Boy!