Olahraga di Amerika Serikat memang aneh. Bukan hanya mereka seperti hidup di dalam gelembung sendiri dengan kompetisi National Football League (NFL) dan Major Baseball League (MLB), situasi yang meliputi olahraga Negeri Paman Sam juga unik.
Dari NFL, New England Patriots sebagai langganan Super Bowl ditolak oleh target utama mereka, Adam Humphries. New York Yankees yang legendaris di MLB gagal mengontrak pemilik empat Gold Glove Award, Dallas Keuchel. Hingga tim penguasa National Basketball Association (NBA) dalam lima tahun terakhir, Golden State Warrior, tak bisa mengamankan Kevin Durant di tim mereka.
Tapi semua keanehan di atas, tak ada yang bisa mengalahkan anomali Orange County SC. Wajar jika nama kesebelasan itu asing di telinga. Mereka bukanlah peserta Major League Soccer (MLS) yang penuh dengan gemerlap pemain-pemain bintang seperti Wayne Rooney dan Zlatan Ibrahimovic. Mereka main di United Soccer League (USL).
Meski USL memiliki hubungan kerja sama dengan MLS, liga itu bukanlah divisi dua dari struktur sepakbola Amerika Serikat. Tidak ada peluang untuk promosi. Semua tergantung dengan uang dan jatah ekspansi. Dasarnya, USL jauh dari sorotan dan tidak akan pernah mengalahkan MLS yang mendapat jatah bermain di CONCACAF Champions League.
Kedatangan Talenta Ternama Inggris
Foto: Sport Mole
Akan tetapi dengan segala kekurangan yang ada, Orange County berhasil mendaratkan dua pemain Inggris pada 2019. Ini bukan sesuatu yang baru di USL. Inggris sebenarnya adalah salah satu importir talenta terbanyak bagi mereka. Masalahnya, dua pemain yang berhasil dikontrak Orange County adalah Liam Trotter dan Harry Forrester.
Liam Trotter merupakan mantan gelandang andalan Millwall. Bahkan pernah ditunjuk jadi kapten the Lions dan diincar oleh Southampton. Terakhir membela AFC Wimbledon di divisi tiga alias League One, tiba-tiba Trotter mendarat di California.
“Saya sangat senang bisa bergabung dengan OCSC. Saya siap memulai petualangan baru dengan segala pengalaman yang ada, ini tetaplah semua tantangan. Hidup di negara asing seperti Amerika Serikat. Saya tidak sabar membantu dan melihat OCSC berkembang,” kata Trotter.
Harry Forrester lebih gila lagi. Beda dengan Trotter yang sudah berkepala tiga, Forrester masih punya dua tahun sebelum memasuki dekade ketiga hidupnya. Dirinya juga masih dipercaya menjadi tulang punggung Wimbledon pada 2017/2018. Tidak seperti Trotter yang memang sudah menetap di bangku cadangan. Namun, apabila dipikir lagi, Forrester memang sedikit gila.
Kegilaan Harry Forrester
This is Harry Forrester. He’s become the first Englishman to sign for an Iranian club since the 1979 revolution. He spent last season at AFC Wimbledon on loan from Rangers. Next season he’ll be playing under John Toshack at Tractor Sazi. pic.twitter.com/AmMPudIuvY
— Sina Saemian (@Sinaa_sa) July 18, 2018
Memulai karier di Aston Villa, talenta Forrester sempat menarik minat Manchester United dan Tottenham Hotspur. Ia memilih Aston Villa ketimbang dua kesebelasan itu. Kemudian setelah dilepas Aston Villa, Ajax Amsterdam tertarik menjadikannya murid De Toekomst, salah satu akademi sepakbola terbaik di dunia.
Ia bahkan mendapat kesempatan menjalani tes masuk Ajax selama tiga pekan ketika de Godenzonen ditangani Frank de Boer. “Forrester pemain yang bagus. Dia bisa berkembang. Kami menyiapkan dirinya masuk ke Jong Ajax. Ia akan ikut dengan mereka menjalani pra-musim di sana. Setelah itu kita lihat saja. Tapi, sejauh ini Forrester terlihat layak mendapat kontrak,” ungkap de Boer.
Tapi kemudian Forrester justru memilih Brentford dibandingkan Ajax. “Frank de Boer dan Dennis Bergkamp sering berdiskusi dengan saya. Mereka memberikan banyak saran yang positif. Sebagai seorang suporter Arsenal bisa diskusi dengan sosok seperti Bergkamp dan de Boer adalah kebanggan,” aku Forrester.
“Saya kemudian berbicara dengan Uwe Rosler (nakhoda Brentford saat itu), dia sangat antusias. Menginginkan saya ada di dalam timnya. Secara pribadi, saya juga merasa main di Inggris akan lebih baik. Jadi saya memilih Brentford ketimbang Ajax,” jelasnya.
Bahkan sebelum mendarat di California dan membela OCSC, dirinya sempat hijrah ke Iran. Tampil dalam dua pertandingan bersama Tractor Sazi dan dia tidak menyesal.
“Sebenarnya ada beberapa klub Inggris yang menginginkan saya. Kemudian John Toschack meminta saya ke Iran. Saya tak punya apapun untuk diperjuangkan, ke Iran saja. Atmosfer sepakbola di sana luar biasa,” kata mantan pemain Rangers tersebut.
Ambisi Juara Orange County
Foto: Twitter / @OrangeCountySC
Gabung dengan Orange County, Forrester mempersiapkan diri untuk pensiun dini. “Dalam pikiran saya, setelah dua tahun bermain di OCSC, MLS akan jadi tujuan berikutnya. Setelah itu, saya bisa menyiapkan diri untuk hidup pasca sepakbola di sini,” aku Forrester.
Namun sebelum gantung sepatu, ia memiliki tanggung jawab untuk membantu klubnya meraih gelar juara. “Saya sangat senang bisa melihat pemain sekelas Forrester membela OCSC. Ini adalah bukti bahwa kami serius untuk membangun masa depan klub. Forrester adalah pemain yang sudah terbukti kualitasnya. Pernah membela Rangers, salah satu tim terbesar di Skotlandia,” kata Kepala Pelatih Orange County Braeden Cloutier.
“Kedatangan pemain seperti Forrester dan Trotter adalah langkah kami untuk memenuhi ambisi juara. Sama seperti semua peserta liga, kami ingin memenangkan USL Cup. Kami sudah membangun itu sejak musim lalu (2018). Sekarang dengan pemain-pemain yang didatangkan, kami melangkah lebih jauh ke depan,” tambah Oliver Wyss, general manajer Orange County.
Sejak menjalani kerja sama dengan MLS, USL mungkin menjadi liga sepakbola paling berkembang di Amerika Utara yang tidak mendapatkan jatah tampil di ajang antar klub benua mereka.
Kehadiran tim akademi Atlanta United, New York Red Bull, dan lain-lain sudah sangat membantu liga. Mengingat peserta MLS merupakan kesebelasan ternama yang dipandang juga di Eropa, terutama 1.Bundesliga. Tapi jika semakin banyak pemain-pemain gila seperti Forrester yang mendarat di sini. Mungkin sudah saatnya mereka mendapat perlakuan yang sama dengan MLS.