Musim 2014/2015, Turf Moor tertunduk lesu, mereka kembali turun ke Championship Division. Padahal Burnley baru saja promosi ke Premier League di musim yang sama. Burnley pun harus kehilangan sejumlah pemain bintang mereka di akhir musim. Danny Ings pindah ke Liverpool sementara Kevin Trippier ke Tottenham Hotspur.
Ketika banyak klub cenderung memecat manajer mereka ketika turun tingkat, jajaran direksi Burnley mempertahankan Sean Dyche yang sudah menjadi manajer sejak 2012. Kesabaran Burnley menuai hasilnya. Pada musim kedua sejak mereka kembali ke Premier League sejak 2016, Burnley menembus Zona Eropa. Sebuah pencapaian monumental bagi klub ini setelah terakhir mereka menembus Kompetisi Eropa 51 tahun silam.
Sean Dyche sebagai aktor kunci
Burnley bukanlah klub dengan tradisi kuat di Premier League. Pun dengan finansial mereka yang cenderung pas-pasan. Peran Sean Dyche-lah yang mampu membawa Burnley sejauh ini.
“Ia hadir ke Burnley dan menghadapi tantangan besar. Ketika Premier League begitu keras bagi beberapa manajer, Dyche tetap dengan pendiriannya memainkan sepakbola secara kolektif dan itu berhasil. Semua orang membicarakan Pep Guardiola dengan gelar liga. Namun bagi saya, Dyche adalah sosok yang pantas mendapatkan gelar Manajer terbaik musim ini,” ungkap Peter Crouch dilansir dari Daily Mail.
Apa yang diungkapkan Crouch memang tepat. Sean Dyche mengaku kalau pengalaman buruk saat terdegradasi, memberi mereka banyak pengalaman. “Kami tidak memiliki nama besar. Namun saya yakin tim ini mampu bertahan,” ungkap Dyche saat kembali promosi ke Premier League pada 2016/2017 silam.
Ketimbang merombak total pemain, Dyche lebih memilih untuk mempertahankan nama-nama pemain yang membantu Burnley promosi. Sebut saja Tom Heaton, Matthew Lowton, Ashley Barnes, hingga Sam Voxes.
Penambahan pemain pun cenderung efektif. Danny Laferty misalnya didatangkan untuk menjawab kebutuhan di bek kiri. Gudmundsson untuk memberikan pendamping bagi Voxes di lini depan. Hasilnya Burnley mampu bertahan di Premier League setelah menempati posisi ke-16 klasemen akhir.
Finansial minim dan kolektivitas tim
Burnley sangat berhemat dalam perekrutan pemain. Musim ini mereka hanya menghabiskan 32 juta Paun, dengan transfer terbesar untuk mendatangkan Chris Wood dari Leeds United. Bandingkan misalnya dengan Everton yang berada di peringkat kedelapan yang menghabiskan 182 juta Paun. Angka ini tiga kali lipat dari pengeluaran Burnley di bursa transfer.
Gaya bermain yang kolektif ala Dyche yang menjadikan Burnley mampu bersaing. Lini pertahanan Burnley sangat solid. Sejauh ini mereka hanya kemasukan 39 gol, raihan ini lebih baik dibanding Arsenal (51 gol). Solidnya lini pertahan mereka juga sedikit menolong masalah di lini depan Burnley yang hanya mencetak 36 gol. Sebagai gambaran, Stoke City yang terdegradasi musim ini pun bisa mencetak 51 gol. Sementara itu, Manchester City sukses mencetak 106 gol!
Kolektivitas terlihat ketika mereka menahan imbang Manchester City di Truf Moor. Lini depan City sangat kesulitan menembus pertahanan Burnley yang digalang Brian Mee dan Kevin Long. Dari tujuh shoot on target lini serang City hanya satu gol yang menembus jala Nick Pope kala itu.
Burnley sendiri terkenal rapat dari lini tengah hingga lini pertahanan. David Moyes yang menangani West Ham mengakui betapa rapatnya lini tengah Burnley. “Kami melepaskan 10 tendangan, menguasai bola, namun mereka menahan kami di tengah. Kami sedikit lengah di tengah babak kedua, hasil yang mengecewakan,” ungkap Moyes setelah mengakui keunggulan tim tamu 0-3.
Tradisi klub dan rencana ke depan
Kini Brian Mee dkk., menatap musim depan, dengan menjalani kompetisi di Eropa. Mereka juga harus bisa mempertahankan prestasi mereka di Premier League. Sean Dyche secara khusus menyatakan bahwa mereka tetap akan menjadi Burnley dengan prinsip yang sama.
“Anda harus berhati-hati, saya pikir untuk tidak banyak melakukan perubahan, karena itu bisa menjadi sesuatu yang buruk. Tetap berpegang pada dasar-dasar dari apa yang kami lakukan sejauh ini sambil melihat tantangan yang ada didepan kami,” ungkap Dyche dikutip dari Sky sport.
Perubahan yang dimaksud Dyche sendiri adalah perombakan besar dalam skuat dan melupakan prinsip kolektivitas yang membawa Burnley melaju sejauh ini. Hal serupa diungkapkan Nick Pope.
“Ini tergantung pada banyak hal: kebersamaan, mentalitas skuaT, usaha, keinginan. Hal-hal yang mungkin sulit Anda temukan dalam sepakbola modern saat ini, kami memiliki kelebihan itu (kolektivitas). Berlatih adalah bagian besar dari apa yang kami lakukan, kami berlatih keras setiap hari dengan dua pemain untuk setiap posisi memotivasi satu sama lain. Mereka adalah hal-hal yang membuat kami mencapai apa yang kami raih,” ungkap Pope yang tampil gemilang musim ini.
Apa yang diraih Burnley sejauh ini wajib diapresiasi. The Clarets hasil kerja keras mereka menuai hasilnya, lolos ke Eropa tentu akan memberikan tantangan lebih besar. Lalu bagaimana kiprah Burnley musim depan? Mampukah mereka menyamai prestasi musim ini atau malah terpuruk dan kembali terdegradasi?