Ketajaman Luis Suarez yang Terlupakan di Antara Sejumlah Kontroversi

Kedatangan Luis Suarez dari Barcelona ke Atletico Madrid pada 2020 membangkitkan kenangan fans pada sosok David Villa yang menyeberang dari klub sama, tujuh tahun sebelumnya. Di bawah arahan Diego Simeone, striker internasional Spanyol itu sukses membawa kegembiraan bagi para penggemar barunya; berhasil mempersembahkan gelar juara La Liga pertama bagi Colchoneros dalam 18 tahun.

Seperti Villa, makanya ketika Suarez pindah dari Catalunya ke ibu kota Spanyol, publik Metropolitano Stadium pun mengharapkan momen yang sama terulang kembali. Meski dapat dikatakan bahwa sang senior lebih tajam dibanding dirinya saat tiba; Villa berusia 31 tahun ketika pindah sedangkan Suarez menjelang usia 34 tahun, namun Atletico sudah berubah menjadi jauh lebih kuat secara keseluruhan.

Penghujung Karier

Suarez meninggalkan Barcelona saat pelatih baru menduduki tahta di Camp Nou, yang membuatnya semakin tidak nyaman. Ronald Koeman mengawasi langsung habisnya bintang-bintang El Barca yang memudar. Dari Suarez hingga Ivan Rakitic dan Arturo Vidal, kemudian Arda Turan telah meninggalkan klub secara permanen. Bakat muda Arthur dan Nelson Semedo juga dilepas dalam revolusi masa itu.

Sebagai pencetak gol terbanyak ketiga Barcelona sepanjang masa pada saat itu, Suarez jadi korban paling terkenal dari perombakan tersebut. Perjalanannya selama enam musim di Catalunya memang begitu dahsyat. Namun, mereka yang selalu mengikuti Lau Blaugrana secara teratur akan mengamati penurunan ketajaman, intensitas, dan tingkat kerja yang bermasalah pada sosok striker Uruguay itu.

Mengingat usianya saat itu, tidak sedikit pula yang meyakini bahwa Suarez sudah ada di penghujung karier ketika pindah ke Atletico Madrid. Meski begitu, ternyata dia mampu membuktikan pendapat itu tak sepenuhnya benar. Sang penyerang berhasil membantu tim barunya merebut juara liga pada musim debut, menyamai torehan Villa, dengan jumlah gol lebih banyak; 21 gol dalam 32 penampilan.

Prestasi dan Kontroversi

Tentu tak benar jika membiarkan pemikiran soal striker nomor 9 yang menua mengenyampingkan ketajaman di masa jayanya, ketika dia adalah penyerang tengah terbaik di dunia. Gelar top scorer di tiga liga top Eropa; Eredivisie Belanda 2009/2010 bersama Ajax, Premier League Inggris 2003/2004 bersama Liverpool dan La Liga 2015/2016 ketika masih di Barcelona menjadi pembuktian darinya.

Tapi, perjalanan kariernya sejak 2005 tak jarang pula diwarnai kontroversi. Transfernya ke Barcelona pada 2014 sempat terancam bahaya karena perilakunya di Piala Dunia 2014. Saat itu, kemenangan 1-0 Uruguay atas Italia di babak grup dibayangi tragedi gigitan ketiga dalam karier Suarez; menggigit Giorgio Chiellini, setelah sebelumnya Otman Bakkal dan Branislav Ivanovic pernah menjadi korban.

Alhasil, pemain berjuluk El Pistolero atau The Gunman itu diskors selama empat bulan, yang bisa saja membuat Barcelona berpaling. Untungnya klub menegaskan komitmen transfer, hingga akhirnya dia bergabung dengan Lionel Messi dan Neymar untuk menciptakan salah satu trio penyerang paling produktif dalam sejarah sepakbola. Mereka pun memenangkan treble winners pada debut Suarez itu.

Terbaik di Dunia

Jika musim 2014/2015 adalah puncak kariernya dalam pencapaian tim, maka 2015/2016 jadi klimaks individunya. Suarez mencetak 59 gol di semua ajang sepanjang musim. 40 gol di antaranya membuat dia mendapat gelar pichichi. Musim itu sekaligus satu-satunya musim di mana pemain selain Messi atau Cristiano Ronaldo mampu menjadi pencetak gol terbanyak La Liga selama 12 tahun sejak 2009.

Selama masa puncaknya itu, Suarez memadukan kemampuan teknis tertinggi dengan rasa lapar yang tidak terpuaskan untuk mewujudkan sosok Carlos Tevez dengan turbocharger di lapangan. Dia adalah seorang pesaing sengit yang merangkul seni gelap dan kejenakaan dramatis, yang memang dianggap berlebihan oleh beberapa orang, menjadi tantangan dalam banyak sisi utama untuk para bek tengah.

Di lapangan, Suarez adalah pengganggu dalam arti yang sebenarnya; ketajaman yang mengerikan di depan gawang dan bisa menghancurkan dalam sekejap jika dia memprovokasi reaksi yang berpotensi mendaratkan lawannya dalam masalah. Dalam pertunjukan seperti itu, memang tidak heran jika dia tak disukai banyak orang. Namun, tidak peduli seberapa banyak orang membencinya, keefektifannya sebagai penyerang tengah sepanjang tahun 2010-an memang tak akan pernah dapat dipertanyakan.

Sebagian besar orang bahkan dengan enggan akan mengakui bahwa Suarez bukan hanya salah satu pemain terbaik dalam 20 tahun terakhir, tapi juga pemain hebat sepanjang masa. Pemain yang debut kariernya di Eropa bersama Groningen di Belanda itu sendiri bertahan dua musim bersama Atletico. Kemudian, dia sempat pulang ke Uruguay untuk bergabung lagi dengan klub profesional pertamanya, Nacional, dan sejak musim dingin 2023 telah bermain bersama Gremio di Brasil dalam usia 36 tahun.

Sumber: Dream Team FC