Ketika Blunder Terburuk Terjadi di Luar Lapangan

Terkadang, apa yang dilakukan di luar profesi kita akan lebih diingat dan menjadi definisi diri dalam publik. Ini terjadi di berbagai bidang. Muhammad Ali bukan sekedar juara tinju dunia. Ia juga dikenal karena menolak wajib militer ke Vietnam.

Michael Jordan merupakan salah satu atlet terbaik di dunia basket. Namun bagi generasi tertentu, ia tak lebih dari teman Bugs Bunny di film ‘Space Jam’. Chris Benoit merupakan pegulat profesional dengan teknik terbaik di dalam ring. Tapi dia kadang dipandang tidak lebih dari seorang pembunuh.

Semuanya tidak salah. Jika kita melakukan hal yang benar seperti Ali, mengedepankan moral dibandingkan gelar juara, pamor akan bertambah tanpa merusak reputasi profesi sebenarnya. Sebaliknya, jika kita melakukan pembunuhan seperti Benoit, popularitas bisa turun. Bahkan sampai seakan dihapus dari sejarah.

Cerita yang sama dapat dikatakan untuk penjaga gawang asal Wales, Wayne Hennessey. Pemain kelahiran 24 Januari 1987 itu diduga melakukan hormat NAZI dalam sebuah foto. Ketika ditanya tentang kebenarannya, Hennessey mengaku sedang memanggil orang di tengah keramaian. Tangannya diangkat agar bisa menarik perhatian orang tersebut.

“Saya sedang berusaha memanggil orang. Saya mengangkat tangan dan menutup mulut agar suara yang dihasilkan lebih besar dan menarik perhatiannya,” kata Hennessey.

Foto: Independent

“Kita harus bersama-sama menghapus sikap seperti ini dalam dunia sepakbola. Saya tak tahu seberapa jauh pengetahauan Hennessey terkait kejadian di perang dunia kedua. Tapi saya tahu dia adalah sosok yang baik. Dirinya pasti mau belajar tentang hal ini,” ungkap Manajer Crystal Palace Roy Hodgson.

Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) menyebut sikap Hennessey terlalu tidak peka sampai buta soal Hitler, rezim NAZI, dan apa yang mereka lakukan selama menguasai Jerman. Sebagian orang tentu melihat ini sebagai hal yang keterlaluan. Namun mereka juga tak menghukum mantan penjaga Wolverhampton Wanderers tersebut.

“Sebagai generasi yang lebih tua, hal ini tentu membuat kita terkejut. Tapi kita tak bisa mengatakan bahwa pernyataan dari Wayne Hennessey sebagai sebuah kebohongan,” kata FA. “Sangat disayangkan memang. Kami hanya dapat memberikan saran untuk Hennessey untuk belajar tentang sejarah dunia. Itu salah satu cara menikmati kebebasan,” lanjut FA.

Aneh memang, apalagi Hitler sudah diadopsi ke berbagai media budaya populer. Superman dan Captain America pernah memberikan bogem mentah pada Hitler di halaman komik. Magneto dari X-Men adalah salah satu orang yang selamat dari kamp konsentrasi tempat bangsa Yahudi dihabisi NAZI.

Film ‘Schindler’s List’ memenangkan tujuh Piala Oscar dan masuk ke dalam 12 nominasi. Pele pernah jadi bintang dalam film ‘Escape to Victory’ bersama Rocky Balboa, Sylvester Stallone, dan itu juga menggunakan latar yang sama. Tak pernah mengetahuinya? Aneh!

Tapi Roy Hodgson yang mengasuh Hennessey sehari-hari di Crystal Palace saja tak tahu kedalaman pengetahuan pemainnya terkait hal ini. Akan sulit untuk bicara ketika orang yang mengenal Hennessey saja tidak bisa menjelaskan.

Pernyataan FA itu kemudian dikritik oleh mantan pemain Arsenal, Paul Merson. “Jika Wayne Hennessey mengaku tidak pernah mendengar Hitler dan lolos dari hukuman, semua dapat melakukan apapun yang mereka mau. Tak ada lagi hal yang layak dihukum,” kata Merson.

Beda Dengan Di Canio

Foto: Canal RCN

Beruntung bagi Hennessey, dirinya langsung mendapat pengetahuan baru dari Auschwitz Memorial. Melalui Twitter, Auschwitz menjelaskan tentang gaya hormat yang dilakukan oleh Hennessey adalah gestur penting NAZI. Partai yang melakukan genosida saat perang dunia kedua.

“Wayne Hennessey – Salut Hitler adalah sesuatu yang dilakukan oleh partai NAZI. Partai Nasionalis Sosialis Pekerja Jerman itu merupakan awal dari genosida. Anda bisa belajar terkait hal itu di situs kami,” tulis Auschwitz.

Sialnya, sekarang Hennessey akan mulai dikenal sebagai orang yang tidak peka kepada sejarah dunia. Hormat NAZI bukan gestur baru di dunia sepakbola. Paolo Di Canio pernah melakukan hal serupa. Namun setidaknya Di Canio menunjukkan bahwa dirinya tanggung jawab dan peka pada sejarah. “Saya memang seorang fasis, tapi bukan rasis,” katanya.

Karier Hennessey tidak pernah mencapai titik di mana dirinya bisa disejajarkan dengan Muhammad Ali, Michael Jordan, ataupun Chris Benoit. Memulai karier profesional sejak 2006, Wolves mungkin kesebelasan paling populer yang pernah dibelanya. Itupun sebelum Wolves dikenal sebagai kuda hitam. Benoit yang membunuh keluarganya sebelum gantung diri setidaknya bisa menimbulkan perdebatan. Tapi Hennessey?

Entah apa yang harus ia lakukan untuk menghapus noda ini. Menjuarai Piala Eropa atau Dunia bersama Wales? Bermain untuk Real Madrid dan menjuarai Liga Champions? Entah. Mengutip pribahasa populer, “Noda setitik, rusak susu sebelangga”.