Mungkin banyak penggemar sepakbola yang tak mengenal Matteo Brighi. Tapi, pengguna game FIFA dari EA Sports tentu masih mengingat namanya, atau pernah mengetahuinya. Pasalnya, dia pernah menjadi salah satu pemain dengan rating atau nilai tertinggi. Ketika game FIFA 2003 dirilis, rating-nya mencapai 97, angka yang hanya mampu dikalahkan oleh Ronaldo, striker legendaris dari Brasil.
Bahkan, hingga kini tak ada pemain lain pun yang bisa melewati rating 97 yang pernah dimiliki Brighi dalam game tersebut, termasuk Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang disebut sebagai GOAT alias yang terbaik sepanjang masa. Tetapi, tentu saja nilai itu jadi tampak aneh jika mengingat perjalanan karier gelandang yang dikenal sebagai bakat muda Juventus dan pernah membela AS Roma tersebut.
Pemain Menjanjikan
Brighi memulai karir profesionalnya bersama klub kota kelahirannya, Rimini di Serie C2, divisi empat Liga Italia pada 1998, saat masih berusia 17 tahun. Selang semusim, bakatnya pun menarik perhatian raksasa Italia, Juventus, hingga merekrutnya. Tapi, dia baru pindah pada musim panas 2000 setelah tetap bermain di Rimini dengan status pinjaman, karena ingin selesaikan pendidikan diplomanya.
Secara luas, dia dianggap sebagai salah satu pemain muda paling menjanjikan di Italia dan Eropa di masa itu. Merupakan seorang pemain serbaguna, mampu berperan sebagai gelandang tengah atau gelandang bertahan, atau bahkan sebagai playmaker. Brighi punya teknik luar biasa dan kemampuan mengatur tempo permainan tim di lini tengah, dengan stamina, kecepatan dan keuletan di lapangan.
Makanya, Direktur Juventus masa itu, Luciano Moggi membandingkan Brighi dengan legenda Real Madrid Fernando Redondo, setelah pemain muda itu direkrut sebagai bagian dari upaya I Bianconeri merekrut beberapa talenta muda terbaik di Eropa. Pada 2001, dia kemudian memang dinobatkan sebagai salah satu dari 101 pemain muda terbaik dunia oleh Don Balon, media olahraga dari Spanyol.
Pemain Muda Terbaik
Ketika akhirnya tiba di Juventus, manajer Carlo Ancelotti langsung terkesan dengan bakat Brighi. Dia bahkan membandingkan keterampilan dan gaya bermain gelandang muda itu dengan kualitas dirinya sebagai salah satu pemain Italia terhebat sepanjang masa. Namun, ada satu nasehat dari sang pelatih yang kemudian terus menjadi sorotan sepanjang kariernya, “Dia seharusnya tidak terlalu pemalu.”
Brighi pun berusaha keras untuk menghilangkan keraguan itu. Dengan persaingan di lini tengah La Vecchia Signora pada saat itu; ada Zinedine Zidane, Antonio Conte dan Edgar Davids, ternyata musim debutnya di Turin berjalan cukup baik. Pemain 19 tahun itu mencatat 12 penampilan di semua ajang. Hanya saja musim berikutnya dia dipinjamkan ke Bologna untuk mendapat lebih banyak pengalaman.
Tetapi, bersama klub papan tengah Serie A inilah Brighi terus berkembang jadi salah satu prospek paling menarik di Eropa. Dia turut membantu tim mengakhiri musim di urutan tujuh, hanya terpaut tiga poin dari empat besar. Penampilannya yang luar biasa dalam 32 pertandingan di bawah manajer Francesco Guidolin saat itu membuatnya dinobatkan jadi Pemain Muda Terbaik Serie A 2001/2002.
Kemampuan Brighi terus berkembang hingga dipanggil memperkuat Timnas Italia U-21. Dia berduet dengan Andrea Pirlo di lini tengah saat Gli Azzurrini mencapai semifinal Kejuaraan Eropa U-21 2002, sebelum berhasil memenangkannya pada edisi 2004 meski sebagai pengganti di final. Perkembangan pesatnya berlanjut ketika dia juga mendapat debut bersama tim senior Italia musim panas 2002 itu.
Pemain Pinjaman
Mungkin inilah yang membuat EA Sports memberikan rating tinggi untuk Brighi di game FIFA 2003. Potensinya saat itu memang mempesona. Namun, setelah itu, kariernya tidak pernah benar-benar mencapai puncak, terutama karena sang gelandang muda sering mengalami cedera hingga berkali-kali lebih banyak menghabiskan musim dalam peminjaman di sejumlah klub papan tengah Italia.
Menjelang musim 2002/2003, Brighi kembali ke Juventus. Dia memang ikut membantu tim merebut Supercoppa Italia 2002. Namun, ternyata itu menjadi penampilan terakhirnya untuk klub. Parma pun lalu menjadi tujuan berikutnya, dalam kesepakatan kepindahan Marco Di Vaio. Sayangnya, masalah kebugaran menghambat kemajuannya, dan musim berikutnya dia terpaksa dipinjamkan ke Brescia.
Musim panas 2004, Juventus memulangkannya, meski kemudian hanya untuk dilepas secara penuh ke AS Roma sebagai bagian dari kesepakatan untuk merekrut Emerson. Di tim barunya itu pun dia dikirim lagi ke Chievo selama tiga musim, sebelum kembali ke ibu kota pada 2007 sebelum mulai bermain secara reguler. Saat usia 30 tahun, lagi-lagi haru pindah, dipinjamkan ke Atalanta, lalu Torino sebelum dipermanenkan, hingga ke Sassuolo, Bologna, Perugia dan pensiun di Empoli pada 2019.
Sumber: Planet Football