Adriano Leite Ribeiro, begitu nama lengkapnya. Dia pernah menjadi salah satu pesepakbola paling ditakuti di dunia. Penyerang Brasil itu mengejutkan Estadio Santiago Bernabeu dalam penampilan perdananya di Eropa bersama Inter Milan pada 15 Agustus 2001. Ketika itu, mereka menghadapi tuan rumah Real Madrid dalam pertandingan pramusim bertajuk Trofeo Santiago Bernabeu 2001.
Adriano yang baru seminggu bergabung, masuk menggantikan Christian Vieri pada menit ke-37. Inter sebelumnya sempat unggul lewat gol Vieri sebelum disamakan Fernando Hierro melalui titik putih. Saat laga hampir berakhir, Adriano pun muncul memberi kemenangan untuk La Beneamata lewat tendangan bebas luar biasa. Bola mengarah ke sudut atas gawang, membawa Inter jadi menang 1-2.
“Saya tidak akan pernah lupa, kami lawan Madrid dalam laga persahabatan di Bernabeu, dan saya masuk sebagai pengganti. Kami mendapatkan tendangan bebas, dan saya melangkah ke arah bola,” kenang Adriano. “Saya menendangnya dengan kaki kiri, dan Tuhan mengerjakan sisanya! TUM!!! Sudut atas. Saya benar-benar tidak bisa menjelaskannya. Itu terjadi begitu saja,” tambahnya lagi.
Tumbuh di Flamengo
Adriano lahir pada 17 Februari 1982, di salah satu favela, istilah kawasan kumuh sarang kriminal dan gembong narkoba di pinggiran kota-kota besar di Brasil, tepatnya di Vila Cruzeiro yang terletak di perbukitan di atas kota Rio de Janeiro. Sudah jelas dia tumbuh dalam kehidupan yang keras, meski lebih sering menceritakan kenangan masa kecil yang indah, dan tentu saja bola selalu ada di kakinya.
Setelah menyadari bakatnya di usia sangat dini, keluarga dan teman-teman Adriano mengumpulkan setiap koin yang didapat, hingga bisa mengirimnya ke akademi klub Brasil, Flamengo pada 1989. Dia memuji neneknya telah banyak berkorban, termasuk memastikannya selalu dapat kebutuhan kalori sebelum latihan melalui popcorn. Tapi, Adriano memiliki ikatan paling dalam dengan ayahnya, Almir.
Nyaris terbuang di usia 15 tahun, Adriano akhirnya mampu memukau para pelatih dan pencari bakat dua tahun kemudian. Musim berikutnya dia sudah main bersama tim utama Flamengo dan menjuarai kompetisi negara bagian Rio de Janeiro dua musim beruntun. Pada 2001, dia juga sukses membawa Brasil memenangkan Kejuaraan Amerika Selatan U-20 2001, setelah jadi juara Piala Dunia U-17 1999.
Kemampuan luar biasa saat menguasai bola dan kepiawaian mencetak gol mengesankan, akhirnya mengantarkan Adriano ke pusat sepakbola dunia di Eropa pada pertengahan 2001, di usia masih 19 tahun. Sempat dipinjamkan ke Fiorentina dan Parma selama dua musim, pelan tapi pasti dia terus berkembang, dan disebut akan menggantikan Ronaldo sebagai penyerang hebat Brasil berikutnya.
Kematian Sang Ayah
Pada Januari 2004, Adriano kembali ke Estadio Giuseppe Meazza, dan dalam hitungan bulan berhasil mengamankan posisinya sebagai bintang dengan rekor gol luar biasa. Dia muncul sebagai fenomena sejati dengan status pahlawan kultus karena fisik tak tertandingi, kekuatan yang menghancurkan, dan kemampuan mencetak gol sangat mematikan, hingga dijuluki L’Imperatore alias Sang Kaisar.
Zlatan Ibrahimovic pernah menyebut Adriano sebagai pemain paling berbakat yang pernah bermain dengannya. “Ketika saya datang ke Inter, hal pertama yang saya katakan kepada presiden adalah ‘Saya menuntutnya bertahan’, karena dia adalah pemain yang ingin saya ajak bermain,” ungkapnya. Sedang Ivan Cordoba menggambarkannya sebagai penyerang gabungan Ronaldo dan Ibrahimovic.
Tapi, tragedi keluarga tiba-tiba mengubah hidup Adriano dan mengirimnya ke jalan gelap. 4 Agustus 2004, pemain 22 tahun itu sedang menjalani latihan pramusim saat menerima telepon. Hanya selang sembilan hari setelah dia menyelamatkan Brasil dari kekalahan di final Copa America 2004, hingga akhirnya berhasil memenangkan trofi juara dengan mengalahkan Argentina lewat drama adu penalti.
“Dia mendapat panggilan telepon dari Brasil, ‘Adri, ayah meninggal’,” kenang kapten Inter masa itu, Javier Zanetti saat bercerita pada 2017. “Saya melihatnya di kamarnya, dia melempar telepon dan mulai berteriak. Anda tidak dapat membayangkan teriakan yang seperti itu. Saya merinding bahkan sampai hari ini… Setelah panggilan telepon itu, tidak ada yang sama lagi (dari Adriano),” tambahnya.
Akhir Karier
Selama berbulan-bulan sejak kematian ayahnya, Adriano memang masih terus meneror pertahanan lawan sepanjang musim 2004/2005. Tapi, konsekuensinya mulai terlihat dari waktu ke waktu, dan dia mengakui itu adalah titik balik paling menentukan sisa kariernya. Kisah gol-gol yang mengagumkan akhirnya tergantikan oleh kabar-kabar yang mengejutkan saat dia mabuk karena kecanduan alkohol.
“Saya berada di seberang lautan di Italia, jauh dari keluarga saya, dan saya tidak dapat mengatasinya. Saya menjadi sangat depresi, kawan. Saya mulai banyak minum. Saya tak benar-benar ingin berlatih,” cerita Adriano di Players Tribune. “Sejujurnya, meskipun saya mencetak banyak gol di Serie A selama beberapa tahun itu, dan meski fans sangat mencintaiku, kegembiraanku hilang,” tambah sang striker.
“Setelah hari itu, kecintaan saya pada sepak bola tak pernah sama lagi. Dia menyukai permainan itu, jadi saya menyukainya. Jadi ketika ayah saya meninggal, sepakbola tak pernah sama lagi,” pungkas Adriano pada 2021, setelah memendamnya bertahun-tahun. Di usia 27 tahun, dia pun dipulangkan ke Flamengo pada 2009 setelah berbagai kasus indisipliner. Sejak itu, kariernya telah habis di puncak usia emas seorang pesepakbola, dan cerita Adriano akan jadi legenda sepanjang masa pun terhenti.
Sumber: Marca, Sport Bible, The Sun, All Football App.