Bagi Angelos Charisteas, mencetak gol merupakan tugas yang wajib ia kerjakan sebagai pemain sepakbola. Namun, menurut dia ada satu gol yang akan selalu ia kenang sampai akhir hidupnya. Gol yang ia buat ke gawang Ricardo saat ia membela Yunani pada final Euro 2004.
“Sebagian besar mimpi tidak akan pernah diceritakan kepada orang. Namun, mimpi saya sejak pertama kali bermain sepakbola adalah bisa mencetak gol pada final Piala Eropa. Hal ini karena saya melihat Marco van Basten mencetak gol pada final 1988. Setelah 57 menit, semuanya menjadi kenyataan,” kata Charisteas.
Gol pria yang sekarang berusia 40 tahun tersebut memang bukan gol sembarangan. Itulah satu-satunya gol yang terjadi di stadion Da Luz, venue final tersebut. Gol Charisteas menjadi pembeda sekaligus membuat Yunani mencetak sejarah dengan meraih ajang terbesar seantero Eropa tersebut.
“Ketika kami mencetak gol, Anda merasa kalau peluang untuk kalah tidak akan terjadi. Kami mati-matian bekerja keras mempertahankan keunggulan. Anda harus berkorban untuk keajaiban sepakbola yang begitu besar untuk terjadi,” ujarnya menambahkan.
Dunia tidak menyangka kalau Yunani menjadi juara Piala Eropa kala itu. Layaknya kisah dongeng yang beredar, anak asuh Otto Rehhagel ini tidak diunggulkan untuk menjadi pemenang. Dari 16 tim yang hadir di Portugal, Yunani hanya berada sedikit lebih baik dari Latvia sebagai tim terlemah pada turnamen ini. Probabilitas mereka hanya 150 banding 1. Undian juga menempatkan mereka dengan Portugal, Spanyol, dan Rusia. Target Rehhagel sederhana, hanya ingin menang satu kali.
“Target awal kami sebenarnya sederhana yaitu memenangkan satu pertandingan. Catatan itu dianggap sukses yaitu hanya menang satu pertandingan,” tuturnya.
Dilihat dari sudut mana pun, Yunani memang tidak ada pantas-pantasnya dijadikan sebagai tim unggulan. Sebelum 2004, mereka hanya main satu kali di Piala Dunia. Penampilan mereka pada Euro 2004 hanya partisipasi kedua setelah 1980. Saat itu, mereka pulang dengan nol kemenangan. Wajar apabila Rehhagel tidak pasang target yang terlalu tinggi selain menang satu kali.
Alih-alih menang satu pertandingan, Yunani menjadi juara pada satu turnamen. Alih-alih mendapat satu, mereka meraih empat kemenangan. Ditambah dengan sebuah trofi yang membuat negara mereka bisa setara dengan negara-negara hebat yang pernah menjadi juara sebelumnya.
Keajaiban Ethniki sebenarnya sudah muncul sejak babak kualifikasi. Mereka mengawali dua laga dengan meraih dua kekalahan. Namun, enam pertandingan selanjutnya Yunani berhasil menyapu bersih dengan kemenangan. Ajaib, Spanyol yang mengalahkan mereka pada laga pertama di Athens dibuat tunduk ketika bertandang ke Zaragoza. LA Roja bahkan harus lolos ke Portugal melalui jalur Play-off. Namun, saat melakoni pertandingan sesungguhnya jelas tidak ada yang menyangka kalau kejutan dari Yunani terus berlanjut.
Prediksi miring tersebut pelan-pelan dipatahkan oleh mereka. Pertandingan pembuka yang mempertemukan mereka dengan tuan rumah berakhir dengan keunggulan Yunani 2-1. Hasil imbang melawan Spanyol pada pertandingan kedua, membuat Yunani butuh kemenangan ketika melawan Rusia pada laga terakhir.
Sayangnya, Yunani justru kalah. Beruntung, mereka tetap lolos ke delapan besar karena Spanyol kalah melawan Portugal. Meski memiliki poin sama, selisih gol yang sama, serta head to head yang berakhir imbang, namun Yunani diselamatkan dengan produktivitas gol mereka yang jauh lebih baik yaitu empat berbanding dua.
Dewa-dewa Yunani tampaknya menolong Charisteas dan kawan-kawan. Setelah melangkah ke fase gugur, mukjizat tidak pernah berhenti menaungi mereka. Prancis, juara bertahan kompetisi, takluk dengan skor 1-0. Skor yang sama mereka raih ketika menyingkirkan Republik Ceko melalui aturan Silver Goal. Keajaiban kemudian ditutup dengan gol Charisteas pada partai puncak. Yunani mengangkat trofi Henri Delaunay dengan selalu menang 1-0 sejak perempat final dan semua gol yang dicetak melalui sundulan.
“Ini (gelar juara 2004) merupakan sebuah sensasi. Kejutan akan selalu ada. Ingat pada Piala Dunia 1966 ada Korea Utara yang mengalahkan Italia? Kali ini, kejutan tersebut berasal dari kami,” kata Rehhagel.
Keberhasilan Yunani memang menjadi sebuah sensasi. Dengan kualitas pemain yang semenjana, tidak ada yang menyangka kalau mereka bisa menjadi juara. Namun, itu semua ditutupi denga kerja keras serta kedisiplinan yang dimiliki oleh seluruh penggawa Yunani.
“Hanya itu (kerja keras dan kedisiplinan) yang kami punya. Kami tidak punya Zidane, Simao Sabrosa, atau Cristiano Ronaldo. Tapi, kami punya kerja keras, pengorbanan, determinasi, dan semangat kekeluargaan,” kata bek Takis Fyssas.
Semua yang disebutkan Fyssas sebenarnya faktor pendukung. Yang menentukan sebuah tim bisa meraih kesuksesan adalah apa yang mereka tampilkan ketika di atas lapangan. Kalau soal itu, lini pertahanan Yunani bisa disebut sebagai kunci keberhasilan mereka. Kekuatan defensif mereka sebenarnya sudah ditunjukkan sejak kualifikasi. Meski hanya membuat delapan gol, namun Yunani mengimbanginya dengan hanya kebobolan empat kali selama kualifikasi.
Jumlah yang sama juga hadir saat mereka bermain pada fase grup. Akan tetapi, mereka terus meraih clean sheet ketika memasuki fase gugur. Satu gol dianggap cukup karena bagi mereka ‘yang penting menang’. Asal lini belakang solid, mereka tinggal mencari cara untuk memanfaatkan peluang sekecil apa pun ketika sudah sampai ke sepertiga akhir pertahanan lawan. Itulah yang mereka lakukan sepanjang turnamen.
“Pencapaian luar biasa bagi sepakbola Yunani dan Eropa. Lawan memang memiliki kalitas lebih baik dari kami, namun kami mampu memanfaatkan kesempatan,” kata Rehhagel.
Sayangnya, gelar ini kemudian menjadi satu-satunya gelar prestisius Yunani sepanjang turnamen internasional. Setelah itu, mereka kembali ke habitat semula yaitu hanya sebatas tim pelengkap turnamen. Yunani tidak lolos Piala Dunia 2006 di Jerman. Datang sebagai juara bertahan pada Euro 2008, mereka justru menjadi juru kunci grup D dengan tanpa sekalipun meraih kemenangan. Pada Euro 2021 nanti, mereka juga sudah dipastikan tidak lolos.