Serie A Italia pernah dikejutkan oleh kemunculan putra diktator Libya Muammar Gaddafi pada awal 2000-an. Putra ketiga sang kolonel yang bernama Al-Saadi Gaddafi itu masuk ke sepakbola Negeri Pizza; tapi bukan sebagai pebisnis atau pemilik klub, melainkan menjadi pemain di salah satu klub. Bahkan dia bergabung dengan klub Serie A pada periode paling sukses kompetisi sepakbola Italia itu.
Padahal, sebelumnya Al-Saadi sama sekali tidak pernah dikenal dalam dunia sepakbola Eropa. Karier profesionalnya pun baru dimulai tiga tahun sebelumnya, di usianya yang sudah memasuki 27 tahun. Tetapi, hanya dalam waktu singkat, berkat pengaruh sang ayah yang berkuasa pada masa itu, dia pun tampil sebagai bintang besar sepak bola di di negara Afrika Utara tersebut pada awal 2000-an silam.
Awal Karier Al-Saadi Gaddafi
Lahir di Tripoli, Libya pada 25 Mei 1973, sejak kecil Al-Saadi hidup dalam kemewahan, sehingga bisa melakukan apapun, termasuk bermain sepakbola. Dia mulai main sepakbola di kompleks kediaman keluarganya di Bab al-Azizia, Tripoli, dengan sang ayah langsung mendatangkan pelatih pribadi ke rumah. Sejak itulah, Al-Saadi menekuni sepakbola, tetap dengan pengaruh ayahnya, sang diktator.
Tapi, Al-Saadi baru masuk ke dunia sepakbola profesional pada tahun 2000. Ketika itu, dia bergabung dengan klub lokal, Al-Ahly Tripoli sebagai penyerang, di mana memainkan 14 pertandingan dengan tiga gol di Liga Libya. Setahun kemudian pindah ke Al-Ittihad Tripoli dan bertahan dua musim. Selama periode itu, dia sukses mencetak 24 gol dalam 74 penampilan di liga domestik selama dua musim.
Hanya saja, banyak catatan yang menyebut kemampuan Al-Saadi sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi karena ayahnya berkuasa, dia bisa melakukan apapun di lapangan. Jabatan kapten di klub dan tim nasional jadi miliknya. Bahkan, rekan satu timnya menerima hadiah mewah karena mengoper bola kepada Al-Saadi, berupa mobil Toyota Camry dan uang senilai 500 dinar Libya yang cukup besar.
Tak hanya di lapangan, dia juga beraksi di belakang layar. Hanya namanya yang dapat disebutkan oleh komentator televisi. Al-Saadi juga jadi ketua Federasi Sepak Bola Libya (LFF), sehingga semua keputusan sesuai dengan keinginannya. Saat pindah ke Al-Ittihad Tripoli, dia sekaligus membeli klub tersebut, dan segera meraih kesuksesan gelar liga ganda, sebuah dongeng yang benar-benar terjadi.
Al-Saadi Gaddafi Pindah ke Eropa
Setelah karier pendek yang sangat sempurna di negara asalnya, agenda Al-Saadi selanjutnya adalah melintasi benua, pindah ke Eropa. Sebenarnya di awal musim 2000/2001, BBC sempat melaporkan dia telah menandatangani kontrak dengan juara Malta, Birkirkara FC, dan akan ikut bermain di Liga Champions. Sayangnya gagal, sebelum impiannya bermain di Eropa terwujud tiga tahun kemudian.
Pada awal musim 2003/2004, Al-Saadi menandatangani kontrak dengan klub papan bawah Serie A, Perugia. Tentu saja ini membuat heboh, karena hanya sedikit orang di Italia yang pernah melihatnya bermain. Tapi, pemilik Perugia, Luciano Gaucci memang dikenal aneh; pernah berusaha merekrut pemain wanita, selain tentu keberhasilannya dengan sosok Hidetoshi Nakata dan Ahn Jung-hwan.
Tetapi, Al-Saadi tampak mempersiapkan segalanya dengan seksama. Diego Maradona pun didaulat sebagai konsultan teknisnya, dan sprinter Kanada Ben Johnson menjadi pelatih pribadinya. Meski begitu, tetap saja kemampuannya jauh di bawah standar.
“Bahkan pada dua kali kecepatannya saat ini, dia masih dua kali lebih lambat dari kecepatannya sendiri,” tulis artikel di La Repubblica saat itu.
Sebenarnya, langkah ekspansi ke Italia sudah dimulai setahun sebelumnya. Perusahaan Penanaman Modal Asing Libya (LAFICO) membeli 6,4 juta saham Juventus pada tahun 2002. Pembelian saat itu setara dengan kepemilikan 5,31 persen klub. Makanya, perusahaan minyak milik pemerintah Libya, Tamoil pernah menjadi sponsor utama I Bianconeri dan laga Supercoppa Italai 2002 digelar di Tripoli.
Petualangan Al-Saadi Gaddafi di Italia
Menariknya, Al-Saadi sempat ingin bermain untuk Juventus, tapi pelatih saat itu, Marcello Lippi telah menolaknya meski mendapat banyak tekanan. Pelatih Perugia, Serse Cosmi juga tahu betul bahwa sang pemain tidak memenuhi standar, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, dia hanya bermain 15 menit di Serie A jelang akhir musim, saat Perugia menjamu Juventus dan berhasil menang tipis 1-0.
Musim berikutnya masih bersama Perugia, Al-Saadi diberi kesempatan main dalam dua pertandingan Coppa Italia sebagai pengganti. Tetapi, meskipun tak bisa mendapatkan apa-apa dari kemampuannya di lapangan hijau, Perugia memenangkan banyak dana segar dari Libya. Itu pula yang kemudian turut menggoda Udinese dan Sampdoria untuk mendatangkan Al-Saadi ke masing-masing klub tersebut.
Pada musim panas 2005, Udinese merekrut Al-Saadi. Tapi, dia pun hanya mendapat 10 menit tampil di laga tak penting jelang akhir Serie A musim itu. Sedangkan di Liga Champions dan Piala UEFA, di mana klub tersebut ikut bermain, Al-Saadi sama sekai tak pernah masuk skuad. Musim berikutnya, giliran Sampdoria yang mencoba memanfaatkan profilnya, meski itu gagal sama seperti Udinese.
Setelah itu, Al-Saadi kembali ke Libya untuk melanjutkan bisnis dan pengaruh sang ayah. Tapi, pada 2011 perang sudara pecah dan dia jadi komandan Pasukan Khusus Libya untuk melindungi kekuasaan ayahnya. Hanya saja, rezim Gaddafi tak bertahan setelah ayahnya terbunuh dalam perang. Al-Saadi kabur ke Niger sebelum Interpol menangkapnya dan pemerintah Libya menjebloskannya ke penjara.
Sumber: Bleacher Report (1) (2), BBC, Marca, The Fourth Floor