Kisah Kegagalan Uang Minyak Qatar di Klub Spanyol Malaga CF

Uang minyak dari Qatar telah mendatangkan kesuksesan besar bagi Paris Saint-Germain di Prancis, sejak diakuisisi pada 2011. Dana besar dari negara Timur Tengah lainnya juga sudah menghidupkan sejumlah klub Eropa. Termasuk menghasilkan banyak prestasi, seperti Manchester City yang baru merebut treble winners 2022/2023, disokong oleh keluarga Kerajaan Uni Emirat Arab sejak 2008.

Tetapi, lain cerita dengan yang dialami Malaga CF, salah satu klub Spanyol. Mereka bahkan lebih dulu setahun dari PSG menerima modal Qatar. Namun, kedatangan investor baru dari keluarga Kerajaan Qatar itu ternyata hanya mampu memberikan efek sementara. Jika PSG menuai sukses besar, maka Los Blanquiazules malah hancur dalam waktu tak sampai 10 tahun sejak mendapatkan uang Qatar.

Ambisi

Emir Qatar sebelumnya, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani memiliki 24 anak. Salah satunya membeli PSG, dan Sheikh Abdullah bin Nasser Al Thani, sepupu emir sebelumnya yang pernah disingkirkan, memilih Spanyol. Pada Juni 2010, dia pun membeli kepemilikan Malaga yang mengalami kesulitan keuangan dan baru saja menghindari degradasi hanya dengan selisih satu poin di musim sebelumnya.

Secara teori, Malaga adalah klub yang sangat potensial. Mereka berasal dari kota terbesar keenam di Spanyol, jaraknya sekitar 200 kilometer dari klub besar lainnya, Sevilla dan Real Betis. Fasilitasnya termasuk stadion berkapasitas 30.000 tempat duduk di La Rosaleda. Namun, bukan itu yang menarik Sheikh Abdullah sampai rela mengeluarkan dana yang diprediksi mencapai 36 juta Euro di masa itu.

Adalah ambisi Presiden Malaga CF saat itu, Fernando Sanz, juga anak dari eks Presiden Real Madrid Lorenzo Sanz, yang dibeli mahal Sheikh Abdullah. Yaitu, visi memecah duopoli Madrid dan Barcelona. Sang raja minyak meyakini itu, meski sejarah mencatat klub ini baru dua musim terakhir kembali lagi bermain di La Liga Spanyol, dengan Piala Intertoto 2002 sebagai satu-satunya prestasi di level atas.

Perombakan

Perjalanan uang Qatar untuk Malaga pun dimulai. Juara Portugal, Jesualdo Ferreira bersama Porto ditunjuk sebagai pelatih. Namun, hanya bertahan beberapa bulan, sebelum dipecat pada November 2010 setelah mereka terdampar di urutan 18, tepat di bawah batas zona degradasi. Arsitek asal Chile yang sukses di Villarreal tapi baru dibuang Madrid saat itu, Manuel Pellegrini ditunjuk jadi pengganti.

Suntikan talenta kelas dunia ikut pula diberikan. Dari kiper Willy Caballero, bek Martin Demichelis, serta gelandang Julio Baptista dan Ignacio Camacho yang datang pada bursa transfer musim dingin, bergabung dengan Salomon Rondon, pembelian termahal klub senilai 3,5 juta Euro pada Juli 2010. Dan sokongan bahan bakar minyak dari Qatar itu mulai berbuah hasil, mereka sukses finish posisi 11.

Musim berikutnya adalah perombakan. Pemain top Spanyol dan talenta berpengalaman dari seluruh Eropa direkrut; dari Isco, Joaquin, Nacho Monreal dan Santi Cazorla hingga gelandang Prancis Jeremy Toulalan. Dua nama terakhir menghabiskan total 34 juta Euro. Ditambah striker veteran Ruud van Nistelrooy secara free transfer. Hasilnya finish urutan empat dengan menjatuhkan Atletico Madrid.

Catatan paling hebat tentu saja lolos ke Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Meski melepas beberapa pemain utama di musim panas 2012, Malaga menggantinya dengan Javier Saviola dan Roque Santa Cruz, dan mereka masih mampu berbuat banyak. Pellegrini membawa tim hingga perempat final Liga Champions 2012/2013, sebelum kalah dramatis dari Borussia Dortmund.

Badai Besar

Pada musim panas 2012, sebelum tim memulai kampanye perdana di Liga Champions, sebenarnya tanda-tanda badai besar akan menghantam Malaga sudah mulai kelihatan. Ada banyak hal yang tak diketahui penggemar, bahwa mengumpulkan skuat besar penuh talenta telah mensyaratkan tagihan gaji selangit, yang pada akhirnya akan menjadi awal dari kejatuhan (lagi) klub mereka di masa depan.

Penjualan Cazorla dan Rondon saat itu, disusul Nacho di musim dingin mengirim pesan jelas bahwa Malaga sedang butuh dana segar. Kondisi makin pelik setelah Desember 2012 mereka mendapatkan hukuman larangan tampil di kompetisi UEFA mulai 2013/2014 karena tidak mematuhi UEFA Financial Fair Play. Makanya, meski finish posisi enam di akhir musim, mereka tidak bisa pergi ke Liga Europa.

Diawali dengan ketidakpuasan atas kepemimpinan wasit saat kalah dari Dortmund, Sheikh Abdullah mulai meneriakkan ketidakadilan.

“Kami jadi sasaran sejak awal musim oleh UEFA yang korup dan berdasarkan rasisme,” katanya dilansir Views from the Concourse.

Sempat menjadi kekuatan Eropa hanya dalam kurang dari tiga tahun, akhirnya raja minyak dari Qatar berhenti menyuntikkan dana.

Sejak itu, Sheikh Abdullah menyegel nasib klub yang telah dilumpuhkan utang. Posisi mereka terus merosot hingga degrasai lima tahun kemudian, mengakhiri 10 musim beruntun di papan atas. Pada awal 2020, sang presiden dilaporkan berutang 8,5 juta Euro pada klub dan diskors dari jabatannya, meski pada Februari 2022 pengadilan memutuskan tak ada bukti yang cukup dalam tuduhan itu. Sementara itu, mulai musim depan Malaga harus bermain di divisi tiga, pertama kalinya sejak 1998.

Sumber: View from the Concourse, Wikipedia