Kisah Loris Karius di Final Liga Champions

Pesepakbola sehebat apapun bisa saja melakukan blunder. Akan tetapi, kalau blundernya dilakukan di pertandingan maha penting, seperti final Liga Champions, misalnya, blunder adalah kesalahan tak termaafkan.

Hal ini yang dirasakan Loris Karius ketika mengawal gawang Liverpool saat menghadapi Real Madrid. Dua blundernya membuat The Reds kalah 1-3. Gara-gara blunder ini, bukan cuma mentalnya yang kena kritikan fans, tapi juga kariernya yang mandek.

Usai prahara di final tersebut, Karius tak lagi dibutuhkan Liverpool. Jurgen Klopp mendatangkan Alisson dari AS Roma senilai 55 juta paun. Sementara Karius dipinjamkan ke Besiktas dan kini kembali dipinjamkan ke Union Berlin.

Karius sendiri sudah menyampaikan permohonan maafnya atas blundernya tersebut. Apalagi, itu juga mengganggu mentalnya. Ia sulit tidur setelah pertandingan itu.

Blunder yang pertama terjadi ketika Karius berusaha melemparkan bola rendah ke rekannya. Namun, entah apa yang ada di pikirannya. Di hadapannya ada Karim Benzema yang tengah mengganggu. Pemain berkebangsaan Prancis tersebut berusaha menutup arah operan Karius.

Sialnya, Karius tetap melemparkan bola tersebut yang akhirnya mengenai kaki Benzema. Bola pun bergulir pelan ke gawang The Reds pada menit ke-51 dan membuat skor menjadi 1-0 untuk keunggulan Madrid.

Liverpool sempat menyamakan skor lewat Sadio Mane, empat menit kemudian. Gareth Bale lalu membuat Madrid unggul lewat tendangan saltonya pada menit ke-63.

Usai gol tersebut, para pemain The Reds kembali menekan pertahanan Madrid untuk menyamakan kedudukan. Sialnya, pada menit ke-83, Karius kembali bikin blunder. Bale melepaskan tendangan jauh dari luar kotak penalti. Karius berhasil menangkapnya, tapi sepersekian detik kemudian, bola lepas dan masuk ke gawang.

“Belum benar-benar tidur sampai sekarang, adegannya masih terus berputar di kepala saya. Saya sangat menyesal kepada rekan satu tim saya, untuk Anda para penggemar dan untuk semua staf. Saya tahu bahwa saya mengacaukannya dengan kedua kesalahan dan mengecewakan kalian semua,” cuit Karius di Twitter, sehari setelahnya.

“Seperti yang saya katakan, saya hanya ingin memutar waktu tetapi itu tidak mungkin. Bahkan lebih buruk karena kami semua merasa bahwa kami bisa mengalahkan Real Madrid dan kami berada dalam permainan untuk waktu yang lama.

“Terima kasih kepada para penggemar kami yang luar biasa yang datang ke Kiev dan mendukung saya, bahkan setelah pertandingan. Saya tidak menerima begitu saja dan sekali lagi itu menunjukkan kepada saya betapa besar kita sebagai keluarga. Terima kasih dan kami akan kembali lebih kuat.”

Karius sempat mendapatkan ancaman pembunuhan dari penggemar di media sosial. Bahkan, Kepolisian Merseyside sampai turun tangan. “Pasukan menangani postingan media sosial seperti ini dengan sangat serius dan setiap pelanggaran yang diidentifikasi akan diselidiki,” kata juru bicara kepolisian kepada Daily Telegraph.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?

Dilansir dari BBC, Karius sebenarnya menderita gegar otak di pertandingan final tersebut. Ini disimpulkan dari dr. Ross Zafonte yang memeriksanya di Boston, Amerika Serikat. Ia menyebut kalau dampak dari gegar otak ini kemungkinan langsung dirasakan Karius saat itu juga.

Dr. Zafonte menyatakan bahwa kemungkinan cedera tersebut memengaruhi performa Karius. Dr. Zafonte bilang kalau Karius mengalami “disfungsi spasial visual”, suatu proses yang menghambat kemampuan seseorang untuk memproses informasi visual tentang letak benda. Hal ini merupakan dampak dari gegar otak itu sendiri.

Sebelumnya, Karus bertabrakan dengan bek Real Madrid, Sergio Ramos pada awal babak kedua. Tak berselang lama setelah tabrakan tersebut, Karius mulai membuat kesalahan yang menjadi gol pertama Madrid malam itu.

Liverpool pun mengirimkan Karius ke Massachusetts General Hospital dan Spaulding Rehabilitation Hospital, untuk diperiksa. Dr. Zafonte bahkan bilang kalau Karius sebenarnya belum pulih sepenuhnya.

“Gegar otak adalah hal yang sangat serius. Dia membuat dua kesalahan besar dan saya merasa kasihan kepadanya. (Tapi) Saya tak merasa kalau alasan ini perlu disampaikan karena orang-orang akan bilang kalau dia cuma bikin alasan (dengan gegar otak ini),” kata Chris Sutton.

Sumber: BBC.