Pada 8 Mei 1954, 11 negara Asia yang terdiri dari Afghanistan, Burma (Myanmar), Republik Tiongkok, Hong Kong, Iran, India, Israel, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Singapura, dan Vietnam Selatan mendirikan organisasi sepakbola Asia atau yang akrab disapa AFC. Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk mempertegas kedaulatan sepakbola khususnya di wilayah Asia.
Butuh sebulan sejak organisasi tersebut dibentuk untuk mendapatkan pengakuan dari FIFA. Setelah mendapat status resmi dari badan sepakbola dunia tersebut, mereka kemudian sepakat untuk langsung menggelar turnamen sepakbola terbesar mereka yaitu Piala Asia. Pada tahun 1956, dua tahun setelah mereka berdiri, AFC menggelar Piala Asia pertama sepanjang sejarah yang menghasilkan Korea Selatan sebagai pemenang edisi pertama.
Hong Kong terpilih menjadi tuan rumah. Pada edisi pertama, 11 negara pendiri AFC ambil bagian pada babak kualifikasi bersama delapan tim yang bukan sebagai pelopor berdirinya AFC. Dari jumlah tersebut, kualifikasi dibagi menjadi tiga zona yaitu Central Zone, Eastern Zone, dan Western Zone. Dari masing-masing zona ini kemudian terpilih satu negara yang akan menemani Hong Kong sebagai tuan rumah.
Sebenarnya, Indonesia nyaris berhasil masuk putaran final Piala Asia. Pada dua laga kualifikasi zona sentral, Indonesia masuk final setelah menang WO melawan Singapura dan Thailand. Apesnya, Indonesia justru kalah WO pada final kualifikasi ketika melawan Vietnam Selatan.
Lengkap sudah empat negara yang bertanding saat itu. Mereka adalah Hong Kong, Vietnam Selatan, Korea Selatan, dan Israel. Karena jumlah negara yang bertanding hanya sedikit, maka turnamen saat itu digelar dengan sistem liga dan bermain setengah kompetisi. Semua pertandingan berlangsung di Government Stadium yang berkapasitas 28 ribu penonton.
Perjalanan Korea Selatan menjadi juara dimulai pada tanggal 6 september. Ketika itu, Korea selatan bertemu dengan tuan rumah Hong Kong yang kalah pada pertandingan pembuka melawan Israel. Mereka nyaris kalah karena Hong Kong langsung unggul 2-0 melalui Tang Yee Kit dan Ko Po Keung. Namun, jelang babak pertama berakhir Kim Ji Sung langsung memperkecil kedudukan. Korea kemudian diselamatkan melalui gol Choi Kwang-Seok pada menit ke-62.
Padap pertandingan kedua, Korea bertemu dengan Israel yang mengalahkan Hong Kong 3-2 pada pertandingan pertama. Jika melawang Hong Kong mereka tertinggal dua gol terlebih dahulu, maka melawan Israel mereka unggul dua gol terlebih dahulu melalui Woo Sang-Kwon dan Sung Nak-Woon. Nahum Stelmach memperkecil kedudukan. Hasil ini membawa Korea menjadi pemuncak klasemen dengan poin tiga. Untuk menjadi juara, Korea harus menang ketika berjumpa dengan Vietnam Selatan karena saat itu kemenangan masih dihargai dua poin.
Pertandingan terakhir Korea Selatan berlangsung tiga hari setelah laga terakhir Israel yang juga menghadapi Vietnam Selatan. Ketegangan luar biasa menghinggapi anak asuh Lee Yoo-Hyung. Pasalnya, Israel menang 2-1 sehingga mereka sementara menjadi pemuncak klasemen.
Kemenangan Israel tampak menjadi cambuk bagi skuad Korea. Ketika pertandingan berlangsung, mereka langsung ngegas dengan mencetak gol pada menit ke-5 melalui Sung Nak-Woon. Akan tetapi, Vietnam Selatan menyamakan kedudukan pada menit ke-20. Sempat unggul 2-1 pada babak pertama, Vietnam Selatan kembali menyamakan kedudukan.
Tidak mau disamakan kembali, Korea langsung mencetak tiga gol pada babak kedua melalui Woo Sang-Kwon, dan dua gol Choi Chung-Min. Vietnam Selatan hanya bisa mencetak satu gol. Skor 5-3 berakhir dan 15 September 1956, Korea Selatan menjadi juara Piala Asia edisi pertama dengan mengumpulkan lima poin.
Hasil ini tampak menjadi puncak dari rangkaian prestasi sepakbola Korea Selatan. Dua tahun sebelumnya, mereka menjadi tim Asia kedua yang bisa berlaga di Piala Dunia. Di Hong Kong, mereka berhasil meraih gelar internasional pertama sepanjang sejarah. Gelar yang juga menjadi hiburan bagi rakyat Korea Selatan yang saat itu masih berkutat dengan perang.
Ada banyak perjuangan yang harus dialami oleh skuad Korea Selatan saat itu. Park Kyung-Ho, salah satu penggawa Korea Selatan 1956 bercerita kepada situs resmi AFC tentang perjuangan mereka untuk mendapat gelar tersebut. Negara mereka rusak karena perang. Hanya ada satu penerbangan internasional dalam seminggu membuat mereka kesulitan untuk mencari tiket saat melakoni kualifikasi. Bahkan mereka baru tiba ketika turnamen sudah dimulai.
“Semua pemain saat itu menjadi anggota tentara. Jadi, kami hanya punya satu minggu untuk mempersiapan diri sebelum bertading di Taipei (final kualifikasi). Kami harus kembali ke Seoul dan menunggu seminggu sebelum terbang lagi ke Hong Kong,” ujarnya. Bahkan pertandingan melawan Hong Kong terjadi beberapa jam setelah mereka tiba. Beruntung mereka masih bisa membawa satu poin.
Mereka juga harus berjuang dengan warna seragam mereka yang luntur karena hujan. Beruntung, ada orang Korea yang tinggal di Hong Kong dan orang tersebut memberikan seragam baru hingga turnamen berakhir. Mereka juga tidak punya dokter tim sehingga pemain yang mengalami cedera hanya dirawat dengan air.
Kedatangan mereka sebagai juara juga tidak mendapatkan tanggapan baik. Tidak ada sambutan dari penduduk Korea. Wajar, karena perang masih menghantui mereka. Beruntung, presiden mereka mengundangnya ke kediaman mereka.
Empat tahun kemudian, Korea Selatan berhasil mempertahankan gelarnya. Namun, itulah kali terakhir mereka berjaya di level Asia. Sejak saat itu, mereka tidak bisa lagi menjadi juara. Empat kali melangkah ke final, mereka selalu kalah dengan final terakhir terjadi pada 2015 saat mereka kalah dari Australia. Pada 2019, mereka tersingkir pada perempat final setelah kalah tipis 1-0 dari Qatar yang menjadi juara.