La Liga 1999/2000, Ketika Deportivo La Coruna Menangkan Gelar Pertama

Lebih 20 tahun yang lalu, Deportivo La Coruna berhasil memenangkan trofi liga domestik pertama mereka, tepatnya La Liga Spanyol 1999/2000. Itu musim kesembilan secara beruntun bagi tim papan tengah tersebut di kasta atas Spanyol, meski dua musim sebelumnya harus finish di luar lima besar. Sebelumnya mereka pun hanya pernah merebut trofi Copa del Rey dan Piala Super Spanyol 1995.

Kesuksesan Deportivo pada musim 1999/2000 itu memang sangat luar biasa. Meski sempat dua kali beruntun finish sebagai runner-up pada periode 1994-1995, tapi mereka sempat 18 musim berturut-turut main di level rendah, termasuk di divisi tiga 1974/1975 dan 1980/1981, sebelum kembali ke La Liga pada 1991. Makanya, tidak heran jika prestasinya itu benar-benar mengejutkan banyak orang.

Menyingkirkan Real Madrid dan Barcelona

“Musim 1999/2000 adalah salah satu yang paling aneh dalam sejarah La Liga,” tulis Daily Mail pada judul artikelnya yang dipublikasikan pada 2020 lalu, tepat 20 tahun setelah momen tersebut.

Bukan hanya kemenangan Deportivo dengan menyingkirkan dua tim raksasa bertabur bintang, Real Madrid dan Barcelona, tetapi juga jatuhnya tiga klub besar lainnya ke jurang degradasi pada akhir musim.

Deportivo mengawali musim itu dengan kemenangan meyakinkan 4-1 atas tamunya, Alaves pada 22 Agustus 1999. Namun, mereka baru bisa merebut puncak klasemen setelah 12 pertandingan, dengan tujuh kemenangan, tiga kali imbang dan hanya dua kekalahan. Sejak itu, Os Brancoazuis tidak pernah menyerahkan keunggulan mereka pada lawannya, hingga berhasil memastikan mahkota juara liga.

Sementara Madrid dan Barcelona tersandung sepanjang musim, hingga John Toshack dan Louis van Gaal dipecat sebagai manajer kedua klub tersebut. Meski begitu, tim Catalan mampu bangkit hingga finish sebagai runner-up liga. Sedangkan Madrid melaju di Liga Champions untuk mengalahkan rival sesama Spanyol, Valencia di laga final. El Real sendiri finish kelima di liga, dan lawannya di posisi tiga.

Jumlah Poin Terendah dari Tim Juara

Pelatih Javier Irureta adalah sosok di balik sejarah besar Deportivo pada musim itu. Dia dikawal para pemain penting, meski bukan deretan bintang dunia. Ada pemain asal Maroko Noureddine Naybet di jantung pertahanan, yang sering dipasangkan dengan gelandang Brasil Donato. Pemain Brasil lainnya, Mauro Silva menyatukan semua di lini tengah, menyokong Djalminha yang membangun serangan.

Roy Makaay yang menjalani musim debutnya setelah didatangkan dari Tenerife seharga 8 juta Euro menjadi pemimpin di lini depan. Striker Belanda itu mencetak 22 gol dalam 36 laga, hanya kalah dari penyerang Racing Santander Salva yang merebut penghargaan Pichichi dengan 27 gol, serta Jimmy Floyd Hasselbaink (Atletico Madrid) dan Catanha (Malaga) yang masing-masing mengoleksi 24 gol.

Meskipun terdengar mudah, tapi perjalanan Deportivo hingga akhir musim sebenarnya cukup berat. Mereka sempat menelan 11 kekalahan dari 38 pertandingan, dan sebagian besar terjadi pada paruh kedua. Sedang Barcelona terus membuntuti, musuh yang pernah memberikan mimpi buruk setelah tergelincir dan kehilangan trofi liga musim 1993/1994 gara-gara kegagalan penalti di laga terakhir.

Tapi, kali ini berbeda, dan skuat Turcos beruntung setelah gol Donato dan Makaay bisa mengalahkan Espanyol 2-0 di partai penutup, untuk memastikan gelar juara mereka pada 19 Mei 2000. Deportivo menjadi juara dengan 69 poin, jumlah poin terendah bagi seorang juara sejak sistem tiga poin untuk satu kemenangan diperkenalkan pada 1995. Hanya delapan poin yang memisahkan tim enam besar.

Sevilla, Real Betis dan Atletico Madrid Degradasi

Warga La Coruna tumpah ruah di halaman Balai Kota untuk merayakan kesuksesan besar Deportivo. Mereka pun menjadi kota Spanyol terkecil kedua, dengan populasi hanya sekitar 250.000, setelah San Sebastian, basis Real Sociedad, yang pernah memenangkan trofi La Liga. Tim Galicia itu telah berhasil mencatatkan sejarah, yang hingga kini, setelah 23 tahun belum pernah terulang kembali.

Fakta lain yang tak kalah mengejutkan adalah terdegradasinya tiga tim besar lainnya; Sevilla, Real Betis dan Atletico Madrid. Tim pertama baru saja promosi bersama Malaga, Numancia dan Rayo Vallecano, tapi harus turun lagi sementara tiga tim lainnya berhasil bertahan di papan atas. Claudio Ranier yang menangani Atletico turut jadi korban setelah dipecat tiga bulan sebelum liga berakhir.

Begitu pula pelatih Betis, Guus Hiddink yang baru ditunjuk pada musim dingin, juga dibuang jelang akhir musim. Tak hanya pergantian pelatih, bintang mereka dari Brasil, Denilson yang memecahkan rekor transfer dunia di musim sebelumnya juga tak bisa banyak membantu. Namun, baik Betis juga Sevilla dan Atletico bisa segera pulih dengan baik, tak butuh waktu lama untuk kembali ke divisi atas.

Sementara Deportivo memiliki beberapa musim yang baik setelahnya. Mereka finish runner-up di dua musim berikutnya, dan mengalahkan Madrid untuk merebut Copa del Rey kedua musim 2001/2002. Deportivo juga menjalani kampanye Liga Champions terbaik musim 2003/2004 saat menembus semi final, tapi kalah dari Porto yang akhirnya jadi juara. Sayangnya, setelah itu mereka terus memburuk hingga turun kasta, dan bahkan jatuh ke divisi tiga untuk pertama kalinya dalam 39 tahun pada 2020.

Sumber: Dailymail