Lewes FC, Pelopor Kesetaraan Sepakbola

Foto: Lewes FC

Merayakan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, kepala pelatih Barcelona, Ernesto Valverde mengakui bahwa ada peluang suatu saat nanti raksasa Catalunya akan memiliki nakhoda dari kaum Hawa.

“Dunia sepakbola sudah melangkah jauh dalam beberapa tahun terakhir. Kita tidak dapat mengelak, perempuan akan semakin terlibat dalam sepakbola. Dalam beberapa tahun lagi, bukan tidak mungkin Barcelona akan ditangani nakhoda perempuan,” kata Valverde.

Ucapan Valverde itu diamini oleh Presiden Barcelona Josep Maria Bartomeu. “Pegawai kami saat ini 44% diisi oleh perempuan. Keseteraan perlu didorong, apalagi di Barcelona. Hal itu merupakan bentuk nyata dari slogan ‘lebih dari sekedar klub’ yang kami yakini selama ini,” kata Bartomeu.

Meski demikian, Blaugrana tergolong lambat dalam mengatasi kesetaraan di sepakbola. Memiliki kesebelasan yang bermain di Liga Iberdrola, kompetisi sepakbola perempuan Spanyol, Barcelona Femeni tergolong salah satu kesebelasan elit dengan empat gelar liga dan enam Copa de la Reina.

Setidaknya sejak 2011/12, popularitas anak-anak asuh Fran Sanchez tidak kalah dengan Lionel Messi dan kawan-kawan di kesebelasan pria. Namun masih ada perbedaan signifikan antara pendapatan kubu Femeni dengan empu Camp Nou di La Liga.

Menurut laporan Medium, pemain bintang Femeni, Lieke Martens hanya mendapatkan 100 ribu Euro per tahun saat dipinang Barcelona pada 2016/17. Sementara Messi mendapatkan 365 ribu Euro per pekan pada musim yang sama.

Masalah ini memiliki cerita yang panjang dan layak menjadi artikel tersendiri. Namun pada dasarnya, kesetaraan pendapatan antara pesepakbola perempuan dan pria bukanlah mimpi yang mustahil digapai. Nyatanya, hal itu sudah terjadi beberapa tahun sebelum Barcelona membuka peluang kepada nakhoda perempuan di Camp Nou.

Ketika Amatir Lebih Profesional

Foto: Telegraph

Juli 2017, kesebelasan semi-profesional Inggris, Lewes FC jadi klub pertama yang memberi kesetaraan terhadap pemain-pemain mereka. Bermain di divisi delapan dan memiliki status amatir tidak membuat kesebelasan ini diam dan menerima keadaan.

“Kami percaya sepakbola harus setara tanpa melihat jenis kelamin,” kata Direktur Lewes FC Jacquie Agnew. “Melalui kerjasama yang dibangun pemilik, sponsor, dan dana hibah, kami dapat memastikan kesebelasan pria dan perempuan sama-sama memiliki keuangan yang setara,” lanjutnya.

“Hal ini kami harap bisa membantu kedua kesebelasan untuk terus maju dan jadi percikan yang dibutuhkan di seluruh Britania Raya,” kata Agnew.

Agnew tidak ragu mengambil contoh dan menyentil kesebelasan profesional di Premier League. “Anda harus lihat bahwa Wayne Rooney mendapatkan 300 ribu paun per pekan. Sementara Steph Houghton yang menjadi andalan Tim Nasional Inggris hanya mendapat 35.000 per tahun”.

“Kami percaya bahwa pemain perempuan di Lewes FC layak mendapat perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Liga Isthmian. Mereka melakukan perkerjaan yang sama,” jelasnya. “Anda tak bisa mengatakan hal ini mustahil, karena kami sudah melakukannya,” kata Agnew.

Membangun Kepercayaan Komunitas

Ketika Lewes FC memperlihatkan keseriusan mereka untuk tidak pandang bulu, komunitas di area Sussex Timur semakin gencar mendukung kesebelasan berjuluk The Rooks itu. “Ah, Lewes FC. Equality FC,” kata Chris, seorang seniman dari Sussex Timur yang menjual hasil karyanya untuk memberi dana tambahan kepada The Rooks.

Julukan Equality FC ini melekat kepada Lewes. Tidak semua pihak suka dengan sikap yang diambil The Rooks, tapi kenyataannya perlakuan mereka benar-benar meningkatkan klub ke arah yang lebih baik.

“Ada beberapa orang yang mengatakan sikap kami akan membuat orang-orang berpaling dan meninggalkan klub, tapi nyatanya jumlah penonton terus naik,” kata Charlie Dobres, direktur sukarelawan Lewes FC.

“Pada 2017/18, jumlah penonton untuk kesebelasan pria meningkat hingga 20-25%. Untuk kesebelasan perempuan, kami memang sempat kesulitan. Namun perlahan hampir 1.000 orang datang untuk menyaksikan laga Piala FA melawan Everton,” kata Dobres.

Lewes merupakan kesebelasan yang dimiliki oleh suporter. Wajar jika komunitas menjadi tulang punggung mereka. Sekalipun tidak semuanya setuju, Dobres sudah membuktikan bahwa sikap Lewes itu membuah hasil.

Menjamur ke Berbagai Kesebelasan

Foto: Twitter / @SotonWomenFC

Lewes FC kini sedang mendesak FA untuk memberikan jumlah hadiah yang setara antara turnamen pria dan perempuan. Mereka terus berusaha memperjuangkan kesetaraan jauh dari Sussex Timur.

Mereka sudah merasakan langsung efek positif dari keseteraan tersebut. Bermain di divisi tiga liga perempuan Inggris pada 2017/18, Lewes meraih promosi naik ke National League pada 2018/19. Kesetaraan itu nyatanya mendorong prestasi dan semangat para pemain di atas lapangan.

“Kami sangat bangga dengan keputusan klub untuk memberikan kesetaraan,” kata Katie McIntyre yang sudah membela Lewes sejak 2011. “Kami selalu tahu sepakbola perempuan mengarah ke arah yang benar. Namun saya tetap terkejut mengetahui Lewes menjadi yang pertama untuk melakukan ini,” kata bek The Rookettes, Rebecca Thompson.

Melihat hal ini, Southampton FC yang kesebelasan perempuannya bermain di divisi tiga juga mulai membenahi tim mereka. Berjanji akan berikan dana satu juta paun per tahun untuk Philppa Holden dan kawan-kawan. Harapannya, bisa naik ke Women’s Super League, divisi tertinggi sepakbola perempuan di Inggris.

Menuju Arus Utama

Foto: The Drum

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesional berarti sesuatu yang memerlukan keahlian dan mendapatkan upah atau bayaran dalam melakukan hal tersebut. Namun profesional tidak hanya berhenti sampai di situ.

Profesional juga berarti orang itu dapat menghidupi kebutuhannya melalui keahlian yang ia miliki atau pekerjaannya. Unik melihat kesebelasan semi-profesional, yang berarti pemain-pemainnya hanya seorang pesepakbola paruh waktu jadi pelopor menuju profesionalitas.

Sementara kesebelasan di Women’s Super League belum mampu melakukan hal itu. Pada 2015, Matthew Buck, agen dari berbagai pesepakbola di Inggris mengatakan bahwa gaji dari kesebelasan WSL mulai dari 50 hingga 200 paun per pekan. Bukan 50 ribu atau 200 ribu tapi 50 sampai 200 paun.

Hal ini membuat beberapa pemain harus melakukan pekerjaan lain di luar sepakbola. “Para pemain, terutama mereka yang masih muda hanya diberikan biaya kuliah oleh klub. Anak-anak ini harus melakukan pekerjaan lain, ataupun mengisi pos tertentu selain pemain agar bisa mendapatkan uang tambahan,” kata Buck.

Dalam waktu kurang dari empat tahun, ada peningkatan kesadaran dan kepedulian terkait hal itu. Memasuki September 2018, Direktur Sepakbola Perempuan di FA, Kelly Simmons mulai memiliki keyakinan bahwa WSL bisa menjadi awal dari perubahan.

“Saya percaya bahwa sepakbola akan menjadi olahraga perempuan pertama yang dapat menerobos masuk kalangan mainstream. Maksud saya, di Olimpiade kita sering melihat atlet-atlet perempuan mendapat sorotan. Namun setelah itu, mereka hilang. Hal itu bisa diubah lewat sepakbola”.

“Saat ini finansial kami [FA] memang sangat bergantung kepada sepakbola pria, tapi rasa ketergantungan itu perlahan-lahan bisa mulai dikikis,” aku Simmons.

Masalah Belum Berakhir

Foto: The Journal

Melihat seorang perempuan menangani kesebelasan sepakbola pria bukanlah mimpi. Meski Barcelona baru membuka peluang terkait hal itu pada 2019, sebelumnya sudah ada nama-nama seperti Helena Costa, Corinne Diacre, dan Imke Wuebbenhorst yang melakukannya.

Masalah utamanya adalah diskriminasi. Lewes FC mungkin sudah memulainya di Inggris sejak 2017. Tapi masalah ini masih ada. Bukan hanya masalah upah. Amerika Serikat yang bisa dikatakan sebagai negara dengan sepakbola perempuan terbaik di dunia saja masih merasakannya.

Lewes hanyalah pelopor, membuka jalan untuk kesetaraan tersebut. Sebuah momentum yang harus terus-menerus dimanfaatkan oleh sepakbola di seluruh dunia. Bukan Inggris saja.