Leyton Orient, Promosi Karena Kekuatan Cinta

Foto: Standard.co.uk

Papan skor masih menunjukkan kedudukan imbang tanpa gol. Peluit belum juga ditiupkan oleh wasit Josh Smith yang bertugas pada laga itu. Namun delapan ribu penonton yang memadati stadion Brisbane Road tak henti-hentinya bernyanyi dan berjingkrak sejak 30 menit yang lalu.

Tak lama kemudian peluit ditiupkan. Sebayak delapan ribu lebih penonton langsung berhamburan masuk ke dalam lapangan yang tentunya masih diinjak oleh dua kesebelasan yang sedang bertanding, Leyton Orient dan Braintree Town. Fans dan segenap pemain dan staf Leyton Orient merayakan kembalinya The O’s ke kompetisi profesional Inggris, Football League dan akan memulai petualangannya di League Two (divisi tingkatan keempat piramida sepakbola Inggris) mulai musim depan.

Sebuah pemandangan yang mengharukan, mengingat apa yang telah terjadi terhadap klub asal London Timur tersebut di beberapa tahun yang lalu, kala mereka harus melewati masa-masa paling kelam sepanjang sejarah klub.

Berlari dari masa kelam era Bechetti

“When we bought the club, we started literally, with one word: people”

Begitulah pernyataan Nigel Travis, pemilik Orient dalam wawancara radio Talksport. Pernyataan yang memiliki arti yang begitu mendalam bagi pendukung Orient. Kala itu, Orient baru saja melalui masa kelam era Bechetti.

Francesco Bechetti, pemilik lama asal Italia benar-benar menghancurkan tim. Leyton Orient pada 2014 lalu masih berlaga di League One, divisi ketiga sepakbola Inggris. Mereka bahkan mendapatkan peluang promosi ke Championship andai tidak kalah adu penalti atas Rotherham di final play-off.

Rezim Bechetti bisa dibilang salah satu contoh terburuk kepemilikan klub di Inggris, bahkan dunia sekalipun. Bayangkan, akibat Bechetti yang seenak udel menjalankan klub, Orient mendapatkan bencana bertubi-tubi. Orient harus mengalami terdegradasi dua kali dalam tiga musim kompetisi.

Bechetti juga menjadi salah satu pemilik klub tergila di dunia dengan mengganti 10 pelatih dalam jangka waktu 3 tahun. Gaji dan kontrak pemain urung dibayar. Tak hanya itu, gaji staf, gaji pegawai, hingga tagihan listrik dan air stadion, juga tak dibayarkan klub. Padahal, Orient adalah salah satu klub dengan rataan penonton terbanyak di League Two.

Orient nyaris tak punya apa-apa selain pendukungnya. Di kala masa gelap bersama Bechetti, suporter merekalah yang turun melakukan perlawanan dan tetap bertahan mendukung klub. Maka, apa yang dikatakan Nigel Travis benar adanya. Kekuatan Orient hanyalah pendukungya!

Di era baru Orient bersama Travis dan Teague, suporter mendapat perlakuan berbeda. Setidaknya itu yang mereka katakan kepada media.

“Ada kalanya ketika pemain kami kesulitan karena tidak beruntung. Ketika mereka beruntung, fans menjadi pembeda. Mereka bisa memilih antara ikut mengeluh tentang ketidakberuntungan atau mendukung tim. Itulah mengapa bagi kami, fans adalah nyawa bagi klub,” ujar Teague pada serial “Love of The Game: Leyton Orient” yang dibuat Dream Team FC tentang perjalanan baru Leyton Orient.

Diselamatkan cinta pendukung sejati

“Saya datang pertama kali kesini (Brisbane Road) Oktober 1959 melawan West Ham. Itu merupakan perjalanan yang tidak pernah berhenti, kemudian. Tahun ini sudah 60 tahun,” ujar Nigel Travis, pemilik baru Leyton Orient.

Nigel yang lahir dan besar di kawasan London Timur, menemukan cinta pertamanya yaitu Leyton Orient. Apa yang terjadi beberapa dekade  selanjutnya, ia berhasil menjadi pemilik dari korporasi ternama dunia, Dunkin’ Brands. Sebuah perusahaan yang memiliki merek donat terkenal Dunkin’, es krim Baskin Robbins, dan pizza Papa John’s.

Pengalaman tak terlupakannya semasa muda membuat dirinya tak tega melihat kondisi klub kecintaannya berada dalam situasi sekarat. Nigel bersama pengusaha asal Texas Amerika Serikat, Kent Teague kemudian mengambil alih kepemilikan klub.

Stigma pemilik klub asal Amerika Serikat yang kadung buruk di mata suporter sepakbola Inggris, membuat Kent yang kini bertindak sebagai co-chairman berusaha keras untuk mengubah pandangan tersebut. Kent terlihat sering hadir di balkon tribun stadion, berbaur dengan para pendukung, dan tak jarang ikut merayakan gol bersama mereka. Sejauh ini kehadiran Teague cukup disenangi oleh para pendukung Orient.

Kebersamaan adalah kekuatan Leyton Orient

Tidak seperti para tetangganya di London, Leyton Orient bukanlah klub dengan tradisi juara. Setidaknya terlihat dari sepinya kabinet trofi yang mereka miliki di Brisbane Road. Prestasi Orient yang paling tinggi adalah menjadi runner-up Divisi Dua Inggris pada 1961/1962 serta dua kali menjuarai Divisi Tiga pada 1956 dan 1970, maka dapat dimengerti mengapa euforia Orient mengangkat trofi National League di musim ini menjadi sangat berarti bagi sejarah klub.

Klub yang berdiri pada 1881 ini memiliki mayoritas pendukung yang juga tinggal di sekitaran London atau daerah Leyton dan sekitarnya. Tak seperti sesama London Timur, yakni West Ham, Orient masih mempertahankan nilai-nilai tradisional. Hal ini dapat dilihat dari cara Orient memperlakukan para pendukungnya. Tak sedikit dari warga sekitar klub rela untuk menjadi relawan klub seperti menjaga kantin atau petugas kebersihan stadion. Nuansa kebersamaan didalam klub Leyton Orient ini juga yang membuat seorang penulis bernama Adam Michie melakukan penelitian untuk bukunya berjudul “Orientation”.

Orientation mulanya hanyalah catatan pengamatan yang dituliskan oleh Adam Michie, seorang pendukung Tottenham Hotspur. Michie merasa bahwa atmosfer Premier League sudah membuat antusiasmenya terhadap sepakbola menjadi mati. Dimulai dari pandangannya yang melihat sepakbola menjadi “barang dagangan” televisi, harga tiket yang tidak masuk akal, dan hasil pertandingan yang mudah ditebak. Lalu dirinya memutuskan untuk menonton langsung pertandingan di berbagai klub.

Cinta Michie lalu berlabuh kepada Leyton Orient. Dirinya merasakan adanya kebersamaan, hubungan erat antara pemain, pelatih, dan pemilik terhadap pendukungnya di Orient. Hal yang tidak ia dapatkan kala masih mendukung Spurs.

“Ketika di Tottenham, kamu (pendukung) tidak merasa begitu berharga. Sepakbola untuk saya waktu itu menjadi pengalaman seseorang bersama televisi, dan hal itu tidaklah seharusnya.  Ketika saya disini (Leyton Orient), saya bisa merasakan interaksi dengan klub, dengan pemain, dan begitulah seharusnya berinteraksi dengan sepakbola,” ujar Michie.

Kenyataan tersebut akhirnya menjadi suntikan bagi Leyton Orient. Dengan manajemen yang lebih baik juga kebersamaan dan dukungan dari pendukungnya, setidaknya nyawa sebuah klub sepakbola di era sepakbola modern ini menjadi terselamatkan.

***

Lika-liku Orient adalah bukti bahwa cinta sejati adalah sebenar-benarnya penyelamat. Uang memang penting di dunia yang fana ini, tapi kekuatan cinta dari pendukung Orient, termasuk Nigel Travis dan Kent Tegue, adalah kekuatan yang menjadi penyelamat dari masa kelam.

Cerita menyenangkan bagi Leyton Orient akan menjadi semakin manis jika mereka turut memenangkan laga final FA Trophy melawan AFC Fylde, 19 Mei 2019 mendatang.