Li Ke, dari Arsenal untuk Tiongkok

Foto: Suho.

Chinese Super League (CSL) sudah menjadi buah bibir sepakbola dunia setidaknya sejak 2015. Sebelumnya, liga sepakbola Tiongkok memang sudah terdengar. Akan tetapi, efek dari mendatangkan pemain seperti Vagner Love, Nicolas Anelka, atau Fabio Rochemback, tidak sebesar saat Paulinho, Jackson Martinez, dan Fredy Guarin, mendarat di sana.

Pemain-pemain veteran seperti Rochemback atau Diamanti memang sudah memiliki label untuk mencari liga pensiunan. Terminologi yang mulai populer sejak Major League Soccer (MLS) mendatangkan Freddie Ljungberg (2008), A-League mendaratkan Alessandro Del Piero (2012), dan I-League saat memboyong kedua pemain tersebut pada 2016.

Namun saat mereka bisa mendaratkan Martinez yang diincar oleh Chelsea. Atau Guarin yang dirumorkan akan ke Manchester United, CSL mulai dianggap serius. Dari situ, CSL semakin gila. Ramires, Oscar, Hulk, semua didaratkan ke Tiongkok. Bahkan Alex Teixeira, yang sudah lama diincar oleh Liverpool lebih memilih bergabung dengan Jiangsu Suning ketimbang melanjutkan karier di Eropa.

Tidak semuanya berhasil. Kisah kegagalan Martinez di Tiongkok bahkan layak jadi artikel tersendiri. Kesebelasan-kesebelasan Tiongkok berhutang cukup banyak karena pembelian mereka. Sampai akhirnya regulasi transfer CSL diubah. Seperti pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Saat satu pintu tertutup, jalan lainnya akan terbuka.

Asosiasi sepakbola Tiongkok (CFA) membuat regulasi di mana kesebelasan yang memiliki utang sampai angka tertentu harus menyumbang dana sama besarnya ke mereka untuk pengembangan pemain muda. Hal ni diberlakukan untuk peserta dua liga teratas Tiongkok. Membuat mereka berpikir dua sampai tiga kali untuk mendatangkan nama besar.

Beijing Guoan akhirnya mengambil jalan pintas. Mereka tetap mendatangkan pemain yang bisa menjual kepada publik, masih di usia produktif untuk sepakbola, dan memiliki paspor Tiongkok. Muncul, Nico Yennaris.

Namanya, Li Ke!

Foto: Scoopnest

Mantan pemain Arsenal didatangkan dengan dana tiga juta euro dari Brentford dan punya paspor Tiongkok. Kini Yennaris dikenal sebagai Li Ke. Bukan lagi Nicholas Harry Yennaris seperti saat ia dilahirkan.

Ia didatangkan bersama John Hou Saeter atau Hou Yongyong yang pernah menjuarai Liga Norwegia saat membela Rosenborg. Main bersama Cristian Gamboa (Celtic), Ole Selnaes (mantan Saint-Etienne), dan Mix Diskerud (Manchester City). Ibu dari Yennaris dan Saeter sama-sama berasal dari Tiongkok. Itu mengapa mereka bisa memiliki nama Li Ke dan Hou Yongyong.

Selama di Inggris, Li Ke sebenarnya tidak terlalu buruk. Ia pernah membela tim nasional U17 sampai U19 dan tampil empat kali untuk Arsenal. Dirinya juga pilihan utama ketika membela Brentford. Bermain lebih dari 150 kali dalam empat musim. Namun bersama Beijing Guoan, Li Ke adalah seorang pencatat sejarah.

“Saya jadi pemain naturalisasi pertama dalam sejarah klub. Itu mencuri banyak perhatian. Saya juga dikenal oleh publik di sini. Sangat senang rasanya bisa memperlihat kebanggaan kepada budaya dan Bahasa Tiongkok,” ungkap Li Ke yang lahir di London dengan ayah dari Siprus dan ibu asal Tiongkok.

Bersama Beijing Guoan dirinya juga berpeluang main di Liga Champions. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama 13 tahun di Arsenal. Dirinya juga mulai mengincar tempat di tim nasional. “Jika saya bisa jadi bagian penting dalam sepakbola negara ini. Seperti salah satu pemain yang membawa Tiongkok ke Piala Dunia, itu akan sangat luar biasa,” kata Li Ke.

“Banyak pemain berkualitas juga di sini. Saat di Inggris saya tidak dipandang. Kita lihat saja bagaimana peluangnya nanti,” tambah pemain kelahiran 24 Mei 1993 tersebut.

Perjalanan Baru Dimulai

Foto: Mirror

Ketika bicara soal pemain naturalisasi, mungkin asumsi yang terbentuk adalah kepastian di tim nasional. Belajar dari Indonesia, Jhon van Bukerring sekalipun pernah bermain dengan kostum merah-putih. Tapi garansi itu dimiliki oleh Li Ke di Tiongkok.

Berbeda dengan tetangga mereka, Hong Kong yang berani memanggil sembilan pemain naturalisasi untuk menghadapi Maldives dan Tiongkok, CFA tidak mau memberikan baju tim nasional hanya karena naturalisasi. Pasalnya, mereka sudah berjuang keras untuk membentuk kultur sepakbola di Tiongkok.

“Naturalisasi adalah jalan pintas untuk klub. Sebagai tim nasional, kita harus tetap fokus ke pengembangan pemain muda. Menerapkan sistem yang jelas dari sekolah-sekolah,” tutur mantan pelatih Beijing Renhe, Gong Lei. Hal serupa juga diutarakan oleh mantan pemain tim nasional Tiongkok, Xu Yang.

“Untuk jangka pendek, mungkin pemain naturalisasi membantu. Tapi untuk menjadikan negara ini sebagai kekuatan sepakbola, kita butuh fokus ke akarnya. Memberikan fasilitas dan pelatih kompeten bagi para talenta muda kita,” katanya.

Nico Yennaris sendiri baru akan resmi dihitung sebagai pemain Tiongkok oleh CFA mulai 2020. Meski namanya sudah tercatat sebagai Li Ke di Champions League Asia, ia masih pemain asing di CSL. “Naturalisasi pernah menjadi isu sensitif. Kami terus berkomunikasi dengan departemen pertahanan negara soal ini,” kata Wakil Ketua Umum CFA Zhang Jian.

Ahli juga meragukan naturalisasi akan jadi jawaban untuk sepakbola Tiongkok. “Jika ada pemain asing dan hebat, sulit rasanya untuk membayangkan mereka rela menukar paspor negaranya untuk jadi warga Tiongkok,” kata pengamat hukum imigrasi Beijing Institute of Technology, Liu Guofu.

Untungnya Li Ke tidak sendiri. Ada Javen Siu (Southampton) dan Ryuken Nishizawa (Barcelona) yang kabarnya tertarik membela tim nasional Tiongkok. Tim U19 mereka sebenarnya juga sudah memanggil Li Tengong, padahal ia lahir di Rusia dan membela CSKA Moscow.