Apa yang ada di benak kalian ketika melihat para perempuan bermain sepakbola? Aneh? Atau, malah merasa ada sesuatu yang berbeda?
Bicara beberapa tahun ke belakang, sepakbola perempuan menjadi sesuatu yang jarang diperbincangkan. Bisa dibilang, kiprahnya di level dunia tidak sementereng sepakbola laki-laki.
Hal itu terlihat dari ajang Piala Dunia Sepakbola Perempuan yang baru diadakan pada 1991. Piala Eropa khusus perempuan saja baru terselenggara pada 1984. Di level Asia, Piala Asia khusus perempuan sendiri baru diadakan pada 1975.
Bukan cuma itu. Perlakuan yang diberikan kepada pemain perempuan dan laki-laki kerap berbeda. Homare Sawa, kapten Timnas Jepang perempuan pada ajang Piala Dunia Perempuan 2011, mengungkapkan bahwa ia kerap menerima diskriminasi gender.
Sawa juga mengungkapkan saat Olimpiade London 2012, tim sepak bola perempuan dan laki-laki Jepang mendapatkan perlakuan berbeda. Saat tim laki-laki terbang menggunakan penerbangan kelas bisnis, tim perempuan terbang dengan kelas ekonomi.
“Seharusnya kami mendapatkan yang lebih baik, bahkan secara umur kami semua lebih senior,” ungkap Sawa saat itu.
Tapi, seiring suara-suara mengenai kesetaraan gender yang semakin keras bergaung, sepak bola perempuan mulai mendapatkan tempat di mata dunia. Buktinya adalah Piala Dunia Perempuan 2019.
Ajang tersebut menghadirkan total penonton sekitar 1.131.312, dengan rataan kurang lebih 22.000 penonton per laga. Jumlah ini terhitung banyak dibandingkan ajang-ajang Piala Dunia Perempuan sebelumnya.
Efek dari emansipasi sepakbola perempuan ini juga bisa dilihat dari makin maraknya liga-liga sepak bola perempuan di dunia. Jangan lupa, sudah ada pula ajang Liga Champions perempuan yang dimulai sejak 2001.
Nah, gaung mengenai sepakbola perempuan ini pun sudah menjalar ke Indonesia. Liga 1 Putri adalah ejawantahnya.
***
Dahulu kala, PSSI pernah memiliki kepedulian yang besar terhadap sepakbola perempuan, Dibentuknya Galanita (liga sepak bola wanita), bersamaan dengan diluncurkannya proyek liga lain pada 1970-an, membuat sepak bola perempuan Indonesia menggeliat.
Hasilnya tidak main-main. Di ajang Piala Asia perempuan, Indonesia dua kali menduduki peringkat keempat, yakni pada 1977 dan 1986. Prestasinya berjalan beriringan dengan sepak bola laki-laki yang kala itu juga sempat dijuluki ‘Macan Asia’.
Namun, selepas itu, sepak bola perempuan mati suri. Jarang terdengar penyelenggaraan sepak bola perempuan. Mungkin hanya ada ajang Kartini Cup atau Piala Putri Nusantara saja sebagai wadah bagi para pesepak bola perempuan unjuk gigi.
Barulah kini pada 2019, dahaga mengenai panggung bagi sepak bola perempuan terjawab. Setelah melalui beberapa kajian, akhirnya Liga 1 Putri 2019 resmi diluncurkan. Tanggal 5 Oktober pun menjadi tanggal sepak mula Liga 1 Putri ini.
Terlihat wajah-wajah penuh antusias dari para pemain yang mengikuti ajang ini. Beberapa di antaranya merupakan penggawa Timnas Indonesia perempuan yang mentas di ajang Piala AFF 2019, semisal Zahra Muzdalifah maupun Safira Ika Putri.
Namun, ada juga wajah-wajah yang menyeruak ke permukaan di ajang Liga 1 2019 ini. Wajah-wajah baru ini memang sudah diprediksi muncul. Itu memang sesuatu yang diinginkan, seperti yang diungkapkan Norffince Boma, kiper Timnas perempuan.
“Ya, (Liga 1 Putri ini) sangat menjawab sekali (harapan dari pesepak bola perempuan Indonesia). Kalau ada Liga 1 pasti pemain-pemain hebat yang tersembunyi akan muncul,” ujar Boma saat ditemui di Sawangan, akhir September 2019 silam.
Boma juga turut serta dalam ajang Liga 1 Putri ini. Ia membela Galanita Persipura, tim perempuan Persipura Jayapura. Ia mengungkapkan jika tim ini dibentuk berdasarkan perpaduan antara tim PON Papua dengan para pemain anyar.
Dengan begini, geliat sepak bola perempuan di Indonesia kembali terlihat. Beberapa petinggi PSSI-otoritas sepak bola Indonesia–juga menyambut baik terselenggaranya Liga 1 Putri ini.
“Saya berharap kompetisi ini terus berjalan,” ujar Papat Yunisal, salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI.
“Keikutsertaan klub akan sangat membantu PSSI dalam pengembangan dan pembinaan sepak bola wanita di Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha.
***
Sepakbola perempuan boleh saja dikuasai Amerika Serikat saat ini. Ingatkah Anda dengan perayaan gol ikonik Megan Rapinoe di final Piala Dunia Perempuan 2019 silam? Ingatkah juga Anda akan gol gemilang Rose Lavelle ke gawang Belanda di final?
Dua bukti di atas, ditambah dengan catatan bahwa Timnas Amerika Serikat yang sudah menjuarai empat kali gelaran Piala Dunia, menahbiskan mereka sebagai penguasa sepakbola perempuan dunia saat ini.
Namun, bukan berarti Indonesia tak bisa mengejar Amerika Serikat. Indonesia punya peluang untuk mengejar ketertinggalan ini dan masuk ke jajaran elit sepakbola perempuan dunia, minimal mengulangi capaian pada era 70 hingga 80an saat mereka masuk peringkat empat Asia.
Meski begitu, untuk menuju ke sana, jalan panjang mesti ditempuh Indonesia. Pembinaan dan kompetisi yang berkesinambungan mesti dijalankan, begitu juga porsi latihan yang harus dijalani para pemain.
“Saya memantau tim Korea Selatan. Korea itu unggul semua dibandingkan kita, terlalu jauh kemampuan mereka sama kita,” ujar Boma.
“Mungkin itu karena memang porsi latihan mereka (Korea Selatan) lebih dari kami. Terkadang itu berpengaruh, mereka jadi lebih baik dari kami,” lanjutnya.
Nah, Liga 1 Putri ini menjadi awal terbukanya tirai bagi sepakbola perempuan Indonesia menuju segala kemungkinan. Asal, hal ini tidak terjadi sekadar tren batu akik saja: muncul sebentar, lalu hilang kemudian.
Karena, pada dasarnya perempuan Indonesia juga layak diberikan panggung untuk tampil, dan Liga 1 Putri adalah tempat bagi mereka untuk menunjukkan jika perempuan juga mampu.