Di balik kisah juaranya Brasil di Copa America 2019, ada beberapa fakta yang menyertainya. Berikut di antaranya:
-
Faktor Kunci Tuan Rumah
Ada faktor kuat mengapa Brasil bisa menjadi juara. Status sebagai tuan rumah selalu menguntungkan mereka. Selama Copa America tergelar empat kali sebelumnya di negeri samba, yakni tahun 1919, 1922, 1949, dan 1989, Brasil selalu menjuarainya.
Situasi semacam itu dapat terbukti sekali lagi kali ini. Sekalipun sempat kesusahan pada perempat final versus Paraguay, kesanggupan menyingkirkan Lionel Messi, cs. secara mantap membuat optimisme mereka mampu melanjutkan tren impresif ini.
-
Rekor Bagus Tite
Sejak ditukangi Tite pada 2016, sepak bola Brasil mendapatkan gairahnya lagi. Setelah remuk redam dari Jerman di Piala Dunia 2014, Brasil masih meraba-raba kekuatan diri sendiri di era yang dikomandoi Neymar.
Di tangan Tite, Brasil kembali disegani. Mereka menjadi tim pertama yang lolos ke Piala Dunia 2018. Sekalipun dihempaskan Belgia di babak delapan besar, tapi Brasil layak optimistis dengan pencapaian mereka.
Beban tim tidak dilimpahkan ke pundak Neymar belaka, karena ban kapten pernah digilir kepada 15 pemain berbeda hanya dalam 19 pertandingan. Terbukti, sekalipun tanpa diperkuat sang megabintang yang cedera di pertandingan persiapan melawan Qatar, gelontoran gol Brasil tidak terlalu kedodoran.
Sejauh ini, Brasil hanya kalah dua kali dalam 42 pertandingan. Satu melawan Belgia tersebut, satu lagi pada pertandingan pertama kualifikasi Piala Dunia 2018 dari Cile (0-2).
-
Lanjutkan Dominasi terhadap Argentina
Brasil tidak terkalahkan dalam laga kompetitif dari Argentina sejak 2005. Fakta getir bagi Albiceleste yang juga seret gelar meski berulang kali melangkah ke final turnamen besar.
Terakhir kali Tim Tango menang dari rival bebuyutan, yaitu pada tanggal 8 Juni 2005 ajang kualifikasi Piala Dunia 2006. Ketika itu, dua gol Hernan Crespo dan Roman Riquelme hanya mampu dibalas satu dari sepakan Roberto Carlos.
Fakta ini semakin getir, karena artinya pesepak bola (konon) terbaik sepanjang masa, Lionel Messi yang baru memulai debut pada 17 Agustus 2005, tidak pernah tahu rasanya menang dari Brasil di pertandingan serius. Menambah luka yang mengiris hati, jantung, dan lambung pemain kelahiran Rosario, karena tidak kunjung ada trofi level senior yang dia persembahkan untuk Argentina.
Berbanding terbalik bak bumi dan langit prestasi di level klub dan personal yang dia raih. Wajah sedih Messi berseragam garis putih-biru tersebar berlatar Maracana 2014, Santiago 2015, New York 2016, dan Belo Horizonte 2019.
Jangan pensiun, coba terus sampai usia tergerus!
-
Pertahanan Rapat
Sebelum pertandingan final, Brasil tidak pernah kebobolan satu gol pun pada turnamen ini. Garis pertahanan yang digalang bek berpengalaman seperti Dani Alves, Marquinhos, Thiago Silva, dan Alex Sandro membuat penjaga gawang Alisson Becker semakin tangguh di bawah mistar gawang.
Sekalipun di depannya tiada sosok Virgil van Dijk, Alisson memang terbukti kiper jempolan yang alergi mengambil bola dari dalam gawang sendiri. Squawka mencatat, sejak eks pemain AS Roma ini kebobolan, dia telah memenangkan Sarung Tangan Emas Premier League, menjuarai Liga Champions, berganti nomor punggung dari nomor 13 ke nomor 1, dan mencapai final Copa America.
Kapan terakhir kali Alisson kebobolan? Ketika Newcastle United tunduk 2-3 dari The Reds. Siapa yang membobol? Salomon Rondon. Untung, juru gedor Venezuela itu tidak melakukannya lagi di Copa America.
Gawang Alisson akhirnya bobol di final lewat tendangan penalti Paolo Guerrero.
-
Final Keenam Maracana
Sebagai stadion legendaris yang acap kali menjadi saksi bisu perjalanan timnas Brasil, Maracana banyak menjadi latar peristiwa sejarah. Ada enam partai final turnamen yang pernah stadion berlokasi di Rio de Janeiro ini langsungkan. Antara lain, final Piala Dunia 1950, Copa America 1989, Piala Konfederasi 2014, Piala Dunia 2014, Olimpiade 2016, dan Copa America akhir pekan nanti.
Sekalipun diawali dengan tragedi nasional kalah dari Uruguay di final Piala Dunia 1950, rekor Brasil di Maracana saat berkesempatan tampil di laga puncak tergolong bagus. Mereka menjuarai Copa America 1989, Piala Konfederasi 2014, dan Olimpiade 2016 dihadapan pasang mata yang memadati kuil sepak bola berkapasitas 78.838 penonton tersebut.
sumber: the guardian/goal/bbc