6 Malam Paling Dramatis di Liga Champions

Juventus berusaha untuk comback dari ketertinggalan 0-3 di leg pertama. Hebatnya mereka berhasil melakukannya hingga beberapa menit jelang peluit dibunyikan. Dorongan Mehdi Benatia kepada Lucas Vázquez berubah menjadi keputusan berani Michael Oliver.

Pertandingan tersebut pada akhirnya telah mengilhami banyak penikmat si kulit bundar untuk menjadikan malam di Bernabeu sebagai salah satu momen yang paling dramatis dalam sejarah Liga Champions. Jelang final Liga Champions pada Sabtu (26/5) mendatang, berikut kami sajikan 6 malam paling dramatis di Liga Champions disadur dari The Guardian.

Final 2005, Milan 3-3 Liverpool (Liverpool menang 3-2 lewat adu penalti)

Sejatinya, comeback tidak datang secara terduga, dan biasanya berakhir dengan hasil yang memukau. Sebut saja momen terbesar dan bersejarah seperti The Miracle of Istanbul, di mana permainan memalukan Liverpool berakhir dengan kemenangan manis di akhir laga. Pasukan The Reds yang sempat tertinggal 3-0 di babak pertama, akhirnya berhasil menyamakan kedudukan dengan sebuah keajaiban yang datangnya dari istirahat turun minum.

Sedikit isyarat penyesuaian taktis dari Rafa Benítez, yang memasukan Didi Hamann ke babak kedua, dan penampilan heroik oleh Steven Gerrard dan Jerzy Dudek, membuat Liverpool memulihkan defisit tiga gol. Mereka terus berkoordinasi sepanjang babak perpanjangan waktu dan kemudian menang dalam adu penalti. Malam tersebut menjadi malam yang tak terlupakan, dan bukan hanya untuk para penggemar Liverpool, melainkan seluruh penggemar sepakbola.

Semifinal 2009, Chelsea 1-1 Barcelona (agg 1-1)

Wasit asal Norwegia, Tom Henning Øvrebø, mengabaikan empat penalti Chelsea. Lalu, sebuah gol dari Andrés Iniesta pada menit ke-90 membawa Barcelona asuahan Pep Guardiola ke final.

Kesal terhadap wasit, Michael Ballack berlari setengah panjang lapangan sambil mengingatkan wasit yang malang itu. Puncaknya Didier Drogba mengucapkan kata-kata kasar ke kamera yang membuatnya mendapatkan larangan lima pertandingan. Pada akhirnya, Øvrebø meminta maaf beberapa tahun kemudian. Namun, permohonan maaf itu sudah terlambat untuk memberikan jalan pasukan Guus Hiddink menuju ke final.

Semifinal 2010, Barcelona 1-0 Inter Milan (agg 2-3)

Pada 2010, Barcelona sedang berada di puncak supremasi mereka di bawah Guardiola. Namun, Inter kala itu tiba di Camp Nou dengan keunggulan 3-1 dari leg pertama. Pasukan Inter kemudian harus bermain dengan 10 pemain ketika Thiago Motta dikeluarkan di babak pertama. Momen dramatis pun terjadi setelah itu. Inter menunjukkan kelas master defensif, dan lebih banyak organisasi daripada improvisasi.

Inter secara virtual meninggalkan pola serangan mereka untuk memusatkan sumber tenaga mereka di barisan pertahanan untuk menghentikan Barcelona dari mencetak gol lagi. Momen ini adalah puncak kegemilangan Jose Mourinho, yang berhasil mengecoh Guardiola di kandang timnya. Akhirnya Inter berhasil disebut sebagai undercarievers abadi di Eropa, setelah mendapatkan treble pada akhir musim tersebut, dengan gelar Serie A, Coppa Italia dan Liga Champions.

Final 1960, Real Madrid 7-3 Eintracht Frankfurt

Final 10 gol tentu terdengar dramatis, bahkan jika distribusi gol menjadi sebuah pameran mendadak yang terjadi dalam satu malam saja. Di Inggris, pemandangan seperti itu terasa seperti hal yang mustahil, namun terpampang nyata adanya ketika final Piala Eropa lahir sebagai daya tarik kompetisi kontinental.

Hiburan laga final yang mempertemukan Real Madrid dan Eintracht Frankfurt menjadi daya tarik sendiri di stadion Hampden Park. Jumlah penontonnya pun tak tanggung-tanggung, karena banyak sekali para penyuka sepakbola terinspirasi dengan hasil dari laga final tersebut.

Perempat final 1977, Liverpool 3-1 Saint-Étienne (agg 3-2)

Hal mengejutkan dalam sepakbola seperti yang telah sering tampak sekarang, itu pernah menjadi berita baik untuk para bangsawan Inggris ketika mendapati sesuatu yang sangat istimewa tentang malam spesial Piala Eropa di Anfield. Kala itu Liverpool berada di bawah asuhan Bob Paisley, yang melahirkan terobosan baru untuk bisa berjibaku di Piala Eropa.

Karena di masa Bill Shankly sebelumnya, The Reds tidak pernah identik dengan keberhasilannya di Eropa. Maka tak heran, saat Saint-Etienne berhadapan di laga perempat final melawan mereka, Ray Kennedy dan David “supersub” Fairclough diplot menjadi kesatria yang dipuji di Anfield setelah membantu mencetak dua gol untuk Liverpool dan membawa timnya itu lolos ke semifinal.

Final 1999, Bayern Munich 1-2 Manchester United

Jika harus melabelkan momen mana yang paling terbaik, mungkin laga Manchester United dan Bayern Munich lah yang tak ada duanya. Di mana, United menang dramatis lewat dua gol injury time dengan membatalkan perayaan gol awal milik Mario Basler.

Pemain pengganti Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer akhirnya berhasil menambahkan masing-masing satu gol pada akhir pertandingan, dan membuat Manchester United meraih treble di akhir musim. Presiden UEFA, Lennart Johansson, akhirnya harus menghapus pita Bayern dari trofi sebelum menyajikannya di akhir laga.

 

Sumber: The Guardian