Buat klub besar, aturan Financial Fair Play (FFP) jelas mengganggu. Mereka jadi tak bebas untuk merekrut pemain karena ada pembatasan kerugian setiap musimnya. Mengapa UEFA harus membatasi kerugian, bukankah yang rugi adalah klub dan bukan UEFA?
Aturan pembatasan pengeluaran sebenarnya diperlukan untuk meminimalisasi peluang sebuah klub bangkrut karena masalah finansial. Biasanya, hal ini terjadi saat pemilik klub begitu royal mengeluarkan uang di awal-awal, tapi tak sanggup lagi mendanai di musim selanjutnya. Di sisi lain, pengeluaran yang besar tidak diimbangi pendapatan yang seimbang.
Berikut adalah klub yang sudah tiada, meski beberapa di antaranya bisa kembali hidup bertahun-tahun kemudian.
FC Dnipro
Dnipro dibentuk pada 1918. Ia pernah dua kali juara Liga Soviet dan dua kali runner up Liga Ukraina. Prestasi tertingginya adalah runner up Europa League 2014/2015 saat kalah 2-3 dari Sevilla.
Momen tersebut menjadi lebih bermakna karena Dnipro harus terusir dari kandangnya. Mereka main di Kiev yang berjarak 400 kilometer. Mengapa terusir? Karena area Dnipro terdampak dalam konflik dengan Rusia.
Masalah utamanya sebenarnya bukan soal perang atau kerusuhan. Namun, karena UEFA menganggap Dnipro melanggar Financial Fari Play sehingga mereka tak boleh main di Eropa selama tiga musim.
Entah ada hubungannya atau tidak, tiga bulan setelah keputusan UEFA, pemilik Dnipro, Ihol Kolomoyskyi dirumorkan sudah tak mau membiayai. Kolomoyskyi merasa kalau pengeluaran Dnipro sudah tidak sehat.
Puncaknya adalah ketika Dnipro tak mampu membayar utang pada Juande Ramos dan stafnya. Dnipro pun dihukum larangan merekrut pemain kecuali yang bebas transfer. Masih di musim yang sama, Dnipro dihukum degradasi ke divisi tiga Liga Ukraina.
Puncaknya hadir pada 2018 di mana FIFA mendegradasikan Dnipro ke Liga Amatir. Musim 2018/2019 pun menjadi musim terakhir Dnipro di sepakbola.
Pada 2019, sejumlah pemain, pelatih, dan staf kepelatihan bergabung dengan SC Dnipro-1. Mereka menggunakan seluruh infrastruktur milik FC Dnipro. Karena hal ini, salah satu mantan staf pelatih, Jaba Kankava, meminta FIFA mengklaim kalau SC Dnipro-1 adalah penerus FC Dnipro. Tujuannya, agar ia bisa mendapatkan gaji yang belum dibayarkan. Namun, FIFA menolak pengakuan tersebut.
Anzhi Makhachkala
Anzhi sebenarnya baru dibentuk pada 1991. Namun, setelah dibeli oleh Suleyman Kerimov, mereka berubah menjadi salah satu klub top di Rusia. Anzhi pun merekrut sejumlah pemain bintang seperti Samuel Eto’o dan Roberto Carlos.
Tentu, uang yang menjadi alasan. Eto’o di penghujung kariernya dibayar 8,7 juta paun semusim. Namun, yang tidak mereka tahu, Anzhi berkandang di Dagestan, ujung selatan Rusia. Mereka harus menempuh jarah 1200 kilometer karena tinggal dan berlatih di Moskow.
Baru dua tahun, Suleyman sudah mengurangi anggaran klub sebanyak 2/3. Karena hal ini, sejumlah pemain dijual ke Dynamo Moscow. Karena pemotongan anggaran ini, performa Anzhi pun jeblok bahkan terdegradasi. Namun, mereka berhasil mencapai babak 16 besar Europa League!
Setelah kembali ke divisi teratas, Anzhi kembali terdegradasi pada akhir musim 2017/2018. Namun, mereka selamat setelah FC Amkar Perm ditarik lisensinya sehingga harus terdegradasi. Ini membuat Anzhi mengambil tempat FC Amkar untuk bertahan di divisi teratas.
Setahun berselang, giliran Anzhi yang dicabut lisensinya. Mereka gagal main di divisi dua, sehingga pilihannya main di divisi tiga atau bangkrut. Puncaknya hadir pada 2022 saat lisensi Anzhi dicabut seluruhnya, sehingga Anzhi pun sudah tidak ada lagi.
Chievo Verona
Ada dua klub besar di Verona: Hellas dan Chievo. Secara prestasi, di 1980-an Hellas adalah klub yang lebih baik dengan menjuarai Serie A. Musim 2024/2025 ini pun Hellas masih ada di Serie A dengan nama Verona Football Club.
Chievo memang tak pernah jadi tim terbesar di Verona. Soalnya, sejak dibentuk pada 1929, mereka baru promosi ke Serie A pada 2000. Prestasi mereka memang naik turun. Namun, setidaknya sejak saat itu, mereka bisa bertahan di Serie A selama 17 musim.
Di musim pertamanya, Chievo finis di peringkat kelima dan bisa main di UEFA Cup. Mereka kembali bermain di Eropa pada musim 2006/2007 usai gagal di babak kualifikasi Liga Champions.
Pada 2019, Chievo terdegradasi. Ini bukan yang pertama, tapi sayangnya bersamaan dengan masalah finansial yang melibatkan keterlambatan pembayaran pajak. Karena itu, Chievo pun terlempar dari Serie B.
Sejumlah hal dilakukan, salah satunya oleh kapten Sergio Pellissier yang mencari investor baru. Sayangnya, tidak ada investor yang mau membiayai Chievo. Akhirnya, Pellissier pun lebih memilih membentuk klub baru yang mesti berjuang dari divisi sembilan. Klub ini awalnya dinamai FC Chievo 2021, tapi diubah menjadi FC Clivense setelah adanya tuntutan hukum dari AC ChievoVerona.
Pada 10 Mei 2024, Pellissier akhirnya berhasil mendapatkan logo dan hak penamaan ChievoVerona. Pada 29 Mei, Clivense mengubah namanya menjadi AC ChievoVerona dan menjadi penerus legal klub tersebut.
Jiangsu Suning
Pernah ada masanya Liga China dihuni oleh para pemain top. Prestasi mereka juga tak kalah mengesankan dengan berhasil menjuarai Liga Champions Asia. Salah satunya Jiangsu Suning yang dibentuk pada 1958.
Puncaknya hadir pada 2010-an di mana Jiangsu menjadi klub terkaya keempat di China dengan nilai 144 juta USD. Pada 2016, mereka memecahkan dua rekor transfer saat membayar 25 juta paun untuk Ramires dan 50 juta euro untuk Alex Teixeira.
Perekrutan pemain ini berdampak besar. Jiangsu finis di peringkat kedua Liga Super China dan Piala FA China. Setelahnya, prestasi Jiangsu tak begitu bagus. Akan tetapi, pada 2020, mereka menjuarai Liga Super China untuk pertama kalinya.
Tiga bulan usai juara, Federasi Sepakbola China membaut aturan di mana klub harus menggunakan nama yang netral. Hal ini membuat Jiangsu Suning mengubah namanya menjadi Jiangsu FC. Perubahan nama ini pula yang bikin pemilik Jiangsu, Suning Holdings Group tak senang. Mereka pun menghentikan operasional klub termasuk menutup tim perempuan juga tim muda karena masalah finansial.
Chivas USA
Saat sepakbola belum begitu besar di Amerika Serikat, lain halnya dengan Chivas USA. Mereka dibentuk pada 2004 dengan menyasar warga latino di California. Selain itu, Chivas juga masih berhubungan dengan CD Guadalajara, yang merupakan salah satu tim terbaik di Meksiko.
Warga Hispanic dan Latino merupakan populasi terbesar di California, lebih banyak dari penduduk kulit putih. Ini yang membuat mereka lebih relate dengan sepakbola ketimbang di daerah lain.
Pada 2010, klub mulai mengalami kesulitan. Dimulai dari mundurnya Presiden sekaligus CEO Chivas, Shawn Hunter. Wakil Presiden Chivas, Stephen Hamilton, juga ikutan mundur beberapa hari kemudian. Salah satu masalahnya adalah diskriminasi di mana staf yang bukan Latino kerap mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan.
MLS lalu membeli Chivas USA dari Jorge Vergara. Tujuannya adalah untuk menjualnya kembali agar tetap ada klub di Los Angeles. Namun, tak ada yang tertarik. MLS pun memasukkan dua klub baru untuk musim 2015, New York City FC dan Orlando SC.
Baru pada 2018, tim baru dari California hadir bernama Los Angeles FC. Sejatinya, LAFC dan Chivas tak ada hubungannya satu sama lain. Soalnya, Chivas sudah menghentikan operasionalnya sejak 2014 silam.
Pelita Bandung Raya
Prestasi terbaik Pelita Bandung Raya adalah mencapai semifinal Liga Indonesia 2014 sebelum dikalahkan Persipura Jayapura. Pelita Bandung Raya sendiri merupakan merger dari Pelita Jaya dan Bandung Raya. Mereka berlatih di Lembang dengan julukan The Boys are Back.
Mengapa pakai embel-embel “Bandung Raya”? Karena klub Pelita Jaya tidak begitu mendatangkan penonton. Termasuk, saat mereka berkandang di Purwakarta menjadi “Pelita Jaya Purwakarta” sampai “Pelita Jabar” yaang berkandang di Si Jalak Harupat.
Perubahan besar hadir pada 2012 saat mereka mengganti nama menjadi Pelita Bandung Raya. Mereka masih berkandang di Si Jalak Harupat, dan membuat kelompok suporternya sendiri, meski jumlahnya bisa dihitung jari-jari.
Era bagus Pelita Bandung Raya nyatanya cuma bertahan sebentar. Soalnya pada 2015, mereka berganti nama menjadi Persipasi Bandung Raya yang berkandang di Stadion Patriot, Bekasi. Keanehan lantas memuncak pada 2016, saat mereka berubah menjadi Madura United dan bermarkas di Madura.
PBR dikenang karena merupakan klub kuat saat itu. Dilatih Dejan Antonic, PBR merekrut sejumlah mantan pemain Persib seperti Eka Ramdani, Nova Arianto, Tema Mursadat, Edi Kurnia, Edi Hafid Murtado, Munadi, sampai Rendi Saputra. Belum lagi, mereka mendatangkan pemain asing seperti Gaston Castano yang saat itu namanya tengah menanjak di dunia infotainment.
Perubahan ini terbilang ironis karena Bandung Raya awalnya membeli lisensi Pelita Jaya di divisi teratas. Namun, mereka kemudian menjualnya kepada Achsanul Qosasi sehingga Madura United bisa otomatis main di divisi teratas. Uniknya, wakil Madura di Liga Indonesia saat itu adalah Persepam Madura Utama. Mereka promosi pada musim 2012 tapi terdegradasi di musim 2015. Ini membuat Madura tetap memiliki wakil di divisi teratas liga Indonesia.
Putra Samarinda
Klub Putra Samarinda dibentuk pada 1989 dan berkompetisi di Galatama. Namun, karena kesulitan finansial, pada 2003 Putra Samarinda digabung dengan Persisam yang dibiayai APBD. Nama klub pun berubah menjadi Persisam Putra Samarinda.
Di musim 2008/2009 Persisam juara Divisi Utama dan berhak promosi ke Liga Super Indonesia.
Masih di tahun yang sama dengan kelahiran Madura United, Persisam Putra Samarinda juga melakukan langkah yang sama dengan menjual lisensi mereka. Pengusaha Pieter Tanuri pun mengubah nama klub menjadi Bali United dan berkandang di di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Bali.
Langkah ini, menurut Komisaris Utama Pusam, Harbiansyah Hanafiah, dilakukan untuk menyelamatkan Pusam dari kebangkrutan karena kurangnya dana baik dari sponsor maupun pendapatan tiket.
Segalanya berubah drastis saat berubah nama menjadi Bali United. Mereka dikelola secara profesional dan prestasi pun hadir secara instan. Dua gelar Liga Indonesia adalah puncaknya. Bali United pun konsisten dengan menjadi tim papan atas di Liga Indonesia.
Walau demikian, warga Samarinda tidak sedih karena ada klub lain bernama Borneo FC yang berdiri. Mereka main di Divisi Utama setelah mengakuisisi Perseba Super Bangkalan, klub yang didukung K-Conk Mania, suporter Madura United.