Ronaldo menjadi talenta menyerang terbaik yang pernah dimiliki Brasil di akhir era 1990-an hingga memasuki 2000-an. Sebagai seorang striker mumpuni yang menakutkan di depan gawang lawan, dia memiliki perpaduan yang luar biasa antara kecepatan, dribbling, tipuan, dan penyelesaian klinis yang menempatkannya di antara permainan cantik yang terbaik sepanjang 18 tahun karier profesionalnya.
Trofi Piala Dunia dan Copa America serta puluhan penghargaan individu jadi pembuktiannya. Deretan striker papan atas, seperti Romario, Bebeto, Rivaldo, Edmundo hingga Ronaldinho pun pernah jadi duet O Fenomeno dan bersama-sama jadi bintang Selecao. Tapi selain itu, juga ada lima bakat kelas dunia yang sebaliknya, malah terjebak dalam bayang-bayang Ronaldo selama hampir dua dekade.
Giovane Elber
Dalam 10 musim, tiga musim di Stuttgart dan tujuh musim bersama Bayern Munchen, Giovane Elber mengukir reputasi sebagai salah satu pencetak gol terbanyak Bundesliga. Bahkan, dia pernah jadi top scorer asing klub dalam enam dari tujuh musim di Munchen, hingga menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa Bundesliga dengan 133 gol dalam 260 laga, sebelum Claudio Pizarro mengambil alih.
Sayangnya, di timnas Brasil dia harus menunggu selama tujuh tahun untuk panggilan senior pertama, setelah muncul di Piala Dunia U-17 1991. Saat kesempatan datang, dia mendapat peringatan bahwa Luiz Felipe Scolari menginginkannya untuk menggantikan Ronaldo di Copa America 2001. Elber malah menolak, sehingga kariernya di level internasional pun selesai dengan hanya tujuh gol dalam 15 caps.
Mario Jardel
Dikenal sebagai seorang finisher di dalam kotak penalti dengan kemampuan menembak dari jarak jauh dan sundulannya yang bak pelurunya, Mario Jardel setidaknya selalu mencetak 30 gol bahkan lebih dalam enam musim pertamanya di Eropa. Dari Porto, lalu ke Galatasaray, hingga di Sporting FC dengan 42 gol dalam 30 pertandingan liga 2001/2002 dan gelar kedua klub setelah hampir 20 tahun.
Itu seharusnya cukup jadi modalnya ke Piala Dunia 2002, terutama karena Ronaldo hanya mencetak tujuh gol dalam 16 laga musim itu. Tapi Scolari punya catatan lain; kegagalan di Copa America 2001 saat menggantikan Ronaldo yang cedera, bahkan tak mampu mencetak gol saat Brasil tersingkir di perempat final dari Honduras. Jardel pun lalu mengakhirinya dengan 10 caps dan hanya satu gol saja.
Sonny Anderson
Striker ini diharapkan jadi pengganti Ronaldo di Barcelona pada musim panas 1997. Sonny Anderson sebelumnya telah menghabiskan tiga tahun bersama AS Monaco dengan mencetak mencetak 64 gol dalam 112 laga. Reputasinya itu berkembang setelah diawali dengan kampanye enam bulan bersama Marseille yang menghasilkan 16 gol dalam 20 laga, hingga sukses membawa Monaco jadi juara liga.
Tapi, ekspektasi fans Barcelona yang membandingkannya dengan Ronaldo jadi beban bagi Anderson. Dia gagal total, dan memilih hengkang ke Lyon setelah muak dengan kehidupan di mana dia berada dalam bayang-bayang pemain lain yang bahkan tidak ada di sana. Hanya saja, bayang-bayang itu juga mengikutinya di timnas Brasil, dan Anderson hanya mampu membuat enam caps dengan satu gol.
Marcio Amoroso
Setelah tampil mengesankan di tanah airnya, Marcio Amoroso tiba di Italia pada musim panas 1996, setahun sebelum Ronaldo. Bersama Udinese, dengan cepat dia menunjukkan diri sebagai salah satu pemain muda Brasil dengan rating tertinggi saat itu. Dalam persaingan Serie A yang ultra-defensive, striker 22 tahun itu bermain cerdas dan terampil hingga mampu membukukan 12 gol dalam 28 laga.
Bahkan, dia bisa mengungguli Ronaldo, jadi top scorer 1998/1999 dengan 22 gol, unggul delapan gol dari The Phenomenon. Amoroso pun sempat jadi bagian kuartet penyerang Brasil yang mencakup Rivaldo, Ronaldinho dan Ronaldo hingga menjuarai Copa America 1999. Namun, Scolari kemudian membuangnya dari skuad Piala Dunia 2002 dan kariernya berakhir dengan 19 caps dan sembilan gol.
Giovanni
Dijuluki “Mesias” oleh fans setelah mencetak 37 gol dalam 36 laga selama dua tahun, Giovanni Silva de Oliveira adalah senior Neymar di Santos. Reputasi itu mengantarkannya ke Barcelona pada 1996, di waktu yang sama dengan Ronaldo. Permainan berkelas, kreatif, dan punya teknik impresif saat menguasai bola, mungkin bisa membuatnya mencuri perhatian jika tak ada rekan senegaranya itu.
Setelah gagal berkembang selama tiga musim, dia pergi ke Olympiakos, di mana penampilannya yang penuh aksi membuatnya dijuluki The Wizard. Sayangnya, meskipun memiliki karier bagus di Yunani, namun bintangnya terus memudar di level internasional. Sempat jadi bagian skuad Brasil di Copa America 1997 dan Piala Dunia 1998, Giovanni hanya membuat 18 caps dan enam gol sampai 1999.
Sumber: Planet Football