Pemain Kelas Dunia yang Belum Pernah Juara Bersama Timnas

Ada banyak hal yang mendefinisikan seorang pesepakbola menjadi kelas dunia. Yang paling utama tentu saja kemampuan individunya. Baru setelahnya dampaknya kepada tim.

Sejumlah pemain beruntung bisa berada dalam satu tim yang berisi para pemain berkualitas. Di level klub menjadi lebih gampang karena pemain bisa pindah kemana saja. Namun, hal berbeda ditunjukkan di level timnas, karena tidak ada manusia yang bisa menentukan akan terlahir di mana, kapan, dan dari siapa.

Hal ini yang dirasakan sembilan pesepakbola ini. Mereka dianggap kelas dunia, punya berbagai trofi bersama klub, tapi nihil bersama timnas. Berikut kami sajikan untuk Anda.

Pablo Aimar

Nama Aimar sudah dikenal sejak ia membela River Plate. Puncaknya adalah saat secara mengejutkan ia membawa Valencia juara La Liga di musim 2001/2002 dan 2003/2004. Valencia pun dibawanya ke final Liga Champions di musim pertamanya dan menjuarai Piala UEFA pada 2003/2004.

Secara teknis, peluang Aimar menjuarai kompetisi bersama timnas jelas terbuka lebar. Ia main buat timnas Argentina, salah satu yang terbaik di dunia, dari 1999 sampai 2009. Namun, sepanjang itu, capaian terbaiknya hanya runner-up Copa America 2007. Padahal, Aimar membawa Argentina juara dunia U-20 pada 1997.

Pemain yang diidolai Lionel Messi ini cukup ironis. Mengingat ia tak bisa juara Copa America bersama Argentina, tapi bisa juara La Liga bersama Valencia mengalahkan Real Madrid dan Barcelona.

Juan Roman Riquelme

Kalau Aimar tak bisa mendapatkan trofi bersama timnas Argentina, rekan sejawatnya juga tentu sama; dan dia adalah Juan Roman Riquelme yang setahun lebih tua. Sama seperti Aimar, Riquelme juga tergabung dalam skuad Argentina U-20 yang juara di Malaysia tersebut.

Riquelme jelas lebih dikenal ketimbang Aimar. Di Argentina, ia bergabung dengan Boca Juniors dan menjuarai 4 gelar Apertura dan satu Clausura. Riquelme juga membawa Boca tiga kali juara Copa Libertadores.

Di Eropa, klub pertama Riquelme adalah Barcelona. Namun, bukan itu yang banyak orang ingat, melainkan saat ia berkostum Villarreal. Jelas The Yellow Submarine akan sulit mengatasi Madrid dan Barca di La Liga. Akan tetapi, kehadiran Riquelme memberikan berkah dengan gelar Piala Intertoto buat mereka.

Franck Ribery

Terlahir sebagai seorang Prancis adalah berkah bagi Franck Ribery. Bagaimana tidak? Prancis juara Piala Dunia 1998 dan 2018, serta Piala Eropa 2000. Puasa gelar mereka cuma 18 tahun; tentu mudah bagi Ribery untuk mendapatkan piala. Apalagi, Ribery adalah salah satu pemain sayap terbaik saat itu.

Sialnya, Piala Dunia 1998 terlalu cepat untuknya, sementara Piala Dunia 2018 sudah terlambat. Umurnya masih 15 tahun saat Zinedine Zidane menyingkirkan Ronaldo sang fenomena di negeri sendiri. Sementara itu, umurnya sudah 35 tahun, masih bisa main sebenarnya, saat Prancis juara di Rusia. Ribery sendiri masih main hingga 2022 dengan Salernitana sebagai klub terakhirnya.

Trofi Ribery sudah tak terhitung kalau bicara di level klub. Memang, ia beruntung bergabung bersama Bayern; trofi hanyalah kebiasaan. Sembilan gelar Bundesliga menjadi miliknya. Bahkan, waktu main di Galatasaray, ia juga juara Piala Turki; pun di Marseille saat juara Piala Intertoto 2005.

Titik terbaik Ribery bersama timnas ada pada 2006; saat Zidane menanduk Materazzi dan Prancis akhirnya kalah adu penalti.

Eric Cantona

Buat penggemar Manchester United, Eric Cantona adalah raja. Selama lima musim di Manchester United, empat gelar Premier League berhasil ia persembahkan. Namun, secara mengejutkan, Cantona pensiun di umur 31 tahun!

Andai setahun lagi ia bertahan, bukan tidak mungkin Cantona akan meraih trofi Piala Dunia 1998. Akan tetapi, bukan itu masalahnya. Sejak insiden di Selhurst Park, ban kapten di lengannya dicopot dan posisinya tergantikan oleh Zidane. Ia pun tak pernah main buat timnas Prancis sejak 1995. Selain itu, Cantona “terlambat” naik ke timnas Prancis karena tiga tahun sebelum debutnya, Prancis juara Eropa bersama dengan Michel Platini.

Johann Cruyff

Cruyff berjasa besar bagi sepakbola Belanda juga Barcelona. Ia adalah penaruh fondasi dari taktik penting yang kita kenal kini. Tentu terdengar tidak masuk akal kalau ia tak pernah mendapatkan piala bersama timnas Belanda.

Nyatanya, sebagai pemain Cruyff meraih delapan trofi Eredivisie bersama Ajax Amsterdam dan satu gelar La Liga. Bersama timnas Belanda, ia main dari 1966 hingga 1977. Gelar terdekatnya adalah Piala Eropa 1976 saat kalah di semifinal, serta Piala Dunia 1974 waktu kalah 1-2 dari Jerman Barat.

Capaian tersebut sekaligus merupakan salah satu capaian terbaik timnas Belanda di era 1970-an. Setahun setelah Cruyff pensiun dari timnas, Belanda kembali ke final Piala Dunia, tapi lagi-lagi kalah kali ini dari Argentina.

Michael Ballack

Ballack ada dalam salah satu generasi terbaik timnas Jerman. Ia ada dalam skuad di final Piala Dunia 2002 dan semifinal 2006; juga final Piala Eropa 2008. Namun, dengan skuad yang bagus itu, Jerman masih belum bisa juara. Ini seolah membuat julukan “Mr. Runner Up” kian melekat padanya.

Ballack tak lagi dipanggil timnas sejak 2010 atau saat usianya 34 tahun. Ia tidak seberuntung rekan sejawatnya, yang dua tahun lebih muda, Miroslav Klose. Karena bagaimana tidak? Klose masih ada di skuad timnas Jerman, bahkan masih mencetak gol ketika mereka juara Piala Dunia 2014! Ballack juga masih berusia 20 tahun waktu Jerman juara Piala Eropa 1996.

Raul Gonzalez

Raul adalah “Pangeran Madrid”. Ia memberikan enam trofi La Liga dan tiga Liga Champions. Raul dipanggil timnas Spanyol sejak 1996 dan berakhir pada 2006 atau saat usianya 29 tahun.

Raul jelas tidak beruntung karena dua tahun kemudian, Spanyol merajai dunia hingga enam tahun kemudian. Sayangnya, Raul memang tidak ada dalam skuad Spanyol terbaik ketika ia membela timnas.

Didier Drogba

Drogba adalah striker menyeramkan di mana para bek lawan sudah pasti akan ketakutan. Namanya dikenal ketika membela Chelsea dan memberikan empat gelar Premier League dan satu Liga Champions. Ia adalah salah satu bakat Afrika terbaik yang pernah ada.

Drogba bermain untuk timnas Pantai Gading. Ia bergabung dengan salah satu generasi terbaik Pantai Gading. Sayangnya, bersama Drogba mereka tak pernah juara Piala Afrika. Padahal, sejak 2002 hingga 2014, Drogba mencetak 65 gol atau yang terbanyak. Pantai Gading pun dibawanya dua kali ke final Piala Afrika 2006 dan 2012, tapi kalah.

Dorgba pensiun dari timnas usai Piala Dunia 2014. Setahun kemudian, Pantai Gading juara Piala Afrika!

Paolo Maldini

Tak ada yang meragukan Paolo Maldini saat menggalang pertahanan AC Milan. Ia adalah legenda sekaligus One-club Man; gelar yang cukup jarang dimiliki pesepakbola top.

Di Milan, ia main sejak 1984 hingga 2009. Tujuh gelar Serie A dipersembahkannya, ditambah lima gelar Liga Champions!

Sejatinya, Maldini juga belum meraih trofi di timnas junior. Prestasi terbaiknya adalah ke final Piala Eropa U-21 pada 1986. Di level senior, capaian terbaiknya adalah final Piala Dunia 1994 dan final Piala Eropa 2000.

Maldini pensiun pada 2002. Empat tahun kemudian, Fabio Cannavaro mengangkat trofi Piala Dunia 2006. Sosoknya mengingatkan pada Maldini yang merupakan seorang bek karismatik. Ia pensiun terlalu cepat; tapi kalau ia masih ada, mungkin Cannavaro tak akan mengangkat piala.