Liverpool: Terjatuh, Bangkit, dan Berjaya

Empat setengah musim di Liverpool, Klopp sudah beri empat gelar. Foto: Sky Sports

30 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanti datangnya gelar juara yang diimpikan. Banyak rasa sakit yang mereka rasakan dalam proses pendewasaan sebelum mereka kembali mencapai status terbaik. Sebuah penantian yang diakhiri dengan dominasi.

Fernandinho berusaha agar kepastian gelar juara tidak ditentukan pada pekan ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin bola tidak diizinkan untuk masuk ke gawangnya. Kalau perlu bola dibuang dengan tangan. Itulah yang dia lakukan dalam sebuah proses kemelut yang terjadi di kotak penalti mereka pada menit ke-76.

Tapi Premier League punya VAR. Segala bentuk kecurangan kini terpantau oleh kamera yang terpasang. Tingkah Fernandinho menyapu bola dengan tangan diketahui oleh wasit yang kemudian mengusirnya. Chelsea dapat penalti dan Willian mengeksekusi dengan baik. Gol yang tidak hanya disambut oleh penggemar Chelsea melainkan juga penggemar Liverpool.

Gol Willian adalah gol penentu dari berakhirnya puasa gelar The Reds yang sudah berlangsung selama 30 tahun. Setelah menunggu sekian lama, kini mereka punya kapten yang bisa mengangkat trofi Premier League pertama sepanjang sejarah. Trofi mereka yang ke-19 sepanjang kompetisi sepakbola Inggris.

Liverpool layak mendapatkannya. Mereka mendominasi sejak pekan pertama roda kompetisi diputar. Unggul hingga lebih dari 20 poin atas Man City, yang diakhiri dengan rekor sebagai juara tercepat sepanjang sejarah Premier League. Sulit untuk mencari kata lain selain “layak”.

Butuh proses panjang untuk mengakhiri puasa tersebut. Selain itu, banyak sekali rasa sakit yang harus ditanggung penggemar mereka hingga membuat tim kesayangannya menjadi bulan-bulanan troll di dunia maya. Mereka merasakan betapa kecewanya gagal juara karena kapten fantastis mereka justru terpeleset pada saat ‘buka puasa’ bisa diakhiri secepatnya. Atau ketika mereka kehilangan stabilitas pada pertengahan musim (2008/2009 dan 2018/2019).

“Kehilangan gelar pertama dalam 30 tahun setelah unggul di klasemen seperti ini sangat menghancurkan. Rasanya seperti menonton Devon Loch (kuda terkenal di Inggris) yang jatuh saat mendekat garis finis. Namun, saya merasakan kalau ini saantnya mereka menjadi juara,” kata Jamie Redknapp pada akhir 2019 lalu.

Banyak masalah-masalah lain yang mereka hadapi. Sulit mencari pelatih yang tepat, tidak bisa bersaing di papan atas untuk beberapa tahun, kehilangan banyak pemain-pemain bintang yang tidak bisa membawa mereka juara, hingga ancaman kalau liga dihentikan tanpa pemenang akibat pandemi Covid-19. Namun, kembali ke bagian pembuka tulisan ini. Itu semua menjadi bagian dari perjalanan Liverpool sebelum mereka mengakhiri puasa gelar tiga dekade dengan dominasi penuh.

“Kami hanya menunggu 13 minggu. 13 minggu yang sangat panjang dengan ketidakpastian. Tetapi, banyak dari fans kami yang menunggu 30 tahun. Jadi, penantian kami sebenarnya sangat singkat jika dibandingkan dengan penantian mereka,” kata Andy Robertson.

Peran Besar Jurgen Klopp

Sebuah dominasi tidak akan muncul tanpa adanya konsistensi. Inilah resep utama untuk menjadi seorang pemenang. Liverpool melakukannya dengan sangat baik. Sadar kalau mereka tidak boleh terpeleset lagi, maka tim ini sudah harus menakutkan sejak awal.

Itulah yang mereka lakukan sejak Maret 2019. Liverpool mengejutkan dengan tidak bisa dikalahkan pada kompetisi domestik selama satu tahun. Bahkan musim ini, mereka hanya kehilangan dua poin dalam 27 pekan yang membuat gelar juara tampak tinggal menunggu waktu.

“Pada kompetisi liga tahun ini, kami berada dalam level yang berbeda. Kami bermain sangat konsisten dan bermain sangat baik,” kata Virgil van Dijk, salah satu pemain yang menjadi kunci kebangkitan Liverpool.

Konsistensi yang kemudian diikuti oleh determinasi. Dua hal itu tidak akan bisa terjadi tanpa sosok seorang Jurgen Klopp. Perubahan radikal yang ia bawa mengubah Liverpool menjadi tim yang menakutkan di atas lapangan. Tim yang terus berjuang mencari kemenangan.

“Jika saya di sini selama empat tahun, saya percaya diri kami bisa meraih satu gelar.” Itulah ucapan Klopp saat pertama kali menjalani konferensi pers setelah menggantikan Brendan Rodgers. Tidak jelas secara spesifik gelar apa yang menjadi target, namun Klopp pada akhirnya memberikan empat dan bukan hanya satu.

Klopp juga tidak mengubah Liverpool dengan instan. Butuh proses dan perjuangan untuk bisa membuat Liverpool menjadi tim yang bagus lagi. Tidak mudah untuk menjalani proses tersebut. Bahkan Klopp pun sempat berada dalam situasi dianggap tidak cocok menangani Si Merah.

Namun, mantan pelatih Mainz ini tidak sembarangan menjalani proses. Ketika saya membahas soal Liverpool, maka saya menekankan dua hal yaitu proses dan progres. Klopp memang menjalani hari-hari sulit pada awalnya di Anfield, namun proses yang ia jalani berjalan beriringan dengan progres yang diraih.

Delapan bulan pertamanya, ia membawa Liverpool maju hingga final dua ajang. Musim berikutnya, ia mengembalikan tim ke empat besar, yang disusul melangkah final Liga Champions semusim berikutnya. Semuanya tidak menghasilkan apa-apa, namun Klopp membuat para pemain Liverpool merasakan pengalaman bermain pada laga penting seperti final ajang piala. Hal ini memudahkan mereka ketika dihadapkan pada situasi yang sama ke depannya. Hasilnya, berturut-turut gelar Liga Champions, Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, hingga puncaknya adalah gelar Premier League.

Klopp juga paham kalau ingin sukses maka dia harus mendapatkan pemain yang tepat. Hanya Jordan Henderson dan Roberto Firmino pemain peninggalan manajer sebelumnya yang berada pada skuat utama. Ia juga berani melepas Philipe Coutinho.

Selain itu, ia juga mau menuruni ego untuk tidak terlalu Heavy Metal dalam permainannya di atas lapangan. Liverpool yang sebelumnya ‘bar-bar’ dalam melakukan pressing, sejak musim lalu mulai pandai mengatur ritme. Ia paham kalau terlalu total menjalankan gegenpressing maka pemainnya bisa cedera. Sejak musim lalu ia telah mengubah pendekatannya.

“Itu adalah hasil kombinasi dari pengalaman, bermain bersama, dan saling percaya. Pada akhirnya tim ini terus berevolusi. Awalnya kami terlalu menyerang dan menekan secara kencang. Namun kami berkembang sejak saat itu,” kata James Milner.

Sejak saat itu, Klopp membuat Liverpool tidak lagi menekan terlalu tinggi seperti awal-awal kepelatihannya di Liverpool. Mereka bisa kembali menikmati sepakbola berkat segala perbaikan dan perubahan dari segala aspek. Beruntung, Liverpool bisa melalui proses itu bersama Klopp dalam waktu yang terbilang singkat.

“Laga malam tadi memberi saya perasaan kalau kami akan baik-baik saja. Ini adalah malam untuk fans. Saya harap kalian tinggal di rumah dan sebuah kegembiraan bisa melakukannya untuk Anda. Ini momen besar dan saya tidak punya kata-kata yang bisa diungkapkan. Saya kebingungan. Saya tidak pernah berpikir perasaan saya akan seperti ini,” kata Klopp.

Segala hal di dalam Liverpool kini telah berubah. Dari yang sebelumnya diragukan, kini menjadi kesebelasan yang mulai dijagokan. Tugas Klopp semakin berat ke depannya. Ia dituntut untuk mempertahankan apa yang sudah ia raih sejauh ini. Mereka kini menjadi sasaran tim-tim lain seperti Manchester City dan Chelsea yang juga mulai berbenah untuk bisa menjatuhkan mereka dari singgasananya.

Namun sebelum memikirkan itu semua, Liverpool pantas untuk berpesta. Pesta yang sudah mereka nanti-nanti sejak 30 tahun yang lalu. Pesta yang membuat mereka kini menjadi pemenang. Selamat Liverpool!!