Menjadi orang yang tidak diinginkan adalah hal terakhir yang diinginkan dalam sebuah hubungan. Buat Manuel Pellegrini, ia pernah mengalaminya dan tak cuma sekali. Ia pernah direndahkan dan dibuat tak nyaman setidaknya dua kali, oleh klub yang uangnya tak berseri.
Pengalaman di Amerika Selatan Bawa Pellegrini ke Eropa
Sejatinya, Pellegrini adalah orang yang setia. Sepanjang kariernya sebagai pemain, ia habiskan di Universidad de Chile dari 1973 sampai 1986. Dua tahun kemudian, ia bahkan menjadi pelatih klub yang berbasis di Santiago tersebut.
Setelahnya, Pellegrini berkelana ke sejumlah negara. Ia pernah menangani LDU Quito di Ekuador, sampai San Lorenzo dan River Plate di Argentina.
Alasan ia bisa direkrut San Lorenzo tak lain karena membawa LDU Quito menjuarai liga. Mereka juga tampil bagus di Copa Libertadores yang membuat namanya makin dikenal.
Di San Lorenzo, Pellegrini juga memberi mereka gelar liga pada 2000/2001. San Lorenzo pun dibawanya menjuarai Copa Mercosur 2001 atau setara UEFA Cup kalau di Eropa.
Cuma setahun setengah, Pellegrini kemudian direkrut raksasa Argentina, River Plate. Lagi-lagi, ia berhasil membawa timnya menjadi juara liga. Namanya pun kian dikenal dan pada 1 Juli 2004, ia direkrut Villarreal. Cuma dalam waktu dua bulan, ia membawa Villarreal juara Piala Intertoto dan berhak lolos ke Piala UEFA.
Secara prestasi, tak ada trofi yang mampir di lemari Villarreal. Akan tetapi, ia berhasil membawa mereka finis di peringkat ketiga La Liga serta mencapai perempatfinal Piala UEFA.
Di bawah Pellegrini, Villarreal tampil optimis. Mereka sempat ke semifinal Liga Champions, juga menempati peringkat kedua La Liga. Meski demikian, ini yang agaknya jadi alasan Real Madrid untuk menjadikan Pellegrini pelatih baru mereka.
Dipecat Real Madrid
Pellegrini pun dikontrak dua tahun. Ia menanggung beban yang teramat besar karena ia adalah manajer pertama di era kedua Florentino Perez.
Madrid adalah kesebelasan besar pertama yang dilatih Pellegrini di Eropa. Maka ia pun ingin agar kehadirannya bisa menghadirkan prestasi yang layak buat klub. Pellegrini menyatakan kalau Madrid ingin memenangi Liga Champions dan menjadi yang terbaik di dunia, mereka harus mendatangkan para pemain terbaik.
Sayangnya, pesan ini justru disalahartikan. Pellegrini ingin pemain terbaik yang pas dengan gaya bermainnya. Di sisi lain, pihak klub justru mendatangkan para pemain bintang bernama besar, sebut saja Kaka, Cristiano Ronaldo, Xabi Alonso, Raul Albiol, dan Karim Benzema. Di sisi lain, Madrid melepas sejumlah pemain penting seperti Wesley Sneijder dan Arjen Robben. Padahal, keduanya masuk dalam rencana permainan Pellegrini.
Madrid di bawah Pellegrini pun tak bisa berbuat banyak. Meski mengakhiri musim di peringkat kedua, serta tumbang di babak 16 besar Liga Champions dan Copa del Rey.
Pada akhir musim, Pellegrini berkilah kalau ia tak punya suara untuk menentukan apapun di tim. “Aku tak bisa mendapatkan apapun dari orkestra kalau aku punya 10 gitaris tanpa seorangpun pemain drum atau pianis,” kata Pellegrini.
Akhirnya, Pellegrini pun dipecat karena Jose Mourinho tengah menganggur. Sejak awal, Perez mungkin tidak begitu serasi dengan Pellegrini, karena ia adalah pilihan Direktur Teknik Madrid, Jorge Valdano.
Masa kesebelasan sekelas Real Madrid dilatih pria tua yang gemar menebar senyuman?
Gara-Gara Malaga
Usai melatih Madrid, Pellegrini mendapatkan tawaran untuk melatih Malaga. Namun, Malaga jelas bukan kesebelasan yang punya pemain komplet dengan segala kemewahannya. Mereka bahkan hampir terdegradasi pada musim sebelumnya karena hanya menempati peringkat ke-17 dengan 37 poin, atau satu poin lebih banyak dari Valladolid yang terdegradasi.
Saat ditangani oleh Pellegrini, Malaga mengamankan diri di La Liga dengan naik ke peringkat ke-11. Semusim berselang, Pellegrini berhasil membawa Malaga naik ke peringkat keempat. Hasil ini juga membuat Malaga berlaga di Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub.
Hasil ini tak lain karena Pellegrini mendatangkan pemain yang dianggap sesuai dengan gaya bermainnya seperti Martin Demichelis, Ruud van Nistelrooy, Nacho Monreal, Isco, dan andalannya di Villareal, Santi Cazorla.
Sejatinya, Pellegrini memiliki modal berharga untuk menjadi seorang pelatih top. Hanya saja, ia jarang membuat masalah yang menjadikannya lebih jarang disorot media.
Soal permainan, Pellegrini merasa kalau apa yang ia terapkan di Villareal dan Malaga, memengaruhi variasi taktik sejumlah kesebelasan La Liga juga timnas Spanyol. Alih-alih memakai gelandang bertahan, ia menggunakan gelandang menggantung!
Malaga menjadi salah satu puncak dalam karier kepelatihan Pellegrini. Oleh karena itu ia tidak menyesal meninggalkan Madrid tanpa satupun trofi. Ia merasa membentuk kesebelasan yang baru dan melakukan sesuai keinginannya jauh lebih bagus ketimbang memenangi trofi dengan Madrid.
Ia pun sempat disindir Mourinho yang bilang kalau dirinya tak akan melatih Malaga kalau dipecat Madrid. Dia akan ke klub besar di Inggris atau Italia. Pellegrini membalas: “Ketika dia menang, Mourinho ingin mendapatkan semua pujian. Aku tidak melakukannya saat aku memenangi Premier League.”
Membawa Manchester City Juara
Pada 14 Juni 2013, Pellegrini menjadi pelatih Manchester City. Ia menjadi pelatih kelima dari luar Eropa yang melatih tim Premier League. Di musim pertamanya itu, ia berhasil memberikan trofi Premier League buat The Citizens serta Piala Liga.
Pada musim selanjutnya, tak ada trofi yang bisa ia berikan. Sementara City berhasrat untuk menjadi yang terbaik bukan cuma di Inggris tapi juga di Eropa. Ia sempat memberikan trofi Piala Liga 2016 tapi itu tak cukup membuat direksi City puas.
Rumor pun hadir. Lebih dari dua bulan lamanya, semua orang bicara soal masa depannya. Semua orang menganggap Pellegrini tak lagi dibutuhkan.
Ini tentu menyedihkan. Bayangkan saat ia mengorbankan semua waktu, tenaga, dan pikiran Anda di sana karena kontraknya masih tersisa satu setengah tahun. Namun, orang-orang mulai membicarakan penggantinya. Malah tidak sedikit rekannya yang sudah tidak sabar bekerja sama dengan sang manajer baru.
Itulah yang dirasakan Pellegrini.
Bagaimanapun, nama Pellegrini tidak semenarik Louis van Gaal atau Juergen Klopp yang setiap ucapannya kerap menjadi berita. Pellegrini bukan idola media. Dia cuma pelatih berusia senja yang pernah melatih Real Madrid dan Malaga.
Setelah meraih gelar juara Piala Liga Inggris, City akhirnya memenangi Liga Primer Inggris pada pekan terakhir. Musim selanjutnya, Pellegrini memang tidak membawa City juara. Namun, City tetap stabil di peringkat kedua di bawah Chelsea yang memang bermain fantastis pada musim tersebut.
Kabarnya, pemecatan ini bukanlah soal prestasi melainkan ego klub yang ingin ditangani oleh sosok bernama besar. Padahal, City bukanlah kesebelasan yang punya sejarah harus berada di papan atas. Dalam sejarah City, terdegradasi ke divisi kedua adalah hal yang biasa.
Sang Pria yang Tersenyum Akhirnya Pergi
Menjadi sosok yang biasa-biasa saja menjadi pilihan yang diambil Pellegrini saat itu. Ia terbilang jarang melakukan konfrontasi dengan wasit atau manajer lawan. Media Inggris pun menjulukinya sebagai “The Charming Man” karena kepribadiannya yang selalu tersenyum.
Soal pemecatannya, Pellegrini tidak marah. Ia tahu konsekuensi dari bekerja dalam sebuah industri sepakbola, di sebuah “perusahaan” dengan nafsu yang begitu besar, ia bisa dipecat kapan saja. Apalagi, kalau tidak memenuhi ekspektasi. Ia bisa dipecat kapan saja. Apalagi, ia bukanlah siapa-siapa.
1 Februari 2016, Manchester City mengumumkan kalau Pep Guardiola akan menjadi pengganti Pellegrini untuk awal musim selanjutnya. Anda mungkin berpikir kalau City begitu jahat dengan mengumumkan pelatih baru sebelum Pellegrini benar-benar menghabiskan masa kontraknya. Namun, Pellegrini bukanlah pelatih macam itu. Pengumuman ini justru dilakukan atas keinginannya.
Menurutnya, tidak baik dengan kehadiran rumor dan segala spekulasi. Inilah mengapa ia bicara pada pemain dan media.
Pada akhirnya, City akan kehilangan manajer dengan rekor kemenangan terbaik sepanjang sejarah klub. Pellegrini memiliki rekor kemenangan 64% atau yang ketiga terbaik sepanjang sejarah Premier League, saat itu.
Para pemain City pun kehilanngan manajer yang dikenal karena kebesaran dan dedikasinya buat sepakbola.