Masa-Masa Sulit Zlatan Ibrahimovic di Barcelona

Belum ada tanda-tanda kelelahan dari seorang Zlatan Ibrahimovic. Ketika usianya memasuki tahun ke-39 pada hari ini, ia tampak belum mau berhenti. Sebaliknya, ketajaman seorang Ibra masih terjaga. Bersama klubnya saat ini, AC Milan, dia menunjukkan kalau anggota tubuhnya masih bisa memberi kontribusi dengan sumbangan 14 gol dan 5 asis.

Tidak semua orang bisa menjalani karier seperti Ibra. Meski suka berpindah-pindah klub, namun Ibra menunjukkan kalau dia tidak pernah mengalami masalah dalam hal adaptasi. Di mana pun ia berada, Ibra rata-rata bisa mencetak lebih dari 15 gol per musim bersama klubnya. Bahkan ketika ia menjalani satu musim yang cukup berat saat memperkuat Barcelona.

Kita semua sudah tahu kalau Barcelona adalah satu-satunya cela dalam karier seorang Ibrahimovic. Hanya di sana ia tidak bisa merasakan kegembiraan bermain sepakbola. Padahal, ia masih bisa menorehkan beberapa catatan apik seperti mencetak 22 gol, membuat gol pada El Clasico, serta memberikan dua gelar. Tapi secara keseluruhan, Barcelona adalah mimpi buruk Ibra.

“Saya bilang kalau saya dimainkan dengan cara yang salah dan mereka sebenarnya tidak perlu mendatangkan saya bila ingin pemain dengan tipe lainnya. Saya bilang kepadanya (Guardiola), kalau dia membeli Ferrari, tapi mengendarainya seperti sebuah mobil Fiat,” ujarnya.

Pada awalnya, Ibra begitu bersemangat ketika hengkang ke Barcelona setelah tiga musim memperkuat Inter Milan. Blaugrana bahkan rela menjadikan Samuel Eto’o sebagai tambahan untuk mendatangkan penyerang Swedia tersebut. Ambisi meraih Liga Champions yang membuat Ibra memilih meninggalkan Inter meski telah memberikan tiga gelar Liga Italia.

Sayangnya, ekspektasi itu tidak sesuai dengan realita. Hari-hari Ibra berisi rasa tidak nyaman ketika berlatih bersama mereka. Tidak ada kebahagiaan, sebaliknya setiap hari Ibra merasa jengkel. Barcelona bukan tempat yang tepat untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang manusia. Tempat yang justru membuatnya begitu terkekang.

“Barcelona itu mirip sebuah institusi pendidikan. Tapi di dalamnya seperti tidak ada yang bisa menjadi pemain bintang. Xavi, Iniesta, dan yang lain hanyalah sekumpulan bocah-bocah SMA. Pesepakbola terbaik yang berdiri di lapangan dengan kepala tertunduk,” ujar Ibra dalam buku autobiografinya.

“Kalau di Italia, ketika pelatih menyuruh Anda ‘lompat’, maka mereka akan bertanya untuk apa saya lompat. Tapi di sini (Barcelona), semuanya bersikap seperti sesuai perintah. Saya tidak cocok sama sekali. Saya mencoba untuk berbaur, tapi yang ada saya justru menjadi terlalu baik. Gila benar,” katanya menambahkan.

Berbedanya karakter pemain-pemain Barcelona dengan dirinya hanyalah satu dari beberapa faktor yang membuat Ibra tidak bahagia di sana. Menurutnya, situasi di sana seperti berada di sebuah penjara. Belum lagi fakta di atas lapangan ketika ia diminta untuk bermain di belakang Messi. Hal itu membuatnya merasa seperti kehilangan peran di atas lapangan.

“Guardiola harus menuruti kata-kata Messi. Yang benar saja. Saya sudah mencetak banyak gol dan permainan saya juga tidak terlalu buruk. Tak semestinya Guardiola mengubah keseluruhan tim hanya untuk satu orang. Kalau begini, untuk apa dia membeli saya dari Inter?” kata Ibra.

Kekesalan Ibra semakin memuncak setelah ia ditarik keluar saat Barcelona bermain melawan Arsenal di Liga Champions. Dia yang sudah membawa timnya unggul 2-0 justru ditarik keluar. Apes, setelah Ibra ditarik justru Arsenal yang bisa mencetak dua gol untuk membuat pertandingan berakhir sama 2-2. Kejadian serupa juga terjadi ketika ia hanya bermain 60 menit saat Barcelona melawan Inter Milan.

Inilah yang membuat Ibra kemudian semakin hilang respek kepada Pep Guardiola. Ia bahkan berkata legenda Barcelona ini sebagai sosok yang pengecut. Sebelumnya, Ibra kecewa ketika Pep membuat larangan kepada para pemainnya untuk tidak membawa mobil pribadinya. Sesuatu yang dianggap sebagai keputusan yang tidak masuk akal oleh Ibra. Dia juga kesal ketika Pep tidak pernah menjenguknya saat mengalami cedera setelah laga melawan Arsenal tersebut.

“Kata-kata yang dia bicarakan itu semuanya omong kosong. Semuanya tidak ada artinya.”

Kekesalan Ibra kemudian ia alihkan dengan ngebut di jalanan. Saat libur Natal 2009, ia memacu Porsche miliknya hingga kecepatan 325km per jam. Saat itu, ia merasa kalau Ibra yang sesungguhnya telah kembali sebelum keadaannya kembali berubah setelah liburannya selesai.

Beruntung, hanya satu musim Ibra menjalani masa-masa buruknya tersebut. Pada musim panas 2010, ia dipinjamkan ke AC Milan sebelum dipermanenkan pada 2011. Barcelona cukup rugi karena Milan saat itu mengikatnya dengan harga 24 juta Euro saja.

Note: Beberapa kutipan dari tulisan ini diambil dari buku autobiografi Zlatan Ibrahimovic. Dalam bukunya, Zlatan menaruh cerita tentang masa-masa suramnya di Barcelona sebagai bab pertama pada buku tersebut.