Jerusalem, kota yang berada di perbatasan dua negara, Israel dan Palestina, penuh dengan tensi, peperangan, kepentingan politik, dengan nuansa agama yang cukup kuat. Hal ini diserap dengan baik oleh masyarakatnya dan diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan sehari hari, pandangan politik, hingga menyentuh urusan sepakbola.
Jerusalem, pada bagian Israel, memiliki kesebelasan bernama Beitar Jerusalem yang berdiri sejak 1936. Bersama Hapoel Tel-Aviv, Maccabi, Tel-Aviv, Maccabi Haifa, dan Maccabi Ber’Sheva, Beitar merupakan bagian dari kesebelasan elit di Liga Istael. Namun, bukan soal prestasi yang membuat kesebelasan ini dikenal, melainkan karena dunia yang menyebutnya sebagai “Kesebelasan paling rasis di dunia”.
Beitar Jerusalem disebut sebagai kesebelasan yang paling “Nasionalis” yang menganggap Yahudi sebagai kepercayaan terbaik. Mereka menolak kehadiran kaum Arab-Yahudi dalam lingkungan tim mereka. Hal ini disebabkan pandangan politik yang diberikan oleh para pendukung mereka, “La Familia”, beranggotakan 1000 orang. Mereka sukses “menekan” kesebelasan untuk tidak merekrut pemain keturunan Arab-Yahudi dan juga Muslim.
Di Israel sendiri, pandangan politik memang melekat dalam kehidupan sehari hari. Pun di sepakbola secara keseluruhan. Terakhir, banner suporter Maccabi Tel-Aviv, yang sangat pro dengan pemerintah, memasang spanduk bertuliskan “Refugees not welcome”. Banner ini menyindir etnis Arab-Yahudi yang banyak dan berkembang di Israel, yang dibalas oleh supporter Hapoel Tel-Aviv (pro etnis Arab-Yahudi) yang menulis “Who isn’t a migrant here?”.
Menurut The Guardian, Beitar dikenal sebagai kesebelasan paling rasis yang anti-Arab. Beitar memang diisi oleh ekstrimis yang sangat pro etnis Yahudi. Ditambah lagi petinggi dan pemilik klub juga mendukung pergerakan rasialisme.
Salah satu chants yang populer dari “La Familia” adalah “Ten… Nine… Eight… Seven… Six… Five… Four… Three… Two… One…War! War! War!”. Chant ini biasa digunakan sebagai salah satu ucapan selamat datang bagi tim lawan, sekaligus menetapkan diri sebagai wilayah yang selalu berperang, dan bersengketa, dalam hal ini dengan Palestina.
Pada 2013, Beitar melakukan perjudian dengan meminjam dua pemain Muslim yang berasal dari Chechnya. Hal ini dilakukan oleh pemilik Beitar Jerusalem pada tahun tersebut untuk melebarkan sayap dan menjalin solidaritas dengan kesebelasan Rusia. Sebelumnya, Beitar juga melakukan pertandingan persahabatan dengan Terek Grozny, yang mayoritas beragama muslim.
Namun sambutan “selamat datang” yang datang dari La Familia sangat berlawanan bagi dua pemain muslim tersebut. Selain hujatan, umpatan, dan provokasi, suporter juga membakar ruangan piala Beitar sebagai wujud protes akan hadirnya dua pemain muslim di tim mereka. Bahkan, ketika salah satu pemain muslim tersebut mencetak gol, mereka melakukan walk-out dari stadion sebagai wujud protes akan hilangnya “kemurnian” Yahudi dari dalam tim mereka. Seperti yang sudah diprediksi, kedua pemain ini tidak bertahan lama dan hanya bertahan satu musim, sebelum akhirnya kembali ke daerah asal mereka di Chechnya.
Namun tidak semua setuju dengan adanya bentuk rasialisme tersebut. Kelompok suporter yang jengah dengan adanya diskriminasi tersebut, mendirikan klub dengan nama Beitar Nordia yang berdiri pada 2014.
Beitar Nordia menggunakan bentuk kostum yang mirip dengan Beitar Jerusalem. Kini, Nordia bersaing di divisi kelima Liga Israel. Di kesebelasan ini tidak ada batasan antara Muslim dan Yahudi, atau bangsa Arab-Yahudi dengan Yahudi asli. Para penggemar yang mendirikan klub ini berharap bisa bersaing dan membuktikan bahwa klub sepakbola tidak sepantasnya melakukan diskriminasi rasial secara ekstrem. Pasalnya, menurut mereka, sepakbola adalah hiburan dan salah satu cara meredakan ketegangan yang ada di Jerusalem.
Selain Beitar Nordia, ada Hapoel Katamon Jerusalem, yang juga didirikan pada tahun 2007. Saat ini Katamon berkiprah di divisi dua Liga Israel dengan membawa misi yang sama, yaitu membawa perdamaian di daerah Jerusalem. Katamon dimiliki oleh sebagian besar penduduk Jerusalem yang beragama muslim, dan mengalami diskriminasi sangat keras oleh La Familia.
Rasialisme memang sangat menjadi perhatian UEFA dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari UEFA, akan tingkah laku suporter Beitar Jerusalem. Meski beredar kabar kalau Beitar dikomandoi dan digerakkan oleh kepentingan politik untuk menjadi alat kampanye pemerintah Israel untuk menginvasi Palestina. Padahal, FIFA pun menjalankan kampanye Kick Politics Out of Football yang agaknya masih terasa sangat naif karena tak bisa melarang rasisme dari salah satu kota suci di dunia.