Memahami Athletic Bilbao yang Keras Kepala

Ketika Chelsea menebus Kepa Arrizabalaga dengan dana sebesar 72 juta paun di musim panas 2018, beberapa orang menganggap bahwa The Blues panik. Thibaut Courtois tiba-tiba hengkang ke Real Madrid dan Chelsea butuh penjaga gawang. Nama asing seperti Kepa kemudian ditebus dengan harga luar biasa tinggi.

Namun, transfer Kepa itu sebenarnya hanya memperkuat fakta bahwa Athletic Club de Bilbao merupakan gudang talenta Spanyol. Athletic memang tak dikenal memiliki predikat gudang talenta seperti La Masia di Barcelona. Tapi kenyataannya, mereka selalu berhasil memberikan talenta-talenta besar ke dunia sepakbola.

Mulai dari Andoni Zubizarreta, Bixante Lizarzu, hingga Aymeric Laporte dan Kepa, Athletic seperti tak pernah kehabisan talenta. Padahal, mereka merupakan kesebelasan eksklusif. Mereka hanya mengizinkan pemain berdarah Basque untuk berseragam Athletic. Kebijakan inilah yang begitu dikenal dan identik dari Athletic Club.

Walau ada yang mengatakan kebijakan ini merupakan diskriminasi, Athletic tak bergeming. Kebijakan yang sudah berjalan sejak 1919 tidak tergoyahkan. Isu diskriminasi juga secara perlahan dijawab oleh Athletic.

Isu ini berawal dari mantan pemain Atletico Madrid, Miguel Jones. Lahir di Malabo, Guinea Khatulistiwa, Jones sudah hidup di daerah Basque sejak berusia lima tahun. Namun ketika Athletic punya kesempatan untuk memboyongnya, mereka menolak. Hal yang sama juga dialami oleh mantan penyerang Tim Nasional Spanyol di era-60 hingga 70-an, Jose Garate.

Garate adalah pemain keturunan Basque yang lahir Argentina. Sementara Jones memulai karirnya di Barakaldo, kesebelasan Basque. Tapi pada masanya, mereka tak bisa membela Atheltic Bilbao. Pasalnya saat itu Athletic Club hanya mengizinkan pemain kelahiran daerah Basque. Bukan keturunan.

Menurut Hukum Hak Asasi Manusia yang digunakan di Eropa, setiap institusi dilarang untuk melakukan diskriminasi. Athletic Bilbao yang hanya mengizinkan pemain kelahiran daerah Basque untuk membela tim mereka seperti melanggar hal itu. Apalagi ada isu bahwa Jones ditolak Athletic karena warna kulitnya.

Akan tetapi, semua tindakan memiliki alasan. Selain Barcelona, daerah Basque merupakan tempat yang merasakan kekejian Jendral Franco. Pada 1919, sebagai bentuk perlawanan, Athletic Club  mengadopsi kebijakan tersebut. Seiring waktu, kebijakan tersebut semakin longgar.

Kini, Athletic Club mengizinkan pemain keturunan seperti Garate dan juga pemain-pemain yang mengawali karir di akademi daerah Basque seperti Jones. Jebolan akademi Barakaldo itupun membantah rumor yang selama ini beredar.

“Isu yang diangkat media tentang kegagalan saya membela Athletic didasari warna kulit adalah sampah. Satu-satunya alasan saya tidak bisa membela mereka adalah tempat lahir. Saya bukan orang asli Basque. Saya baru hidup di sana saat usia saya empat tahun,” jelas Jones.

Pada 2011, Jonas Ramalho menjadi pemain berkulit hitam pertama yang tampil untuk Athletic Club dan menyelsaikan masalah tersebut. Sejak 2012, mereka juga memiliki pemain berkulit hitam lainnya dalam diri Inaki Williams.

Athletic Club bukan melakukan diskriminasi dengan peraturan mereka. Melainkan menjaga talenta lokal mendapatkan tempat di tim utama dan mewujudkan mimpi mereka menjadi pesepakbola. Bahkan bedasarkan laporan Guardian pada Oktober 2018, Athletic sejauh ini telah mengorbitkan 85% pemain akademi mereka ke tim utama.

Foto: The Independent

Tradisi Mengorbankan Prestasi

Memiliki delapan gelar juara La Liga dan 23 piala Copa del Rey, Athletic Bilbao bukanlah tim sembarangan di Spanyol. Mereka bahkan jadi perwakilan tetap untuk Spanyol pada Europa League dalam beberapa tahun terakhir.

Semua dilakukan dengan keterbatasan. Saat Real Madrid membentuk Los Galacticos, dan Barcelona mengelontorkan 86,2 juta Euro untuk mengimpor Neymar dari Brasil, Athletic hanya bisa mengandalkan pemain-pemain berdarah Basque.

Kesetiaan Athletic Club terhadap Basque menjadi harga mahal yang harus dibayarkan. Los Leones mungkin langganan kompetisi antar klub Eropa, tapi sejak 2013/14, mereka hanya satu kali mengakhiri musim di empat besar La Liga atau zona Liga Champions.

2017/18 menjadi musim tersulit Athletic dengan mengakhiri musim di peringkat ke-16 liga. Athletic memang unggul jauh 14 poin dari Deportivo La Coruna yang menempati peringkat paling tinggi zona merah, tapi jarak antara mereka hanyalah dua strip.

Itu adalah peringkat terendah sepanjang sejarah bagi klub yang belum pernah terdegradasi dari La Liga tersebut. Sebelumnya, posisi paling rendah Athletic Club adalah peringkat ke-15 di musim 1995/96.

Musim 2018/19 juga menjadi cobaan besar bagi mereka. Eduardo Berizzo yang memiliki catatan impresif bersama Celta Vigo gagal mengangkat kembali status Athletic sebagai salah satu perusak peta persaingan La Liga.

Delapan bulan menangani Athletic, Berizzo tidak sekalipun meraih kemenangan. Alhasil, empu San Mames itu harus tersungkur di peringkat 18 klasemen alias zona degradasi. Mereka menetap di zona merah selama lima pekan. Godaan untuk menanggalkan tradisi akhirnya muncul.

Sejak Ernesto Valverde hengkang, Athletic Club gagal mempertahankan posisi mereka di papan atas. 3 kepala pelatih berbeda sudah ditunjuk dalam waktu hampir dua tahun. Tak ada satupun yang berusaha mengubah tradisi mereka.

Mantan Presiden Athletic Club Jose Julian Lertxundi bahkan mengatakan siapapun yang berusaha mengubah tradisi tersebut lebih baik pergi dari klub. “Siapapun yang berpikir bahwa hal ini bisa diubah tidak akan menjadi kandidat [presiden/pelatih]. Masih banyak cara lain yang lebih indah untuk bunuh diri,” katanya.

Mantan bek Athletic, Unai Bustinza juga mengatakan hal serupa. “Akan lebih baik melihat Athletic main di divisi dua dibandingkan mengubah kebijakan tersebut”.

Foto: These Football Times

‘Modernisasi’ Bukan Jaminan

Athletic Club bukan tidak memiliki dana untuk bersaing. Tidak bisa dipungkiri, sepakbola modern memang identik dengan uang. Manchester City, Paris Saint-Germain, dan Chelsea merupakan contoh bahwa kekuatan finansial di bursa transfer bisa berujung dengan piala. Walau tidak begitu terlihat, Athletic sebenarnya juga bisa melakukannya.

Los Leones memiliki dana 200 juta Euro untuk digelontorkan musim ini. 290 juta Euro jika mereka memang perlu mengeluarkan uang simpanannya. Dengan dana tersebut, mereka bisa saja mengisi tim dengan pemain-pemain bintang.

AS Roma yang menata ulang kembali skuat mereka sejak 2017, telah menggelontorkan uang sekitar 237 juta Euro dalam empat jendela transfer. Dana Athletic ada di atas angka tersebut. Tapi mereka tidak membutuhkan uang tersebut untuk membangun tim.

“Kami tidak memerlukan uang tersebut,” kata mantan gelandang dan presiden Athletic, Josu Urrutia.

Bagi orang-orang yang terlibat di Athletic, kesebelasan ini sama dengan bisnis keluarga. “Anda mungkin berpikir untuk meninggalkan bisnis keluarga yang sudah dibangun oleh kakek. Tapi bagi kami ini adalah tantangan,” jelasnya.

“Dengan begini kami bisa mengorbitkan para pemain muda karena memang dibutuhkan. Ada kalanya kami diuji bencana, tapi hal itu tidak akan mengubah apapun. Ini adalah ujian bersama,” lanjut Urrutia.

Meninggalkan kebijakan yang telah bertahan selama berabad-abad juga bukan jaminan untuk sukses. Athletic bisa melihat itu dari tetangga mereka, Real Sociedad. Klub yang dijuluki Txuri-urdinak itu awalnya juga sama dengan Athletic, hanya memberi tempat ke pemain Basque. Pada 1989, demi mendongkrak prestasi tradisi tersebut ditanggalkan.

John Aldridge didatangkan dari Liverpool dan menjadi pemain asing pertama yang mereka miliki. Namun, prestasi tidak datang begitu saja. Sejak era Aldridge hingga 2017/18 (29 musim) hanya 11 kali Real Sociedad mengakhiri musim di 10 besar La Liga. Real Sociedad bahkan pernah terdegradasi dan mengalami krisis finansial. Sementara Athletic selalu ada di La Liga.

Semua dijalankan dengan filosofi “Con cantera y afición, no hace falta importación“, “Dengan talenta lokal dan dukungan suporter, Anda tidak perlu melakukan impor”.