Menemukan Sepakbola dari Segelas “Jägerbomb”

Malam itu saya mengingatnya dengan samar. Teman saya mengundang ke suatu tempat di Bandung Utara. “Hanya minum-minum biasa,” terangnya. Saya memang biasa minum, tapi untuk kebutuhan soaial saja. Istilah kekiniannya social-drinker atau hanya minum dengan keperluan tertentu. “Mas, pesan Jägerbomb ya!,” ujar teman saya ke samping telinga si pramusaji.

Kala itu sebagai mahasiswa dengan kantung cekak, saya jarang meminum minuman mahal, apalagi sampai open table di suatu klub. Jadi setidaknya, orang tua saya tak perlu cemas kalau anaknya terjerembap ke dalam jurang narkoba, toh beli miras yang proper saja tidak mampu.

Singkatnya kalau kalian tidak tahu, Jägerbomb adalah istilah yang diciptakan untuk menyebut jenis cocktail atau campuran minuman yang memabukkan dengan mencemplungkan satu shot Jägermeister ke dalam gelas yang berisi Red Bull.

Seketika, ingatan saya tangsung menuju kepada bagaimana Jägermeister dan juga Red Bull, sebenarnya punya andil yang signifikan dalam perkembangan sepakbola modern. Khususnya dalam hal komersialisasi sebuah kesebelasan sepakbola.

Kolaborasi Jägermeister dan Eintracht Braunsweig Melahirkan Sponsor Pertama di Sepakbola Jerman

Di Jerman (Barat dan Timur) kala itu sedang demam Piala Dunia. Tak terkecuali bagi bos-bos perusahaan yang hendak mendukung timnas Jerman Barat yang juga berlaga di sana. Günter Mast, seorang pengusaha produk minuman, tengah menjamu rekan-rekan bisnisnya untuk menonton laga sepakbola empat tahunan terakbar sedunia.

Mast yang terus mencari cara agar produk minumannya dapat dikenal banyak orang lantas terpikir untuk menyematkan logo dan nama perusahaannya, yakni Jägermeister, pada kostum tim sepakbola Jerman. Sayangnya, hal itu dirasa tidak mungkin dilakukan. Peraturan dari Federasi Sepakbola Jerman Barat melarang segala bentuk komersial pada kostum kesebelasan sepakbola.

Padahal tiga tahun sebelum Piala Dunia 1974 yang dihelat di Jerman Barat, Günter sedang gencar mempromosikan minuman berbahan dasar 56 jenis rempah tersebut ke dunia otomotif, terutama kepada tim balap asal Jerman seperti BMW dan Porsche. Jägermeister juga mensponsori balapan Formula-1, dan DTM (kejuaraan mobil touring internasional).

Günter heran, sepengetahuannya, klub-klub di negara sekitaran Jerman seperti Austria, Swiss, atau Denmark saat itu sudah menerapkan sponsor di kostum bagian dada. Namun di liga-liga yang levelnya lebih tinggi seperti Jerman Barat, Inggris, atau Italia, hal tersebut memang masih belum lumrah.

Tak jauh dari pabrik Jägermeister, ada sebuah klub yang beberapa tahun sebelumnya menjuarai Bundesliga. Nama klubnya: Eintrach Braunsweig. Di tahun 1967, Brauinsweig berhasil menggondol trofi Bundesliga, tapi saat itu klub tengah mengalami kesulitan keuangan.

Semesta seakan mendukung rencana Günter Mast. Singkatnya, Günter menawarkan semacam “bantuan” kepada petinggi Braunschweig dengan syarat: Logo mereka terpampang pada jersi kuning kebanggaan mereka. Kala itu Jägermeister memberikan jumlah yang terbilang besar, yakni 500 ribu Mark Jerman.

Mengadaptasi logo kota atau negara bagian ke logo sebuah klub adalah hal yang cukup umum di dunia sepakbola, tak terkecuali bagi klub Jerman seperti Eintracht Braunsweig. Karena nominal yang mereka sepakati, maka mereka melengserkan logo singa berdiri menjadi kepala rusa, logo khas dari Jägermeister. Alasannya, tentu saja karena federasi melarang segala bentuk sponsor di kaus tim. Jadi, “mengganti” logo klub mungkin saja mendapatkan pengecualian.

Lucunya, “logo baru” milik Braunschweig kala itu kelewat besar. Singkatnya, tak lazim dipakai sebagai logo klub. Kontan saat itu federasi sepakbola Jerman Barat (DFB) menolak pengajuan jersi baru milik Braunschweig.

Dan pada tahun 2016 silam, Jägermeister pernah menuntut salah satu klub basket NBA, Milwaukee Bucks lantaran mereka mengklaim logo Bucks terlalu mirip dengan logo perusahaan yang memiliki arti harfiah “Ahli Berburu” tersebut.

Sebuah kebetulan?

Red Bull dan Obsesinya Melekatkan Citra Baru di Dunia Olahraga

Berbeda dengan Jägermeister yang merupakan ide orisinil, Red Bull bisa dibilang “terinspirasi” minuman lain asal Thailand yakni Kratingdaeng. Sang pendiri, Dietrich Mateszich terinspirasi membuat produk yang sama setelah ia mencoba minuman tersebut saat ia tengah liburan ke Thailand. Dengan sedikit perubahan komposisi bahan yang ia anggap lebih cocok untuk lidah orang Eropa, pria yang kini menjadi orang terkaya ke-40 di dunia, mengubah merek Kratingdaeng yang secara harfiah berarti “banteng merah”, menjadi Red Bull yang hingga kini kita kenal.

Terobosan yang dilakukan Dietrich cukup ampuh. Popularitas Red Bull bahkan kini melampaui sang merek “asli”. Ditambah strategi Red Bull untuk membuat citra mereka sebagai brand minuman berenergi yang sporty banget.

Berbeda dengan produk minuman berenergi kebanyakan, Red Bull seolah menyeburkan dirinya terlampau dalam di dunia olahraga. Setelah namanya dikenal luas karena mensponsori puluhan tim balap mobil di berbagai ajang seperti F1, DTM, WRC, bahkan reli Dakar sejak era 90-an, Red Bull akhirnya membeli kepemilikan berbagai klub di berbagai cabang olahraga, diantaranya: sepakbola, hoki, balap Formula-1, balapan perahu layar, balap mobil NASCAR, hingga e-Sport.

Mungkin beberapa dari kalian tak asing lagi dengan kesebelasan sepakbola seperti RB Salzburg, RB Leipzig, New York RedBull, atau yang paling baru: Red Bull Brazil. Namun kesuksesan tak begitu saja diraih korporasi Austria ini. Salah satu klub yang mereka dirikan di benua Afrika, Red Bull Ghana, harus gulung tikar di 2014 lalu karena tidak mampu sustainable secara bisnis dan kompetitif secara prestasi.

Sama seperti kisah Jägermeister yang sempat berurusan dengan urusan hukum karena dianggap “menyalahi” aturan, Red Bull juga pernah berurusan dengan Federasi Sepakbola Jerman karena keukeuh menggunakan nama perusahaannya di klub SSV Markranstädt yang bermarkas di Leipzig. Akhirnya mereka mengalah dan hanya menggunakan nama “Rassenbalsport” Leipzig (yang sebenarnya terdengar tak lazim bagi orang Jerman sendiri) agar bisa tetap menggunakan inisial “RB” pada nama klub. Begitu pula dengan logo yang agak disamarkan agar tak bertentangan dengan regulasi yang diberikan federasi.

Intinya, banyak kemiripan sejarah diantara kedua korporasi ini. Namun, pada perjalanannya Jagermeister dan Red Bull cenderung berubah imejnya. Jäger, lebih sering diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan musik, konser, dan memiliki citra yang gahar dan indie banget. Padahal mereka mensponsori kompetisi liga hoki Amerika Serikat, NHL dalam beberapa tahun terakhir. Lain halnya dengan Red Bull yang meskipun juga kerapkali mensponsori acara festival musik, citra mereka di dunia olahraga sangatlah erat lantaran “menempelnya” nama Red Bull di klub-klub sepakbola milik mereka.

Ditambah lagi, kesuksesan RB Leipzig melaju hingga ke babak semifinal Liga Champions musim 2019/2020 dengan membawa sosok pelatih muda, Julian Nagelsmann. Red Bull bisa dibilang tengah mencapai puncak popularitas dalam hal brand image dan asosiasi produk.

***

Alkohol, gula, dan kafein yang terdapat pada produk-produk minuman bukanlah zat-zat yang baik bila dikonsumsi oleh tubuh secara berlebihan, apalagi oleh seorang atlet profesional. Kedua korporasi besar ini adalah bukti kalau citra yang ditempelkan kepada olahraga membuat kita-kita sebagai rakyat biasa memandang kalau memakai produk mereka akan terlihat lebih sporty.

Saya jadi ingat tulisan guru saya, Zen RS, tentang bagaimana tayangan olahraga di masa kini menjadi terlihat lebih sporty daripada berolahraga itu sendiri. Konsep hiperrealitas sebagaimana yang dicetuskan Jean Baudrillard membuat berbagai korporasi berlomba-lomba menghadirkannya di dalam permainan sepakbola.

Mengkhidmati dan menemukan unsur-unsur di dalam sepakbola terkadang sangatlah acak. Bahkan di saat-saat kita menemui momen yang sangat tidak sehat sekalipun. Dalam segelas Jägerbomb, ada Red Bull dan Jägermeister yang menjadi contoh bagaimana mereka berusaha keras untuk mengaplikasikan citra di dalam dunia olahraga.

Membuat semua penggemar tayangan olahraga merasa pada akhirnya, sama kuat dan “sporty“-nya dengan para bintang pujaan di lapangan dengan menenggak produk-produk mereka yang tidak sehat bila diminum berlebihan.