Mengapa Pindah ke Liga China adalah Pilihan yang Masuk Akal?

Pesepakbola memang punya hak penuh untuk menentukan ke mana ia berlabuh selanjutnya. Akan tetapi, terkadang kita punya stigma tertentu saat pemain tersebut memilih negara mana yang akan menjadi tujuan selanjutnya.

Misalnya, para pesepakbola yang pindah ke Indonesia seperti Michael Essien, Carlton Cole,  Peter Odemwingie, hingga Mohamed Sissoko, dianggap hanya akan sekali lewat. Soalnya, kompetisi sepakbola Indonesia masih belum konsisten, sehingga mereka tak akan berkarier lama.

Para pesepakbola yang pindah ke MLS mendapatkan stigma sebagai pemain yang sudah habis di Eropa, tapi masih enggan untuk pensiun. Meski gaji di Amerika tidak sebesar di Eropa, tapi MLS masih menjanjikan kompetisi yang lebih kompetitif.

Sementara itu, para pemain yang hijrah ke Cina, justru dianggap mata duitan. Mengapa? Tentu karena mereka datang gara-gara bau uang yang dibakar para investor klub kaya di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Padahal, pesepakbola juga punya hak untuk mendapatkan uang di manapun negara tempat mereka berkarier. Bukankah mereka main di Eropa juga salah satunya untuk meraup cuan?

Manukrishnan dari Sportskeeda menjabarkan alasan mengapa pindah ke China adalah langkah yang masuk akal buat para pesepakbola. Berikut kami sarikan alasannya.

Menjadi Superstar

Latar belakang sebagai pemain top Eropa sudah cukup rasanya untuk mendapatkan dukungan yang luar biasa. Apalagi, China adalah negara dengan populasi terbanyak di dunia.

Berdasarkan World Bank, jumlah penduduk China pada 2020 lalu mencapai 1,4 miliar juta jiwa! Kalau dirata-ratakan, hampir satu dari setiap lima orang di dunia adalah China.

Jumlah penduduk yang besar ini bisa dimaksimalkan untuk bejualan. Misalnya, andai 1 persen saja penduduk China mem-follow media sosial si pesepakbola top Eropa, maka akan menghasilkan angka 14 juta followers atau subscribers kalau platformnya Youtube. Ini akan menjadi modal yang bagus bagi pesepakbola top Eropa untuk berjualan di akun media sosialnya, atau menerima endorse dari brand ternama.

Manukrishnan menyebut kehadiran pesepakbola top Eropa juga memberikan timbal balik buat sepakbola China. Kehadiran Oscar, misalnya, akan dianggap sebagai keberhasilan China mendatangkan pemain kelas dunia, meski gajinya sama dengan yang mereka dapat, atau bahkan lebih besar dari sepakbola Eropa.

Pengaruh Globalisasi

Arus globalisasi membuat segala hal menjadi mungkin, termasuk perpindahan orang antarnegara. Dulu, para pesepakbola mengincar Eropa agar karier mereka mendapat perhatian, setidaknya dari pelatih timnas negara masing-masing. Namun, hal itu tak berlaku sekarang.

Roberto Martinez bisa memantau Axel Witsel di Tianjin Quanjian melalui internet. Pun dengan Gian Piero Ventura, yang masih memantau Graziano Pelle di Shandong Luneng.

Artinya, alasan untuk bisa dipantau sudah tak relevan lagi, mengingat teknologi yang semakin maju, membuat pelatih timnas tak perlu lagi menonton ke stadion untuk memantau para pemainnya.

Bukan cuma pelatih sebenarnya, tapi klub lain juga masih bisa memantau para pemain top Eropa di China. Misalnya, setelah semusim di Tianjin, Witsel kembali ke Dortmund. Didier Drogba dari Shanghai Shenhua pindah ke Galatasary lalu kembali ke Chelsea. Pun dengan Paulinho yang pindah dari Guangzhou Evergrande ke Barcelona. Mereka masih punya kualitas serta pesona untuk bisa kembali ke Eropa.

Berkarier Sambil Bertualang

Buat para pemain top Eropa, China adalah negara yang benar-benar berbeda. Bukan cuma dari bahasa, tapi juga budaya.

Para pemain yang punya adrenalin untuk menikmati tantangan, bisa menjadikan China sebagai tujuan selanjutnya. Sementara buat pemain di usia senja, pindah ke China bisa membuka khazanah baru dalam hidup mereka di negara yang benar-benar baru.

Uang

Uang adalah alasan utama mengapa pesepakbola tertarik pindah ke China. Apalagi, klub China punya investor yang bisa memberikan mereka gaji lebih tinggi ketimbang yang didapatkan di Eropa.

Buat pesepakbola yang menganggap sepakbola hanya bagian dari pekerjaan, pindah ke China adalah keputusan yang mudah. Mereka tak perlu menjadi idealis dengan melawan para pesepakbola terbaik di liga terbaik. Karena kalau uang yang jadi alasan, maka itu tidak ada artinya.

“Ini terdengar serakah pada awalnya, tapi yang harus diingat bahwa Premier League juga tak ada bedanya. Semua 20 tim di Premier League lbih kaya ketimbang tim papan tengah di liga Eropa. Inilah mengapa tim seperti Stoke City dan West Ham punya kekuatan finansial untuk merekrut pemain berkualitas seperti Xherdan Shaqiri dan Dimitri Payet. Buat Jerman, Spanyol, dan lainnya, Inggris hanyalah China yang lain sebelum kedatangan uang China,” tulis Manukrishnan.

Sumber: Sportskeeda