Mengapa Tidak Boleh Ada Pagar di Stadion?

Anda bakal segera tahu kalau sedang menonton Premier League saat melihat bahwa tak ada batas antara kursi penonton dengan lapangan. Anehnya, jarang terjadi kerusuhan di mana suporter masuk ke lapangan. Padahal, dengan jarak sedekat itu, harusnya penonton tinggal melompat dan melakukan kekerasan.

Namun, mengapa itu tidak terjadi? Mengapa pula stadion di Inggris tidak memasang pagar sebagai pembatas?

Pagar untuk Melindungi Siapa?

Hingga 1980-an, lazim bagi stadion-stadion di Inggris untuk memiliki pagar yang memisahkan lapangan dengan tribun. Tujuannya jelas, agar memberikan rasa aman bagi para pemain. Jangan sampai pertandingan terhenti gara-gara suporter masuk lapangan.

Ini adalah logika sederhana. Suporter yang datang ke stadion saat itu umumnya adalah kelas pekerja. Mereka menumpahkan emosi mereka dalam pertandingan. Kekerasan pun kerap terjadi. Untuk meminimalisasi terjadi kepada pemain dan perangkat pertandingan, maka pagar pun dipasang.

Akan tetapi logika tersebut berubah saat sejumlah tragedi terjadi pada 1980-an. Mulai dari Tragedi Heysel, kebakarannya Stadion Bradford City, dan puncaknya Tragedi Hillsborough pada 1989.

Pertanyaan muncul: Pagar itu untuk melindungi siapa?

Kemanusiaan Lebih Penting

Pagar dipasang untuk menyelamatkan pemain, ofisial, juga perangkat pertandingan. Akan tetapi jumlah mereka tidak sebanding dengan penonton di tribun. Saat ada sesuatu yang membahayakan di tribun, korbannya bisa jadi jauh lebih banyak dan dampaknya sangat mematikan.

Hal ini yang terjadi dalam Tragedi Hillsborough. Pemicunya adalah tribun yang sudah penuh, tapi suporter terus merangsek masuk. Mengapa? Karena tiket dijual dengan jumlah lebih banyak. Penonton pun tidak mendapatkan nomor kursi, karena memang itu tribun berdiri.

Hasilnya mengerikan karena penonton di tribun barat atau tribun belakang gawang tidak bisa kemana-mana. Mereka terjebak, tak bisa masuk ataupun keluar. Ditambah lagi, di tribun barat itu dipisahkan oleh dua pagar. Sehingga, ada satu sektor yang kelebihan kapasitas.

Upaya penyelamatan hadir terlambat. Pintu pagar berusaha dibuka tapi terkunci. Pertandingan bahkan sudah berjalan saat itu, yang kemudian dihentikan untuk dilakukan evakuasi. Usai pintu pagar dibuka, para penonton berhamburan ke lapangan. Kebanyakan dari mereka kehabisan nafas. Sayangnya 96 suporter wafat di sana.

Pagar Stadion adalah Simbol Kemunduran

Tragedi Hillsborough langsung ditangani dengan serius oleh Pemerintah Inggris. Setelah mendapatkan rekomendasi dalam bentuk “The Taylor Report”, sejumlah hal dilakukan termasuk mencopot semua pagar. Pemerintah Inggris juga mewajibkan semua klub divisi satu dan dua untuk memasang kursi dan menghapus tribun berdiri.

Sepakbola perlahan berubah. Penontonnya kini bervariatif dari berbagai kelas sosial. Menonton di stadion, bukan lagi bicara soal risiko mati, tapi murni untuk bersenang-senang dengan nyaman.

Untuk mengurangi risiko ini, klub membikin harga tiket meroket. Suporter kelas pekerja yang awalnya mampu membeli jadi harus berpikir ulang. Akhirnya, kian tergeserlah suporter kelas pekerja dengan suporter kelas atas dan juga turis. Kalaupun ada uang, sulit bagi mereka untuk mendapatkan akses pada tiket. Maka, mau tak mau mereka harus membeli tiket musiman untuk menonton seluruh laga kandang. Suporter Fulham harus membayar 60-an juta rupiah untuk tiket musiman. Itupun mesti antre untuk mendapatkannya.

Klub jelas diuntungkan, pertandingan jadi lebih aman. Namun, ada satu yang berubah, yakni atmosfer pertandingan. Mereka yang bernyanyi sepanjang laga adalah para suporter kelas pekerja. Pun yang membersamai klub saat main tandang. Ini yang membuat seringkali Old Trafford justru lebih terdengar nyanyian suporter tim tamu ketimbang fans Manchester United itu sendiri.