Mengapresiasi Atlet Cerebral Palsy yang Menginspirasi

Langit gerimis pada Minggu (23/10/2016) sore itu, tidak mampu menyamarkan air mata yang mengucur lebih deras ketimbang air hujan. Seorang ibu menangis sembari memeluk anaknya yang tak juga berhenti menitikkan air mata. Sementara itu, pengumuman dari pengeras suara, meyakinkan mereka kalau Jawa Barat gagal merengkuh gelar juara.

*

Pertandingan final cabang olahraga sepakbola cerebral palsy Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV Jawa Barat 2016 yang dihelat di Lapangan Progresif, Jalan Sukarno-Hatta, Bandung, menghadirkan aroma persaingan yang tercium begitu kuat. Bukan cuma benturan keras antarpemain di atas lapangan, tapi juga adu kuat dukungan di tribun penonton.

Lawan Jawa Barat (Jabar) pada sore itu adalah Kalimantan Selatan (Kalsel) yang bisa dibilang sulit untuk dikalahkan. Kalsel yang tampil dengan kostum kuning-kuning, memiliki para pemain yang punya kualitas individu. Bahkan, kiper mereka kerap maju merangsek ke area pertahanan Jabar untuk membantu serangan.

Gegap gempita suporter Kalimantan Selatan usai menang dari Jawa Barat.

Para pemain Kalsel kian bersemangat setelah mendapatkan dukungan dari 100-an suporter yang tak lain adalah atlet dan ofisial Kalsel dari cabang olahraga lain. Dilengkapi dengan tetabuhan, nyanyian mereka begitu nyaring terdengar dan hampir tak berhenti sepanjang laga.

“Saya dari cabor renang,” ucap pelatih renang Kalsel, Maki Mina, “Selain itu, datang pula dari atletik, goalball, tenis meja, sampai panahan. Semua cabang olahraga berkumpul di sini.”

Dukungan suporter Kalsel ternyata berimbas pada permainan tim Jabar. Mereka terlihat grogi terutama babak pertama yang ditunjukkan dengan melakukan kesalahan sendiri.

Pelatih tim sepakbola cerebral palsy Jawa Barat, Iwan Setiawan. Foto: Frasetya Vady Aditya.

“Babak pertama mungkin karena penonton lebih banyak dari pertandingan sebelumnya, mungkin mereka agak grogi. Pada babak kedua, permainan kita mulai berjalan baik,” jelas Pelatih Jabar, Iwan Setiawan S.Pd.

Iwan menuturkan bahwa pada 10 menit terakhir di babak kedua, semangat anak asuhnya mulai tumbuh kembali. Namun, timnya hanya mampu mencetak dua gol karena waktu pertandingan telah berakhir.

**

Cahyana bersama anak dan istri setelah pengalungan medali. Foto: Frasetya Vady Aditya.

Setelah wasit meniup tanda pertandingan telah usai, suasana kontras kembali terlihat. Para pemain Kalsel berlari dan berhamburan menuju tribun penonton, sementara pemain Jabar tertunduk lesu. Setelah kedua tim bersalaman, para pemain Kalsel langsung berfoto dengan wajah sumringah. Di sisi lain, para pemain Jabar langsung didatangi oleh keluarga mereka.

Saat para pemain Kalsel bersorak, di tempat lain para pemain Jabar menangis tersedu. Keluarga mereka turut hadir dan tak bisa menahan lagi kesedihannya.

“Sedih, sedih sekali,” kata Kartini, ibunda penyerang Jabar, Cahyana. “Kami dari Majalaya bersama keluarga. Sudah di sini sejak pukul satu siang.”

Selain sang ibunda, turut hadir pula kedua kakak Cahyana, serta istri dan anaknya. Menurut, sang istri, Siti, Cahyana sudah mengikuti pelatihan tim Jawa Barat sejak setelah Lebaran tahun ini. Konsekuensinya adalah ia mesti dikarantina dan tak bisa setiap hari bertemu keluarga.

Pekerjaan utama Cahyana adalah menjahit, sementara sepakbola merupakan hobi ayah satu anak ini sedari kecil. Ia kerap bermain futsal saat ada waktu senggang.

“Bangga bisa mewakili Jawa Barat. Saya sedih, tapi mau bagaimana lagi. Ini juga kan hasil dari usaha,” kata Siti.

Hampir semua pemain di tim Jawa Barat tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tangisan terdengar begitu nyaring, terutama setelah mereka bertemu dengan keluarga yang rata-rata datang dari jauh.

“Kebanyakan para pemain ini berasal dari luar Bandung, ada yang dari Garut sampai Majalengka,” terang Iwan.

Tim sepakbola cerebral palsy Jawa Barat ditargetkan untuk meraih gelar juara. Namun, dalam persiapannya masih terdapat sejumlah kekurangan seperti soal pemilihan atlet. Terlebih seseorang dengan cerebral palsy akan kesulitan, jangankan untuk bermain bola dengan benar, untuk sekadar melakukan kegiatan sehari-hari pun perlu perjuangan.

Dr. Uray Aldo Jufiar yang menjadi relawan di Peparnas XV Jawa barat.

Hal ini ditegaskan oleh dr. Uray Aldo Juviar yang bertugas sebagai relawan medis untuk cabor sepakbola cerebral palsy. Dokter jaga IGD Hermina Arcamanik ini mengaku amat takjub dengan perjuangan para atlet.

“Mereka tampaknya berlatih dengan baik. Terlihat hampir tidak ada perbedaan dengan atlet biasa. Ini luar biasa. Untuk kesehariannya sendiri pasti sulit. Ini mereka untuk kegiatan olahraga yang seberat ini yang full body contact seperti ini, pasti latihannya tidak sembarangan,” kata dr. Uray.

Menurut dokter 29 tahun ini, seseorang dengan cerebral palsy akan kesulitan dalam kegiatan motoris seperti menggerakan tangan dan kaki. Hal ini pula yang membuat mereka menjadi rentan akan cedera terutama karena berbenturan maupun terjatuh.

“Mereka punya keterbatasan, salah satunya kelemahan motoris. Sehingga mereka lari tidak seimbang. Juga kalau jatuh cenderung tidak bisa menahan,” jelas dr. Uray.

Mendengar penjelasan dr. Uray, wajar rasanya kalau rasa sedih itu mesti dibuang jauh-jauh. Secara kasat mata, penampilan mereka di atas lapangan memang tidak menunjukkan kalau mereka mesti menjalani hidup dengan begitu berat. Mampu menendang bola, mengumpan, menangkap, sampai mencetak gol, adalah satu hal yang begitu luar biasa dilakukan oleh para pemain.

Hal ini sebenarnya telah dikemukakan oleh Iwan sebagai pelatih bahwa timnya telah mengingatkan kepada para pemain untuk tak terlalu jemawa saat menang, dan harus memahami bagaimana rasanya saat kalah.

Namun, tetap saja, kekalahan tetaplah kekalahan. Air mata yang menetes mustahil untuk dikembalikan. Pada akhirnya, di suatu masa, air mata itu akan terlupakan dan tergantikan, bukan oleh kesedihan tetapi oleh kebanggaan; Seperti halnya pelangi setelah turun hujan.

Catatan redaksi: Tulisan ini terbit pertama kali untuk media centre Peparnas XV.