Mengenang Kembali The La Grande Internazionale Milano

Inter Milan saat menjadi juara Liga Champions 2009/2010. (Foto: Goal.com)

22 Mei 2010 menjadi tanggal spesial bagi Inter Milan. Ketika itu, Javier Zanetti mengangkat trofi Liga Champions ketiga untuk LA Beneamata. Mata Zanetti saat itu memancarkan sebuah kebanggaan sekaligus rasa tidak percaya karena selama 45 tahun trofi tersebut tidak bisa digapai oleh Inter.

Trofi itu juga menjadi penentu dari betapa sempurnanya Internazionale Milano sepanjang musim kompetisi 2009/2010. Mereka membawa pulang tiga piala. Sebelumnya, dua piala domestik sudah mereka angkat terlebih dahulu.

Musim 2019/2020 menandakan kalau treble winners Inter sudah memasuki satu dekade. Sebuah momen yang membuat haru pendukung Inter di seluruh dunia menangis haru termasuk saya. Ketika itu, Inter menjadi tim Italia pertama dan satu-satunya sejauh ini yang bisa meraih tiga gelar dalam satu musim. Diawali dari trofi Coppa Italia, yang diikuti Scudetto ke-18, lalu ditutup dengan pemandangan Javier Zanetti mengangkat Si Kuping Besar di kota Madrid.

Berkat Jose Mourinho

Rasa tidak puas Massimo Moratti karena tidak kunjung mendapatkan trofi Liga Champions memaksanya untuk mengambil keputusan dengan memecat Roberto Mancini beberapa hari setelah Inter merengkuh Scudetto ketiga kalinya secara beruntun pada musim 2007/2008. Tempatnya kemudian diisi oleh Jose Mourinho yang sudah lama menganggur setelah dipecat dari Chelsea. Mou dikontrak tiga tahun pada saat itu.

“Saya datang ke klub yang spesial. Klub yang saya rasa semua pemain hebat ingin bermain di dalamnya karena semua presiden ingin menjual pemainnya ke Inter. Saya bahagia di sini. Jose Mourinho adalah pelatih dari klub spesial,” kata Mourinho kepada situs resmi Inter saat itu.

Masuknya Mourinho tidak hanya mengubah struktur tim pelatih Inter, namun juga mengubah suasana tim saat itu. Javier Zanetti langsung jatuh cinta ketika dilatih oleh pria yang sekarang menjadi manajer Tottenham Hotspur tersebut.

Musim pertama Inter bersama Mourinho sebenarnya cukup baik. Inter menang Piala Super Italia dan kembali meraih gelar liga untuk keempat kalinya dengan selisih 10 poin. Sayangnya, hal itu belum memuaskan Moratti dan para penggemarnya. Inter tetap tidak berdaya pada ajang Eropa. Mereka tampil kurang meyakinkan. Inter kalah dari Panathinaikos di kandang dan ditahan seri tim gurem bernama Anorthosis Famagusta. Tiket 16 besar masih bisa diraih, namun langkah mereka langsung terhenti di tangan Manchester United.

Jalan yang Terjal

Perombakan besar-besaran dilakukan Inter pada musim berikutnya. Nama-nama yang sebelumnya menjadi pemain utama macam Adriano, Julio Cruz, dan Hernan Crespo dilepas. Namun tidak ada yang lebih mengejutkan ketika Inter mengumumkan melepas Zlatan Ibrahimovic dan menggantinya dengan Samuel Eto’o.

Beberapa nama baru kemudian datang. Inter mendatangkan Diego Milito dan Thiago Motta, dua pemain yang menjadi andalan Genoa pada musim sebelumnya. Memperkuat lini belakang, Inter mendatangkan Lucio. Pembelian musim panas ditutup dengan kehadiran Wesley Sneijder yang tidak bermain baik di Real Madrid.

Pada awalnya, pembelian jor-joran Inter saat itu belum membuahkan hasil. Inter kalah dari Lazio pada Piala Super Italia dan ditahan imbang tim promosi, Bari. Namun bukan Mourinho namanya kalau tidak bisa mengubah tim yang biasa menjadi luar biasa. Dengan pemain yang mayoritas tak lagi muda, Inter Milan terus melaju dan konsisten meraih kemenangan sejak pekan kedua. Mereka hanya kehilangan 12 poin dari 57 poin yang bisa diraih dalam 19 laga pertama.

Memasuki paruh kedua, Inter justru mulai goyah. Pada rentang 14 Februari hingga 20 Maret, mereka hanya meraih tujuh poin dari enam laga Serie A. Kritikan mulai berdatangan dan status pemuncak klasemen bahkan sempat diambil alih AS Roma.

Betapa goyahnya Inter juga terlihat di kompetisi Eropa. Tiga laga awal fase grup Liga Champions berakhir imbang. Mereka bahkan susah payah meraih tiga poin di kandang Dynamo Kyiv. Kemenangan melawan Rubin Kazan hanya membuat Inter mengakhiri babak grup sebagai runner-up. Bahkan pada laga 16 besar mereka kecolongan gol tandang oleh Chelsea sebelum akhirnya bisa menang dengan agregat 3-1.

Meski begitu, langkah mereka di Coppa Italia sangat meyakinkan. Sejak dimulainya turnamen pada Desember 2009, mereka hanya satu kali kebobolan dan menyingkirkan Juventus serta Fiorentina.

Inter mulai tidak bisa dihentikan ketika memasuki bulan April. Hingga pekan terakhir, Inter memenangkan enam dari tujuh laga terakhir di Serie A. Mereka ditolong oleh kekalahan mengejutkan AS Roma dari Sampdoria di Olimpico yang membuat posisi pertama kembali menjadi milik mereka. Kemenangan agregat 2-0 atas Fiorentina juga membawa mereka ke final Coppa Italia.

Butuh perjuangan dan kerja keras ekstra untuk membuat Inter meraih tiga gelar pada saat itu. Pada semifinal Liga Champions, Inter berjumpa dengan juara bertahan Barcelona. Bermain di Camp Nou, Inter harus mati-matian menjaga agregat 3-1 mereka dengan bermain 10 melawan 11 setelah Thiago Motta dikartu merah karena Sergio Busquets. Namun pertahanan gerendel Inter saat itu membuat Barca hanya bisa membuat satu gol yang disambut dengan aksi Jose Mourinho berlari sambil mengangkat jarinya.

Ditentukan Diego Milito

Kemenangan krusial melawan Lazio di Olimpico pada awal Mei meningkatkan kepercayaan diri Inter yang siap kembali ke tempat yang sama untuk menjemput trofi pertama mereka musim itu yaitu Coppa Italia.

Final mempertemukan mereka dengan penguasai Olimpico lainnya, AS Roma. Laga ini berjalan sengit. Namun, kedua kesebelasan tidak bisa memecah kebuntuan. Beruntung mereka memiliki Diego Milito yang menjadi pencetak gol tunggal kemenangan Inter.

Sebelas hari kemudian, Inter kesulitan bermain di kandang Siena. Lagi-lagi seorang Diego Milito muncul menjadi pahlawan melalui gol tunggalnya pada menit ke-57. Dua gelar domestik berhasil diraih hanya dalam tempo 11 hari.

Inter sebenarnya tidak terlalu diunggulkan di Eropa. Sang lawan, Bayern Munich, tampil jauh lebih meyakinkan pada fase gugur. Namun ketika peluit Howard Webb ditiup, keadaan berbalik. Bayern tidak berkutik dan terkunci oleh solidnya lini belakang Inter yang diisi oleh Maicon, Walter Samuel, Lucio, dan Christian Chivu. Keempatnya juga dilindungi oleh Javier Zanetti dan Esteban Cambiasso.

Inter benar-benar beruntung memiliki Diego Milito. Penyerang Argentina ini kembali menjadi pahlawan berkat dua golnya ke gawang Bayern. Inter memastikan diri menjadi tim Italia pertama yang bisa menyandingkan tiga gelar prestisius selama satu musim.

“Orang hanya bisa menyebut kami jago kandang dan gelar ini membuktikan kalau mereka semua salah,” kata Javier Zanetti.

Sayangnya, gelar Liga Champions tersebut menjadi sumbangsih terakhir Mourinho bagi Inter. Ia memilih untuk tidak menyelesaikan tiga musim kontraknya dan memutuskan untuk mencari tantangan baru bersama Real Madrid. Tiga gelar dalam satu musim menegaskan kalau tugasnya membuat Inter menjadi klub hebat saat itu sudah berhasil. Kehilangan sosok Mourinho saat itu terasa sangat menyedihkan. Marco Materazzi bahkan tidak bisa menahan tangis ketika berpisah dengan Mourinho.

Namun, Inter sulit menjaga kebesaran nama mereka. Semakin tua para penggawa Inter peninggalan Mourinho, maka regenerasi mau tidak mau harus terus dilakukan. Imbasnya, prestasi mereka menjadi tidak stabil hingga sekarang. Inter tertatih dan mereka hanya bisa menonton keperkasaan Juventus, dan sekarang mulai melihat Lazio dan Napoli yang mulai mengangkat trofi Coppa Italia.

Bersama Antonio Conte, Inter sedang membentuk La Grande Inter edisi ketiga. Mereka kembali mengumpulkan pemain-pemain hebat yang sedang dalam usia emas seperti Romelu Lukaku dan Christian Eriksen, yang kemudian dikombinasikan dengan bintang muda seperti Nicolo Barella, Stefano Sensi, dan Christiano Biraghi. Ini semua dilakukan semata-mata untuk bisa membawa mereka kembali ke masa kejayaan seperti era Jose Mourinho dulu.