Mengenang Kunjungan Mengerikan United ke Neraka

Foto: Sportbible

Lazimnya, setan sudah ditakdirkan untuk bertempat tinggal di neraka. Meski begitu, ada setan yang justru merasa ngeri ketika mereka berkunjung ke neraka. Setan tersebut adalah Setan Merah alias Manchester United.

3 November 1993 Iblis Merah mengadakan away days ke Istanbul. Perjalanan ini adalah yang pertama bagi United ke negara peraih juara tiga di Piala Dunia 2002 tersebut. Tak disangka perjalanan tersebut meninggalkan kesan. Kesan yang akan terus tertanam dalam diri Manchester United dan para pemainnya.

Liga Champions ketika itu baru berusia satu tahun. Dan kompetisi masih diperuntukkan bagi kesebelasan yang mengakhiri musim sebelumnya sebagai juara liga. Ketika itu tidak ada yang namanya fase grup. Formatnya langsung menggunakan sistem gugur sebelum partai final.

Setelah mengalahkan Budapest Honved di babak pertama, skuad arahan Fergie diharuskan berjumpa Galatasaray di fase selanjutnya. Pada leg pertama di teater impian, Eric Cantona dkk., yang sudah unggul 2-0 justru ditahan imbang 3-3. Leg kedua jelas membawa keuntungan bagi tim tersukses di Turki tersebut.

United yang tiba di Turki pada malam hari langsung disambut beberapa fan di bandara. Akan tetapi yang memberikan sambutan adalah suporter tuan rumah. Sejak di bandara mereka sudah bernyanyi, berteriak, mengumpat ke arah semua pemain sambil membentangkan kertas bertuliskan “Selamat Datang Di Neraka”. Sementara yang lain meneriakkan “F*** You Manchester.”

Tidak hanya di bandara, mereka juga mengikuti rombongan United hingga ke hotel tempat tim menginap. Sampai larut malam, teriakan demi teriakan terus dikeluarkan hanya untuk membuat Sir Alex tidak bisa tidur. Bahkan menurut Inside United, para pemain United sempat diganggu melalui telepon hotel yang diambil alih para penggemar Galatasaray.

“Salah satu tempat paling menakutkan yang pernah saya datangi. Atmosfernya bukan main. Para fan melakukan segalanya untuk mengganggu anda. Bus anda akan dipukul-pukul ketika memasuki stadion. Mereka benar-benar mengintimidasi,” ujar Bryan Robson yang ketika itu memasuki musim terakhirnya.

Gary Pallister, yang tetap ikut ke Turki meski sedang cedera, langsung merasakan sesuatu yang buruk akan menimpa timnya. Ketika masuk ke hotel Bosphorus, tempat mereka menginap, ada bellboy yang mengusap jarinya ke lehernya seperti isyarat akan ada sebuah pembunuhan. Sejak saat itu, ia sadar kalau kunjungan rutinnya ke Anfield masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ini.

Andy Mitten, penulis sekaligus penggemar Manchester United juga mengungkapkan pengalamannya ketika ikut rombongan fan United ke Istanbul. Ia menceritakan bagaimana teman-temannya sesama fans United berkelahi dengan suporter tuan rumah.

“Sekelompok fan Galatasaray mengepung bar tempat kami berkumpul pada malam sebelum laga. Mereka mengejek kami dengan makian sebelum para polisi datang dan menggiring kami ke dalam hotel. Orang-orang berada di lantai paling atas melempari kami dengan beberapa barang. Saya terkena lemparan semangka yang ketika itu rasanya seperti terkena batu bata.”

“Ketika di hotel, kami pun masih diserang. Jendela kami ditimpuk batu serta botol-botol kaca. Jendela kamar saya di lantai empat juga dilempari batu bata. Teman-teman kami dibawah masih berkelahi namun tidak ada upaya pencegahan dari kepolisian.”

“Kami datang kesini bukan untuk cari masalah, tapi jika mereka masuk ke dalam hotel maka kami akan melawan. Ada banyak wanita dan para pensiunan di hotel dan saya takut jika mereka diserang,” ujarnya kepada FourFourTwo.

Menurut Mitten, perkelahian tersebut selesai dalam 40 menit. Ia menuturkan bahwa beberapa temannya ketika itu banyak yang menutupi kepalanya karena berdarah. Lucunya ada salah satu penggemar United bertanya, “Seru tidak perkelahian tadi?”

Akan tetapi apa yang dialami Mitten dan rekannya yang lain tidak cukup sampai disitu saja. Penulis buku Man Utd Full Story ini mengungkapkan bagaimana polisi kemudian mendatangi hotel tempat supporter Iblis Merah menginap. Akan tetapi bukannya memberikan pengamanan yang ketat, para polisi tersebut justru menahan 164 suporter United dan mendeportasi mereka. Termasuk Mitten diantaranya.

“Polisi kemudian datang dan mengatakan bahwa kami akan dipindah ke hotel lain. Tapi kenyataannya kami disebar ke 10 kantor polisi berbeda. Disana kami disuruh tes urine, menandatangani perjanjian dalam bahasa Turki, dikurung 18 jam tanpa makan dan minum sebelum akhirnya dideportasi. Saya tahu bahwa beberapa di antara kami dideportasi karena ada pihak dari konsulat Inggris membawa tempat sampah berisi paspor.”

Apa yang didapatkan United dari supporter Galatasaray memberikan efek psikologis yang besar ketika pertandingan. Penggemar Galatasaray membuat United tidak nyaman dengan tabuhan drum, nyanyian nyaring suporter, asap merah dari flare, serta permainan keras dari tuan rumah.

United tidak bermain baik dan hanya bermain imbang 0-0 sekaligus membuat mereka tersingkir karena gol tandang. Para pemain terus mendapat perlakuan buruk. Steve Bruce menderita luka di kepala karena lemparan batu saat berada di bus. Robson bahkan menerima enam jahitan di siku.

Eric Cantona menerima beberapa pukulan dari polisi yang mengawalnya ketika keluar lapangan karena dikartu merah. Dalam buku autobiografinya. Saat itu ada polisi yang memukulnya dengan membawa pentungan. Ia merasa kalau seolah-olah dirinya seperti narapidana yang tidak melakukan kejahatan. Melihat timnya dan ia mendapat perlakuan kasar, Eric mencak-mencak di ruang ganti dan siap membuat perhitungan.

“Eric itu pria yang besar dan kuat. Dia saat itu serius ingin membunuh polisi itu. Butuh banyak orang termasuk manajer dan Brian Kidd untuk menahannya,” kata Roy Keane.

United saat itu berisi orang-orang yang memiliki temperamen tinggi. Sebut saja Cantona, Schmeichel, hingga Roy Keane. Namun ketika berkunjung ke Istanbul saat itu, tidak ada satu pun yang berani melawan selain Cantona. Bahkan Keane pun tidak berani untuk beradu argumen dengan pendukung Galatasaray tersebut.

“Biasanya saya ikut maju kalau ada perkelahian. Tapi untuk saat itu, saya tidak siap. Orang Turki saat itu jumlahnya sangat banyak,” katanya.

Bahkan sebisa mungkin, Sir Alex Ferguson menghindari timnya untuk berada satu grup atau bertemu dengan kesebelasan asal Turki.