Dunia lebih mengenal nama Ferenc Puskas ketika menyebut siapa pemain sepakbola terhebat yang pernah dimiliki timnas Hungaria. Bisa dikatakan kalau Puskas adalah ikon dari kehebatan Magical Magyars yang terkenal pada era-50an sehingga membuat nama lainnya tertutup oleh kehebatan mantan pemain Real Madrid tersebut. Salah satunya adalah Sandor Kocsis.
Nama Kocsis tampak tidak setenar Puskas. Namun, kontribusinya bersama tim nasional Hungaria juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia adalah teman duet Puskas di lini depan pada formasi 2-3-3-2 yang terkenal itu. Ia bahkan melakukan apa yang Puskas tidak bisa lakukan yaitu menjadi top skor Piala Dunia. Ketika mereka pulang dengan status runner-up pada Piala Dunia 1954, Kocsis menjadi top skor turnamen dengan raihan 11 gol. Tidak hanya itu, Kocsis mampu membuat 75 gol hanya dari 68 pertandingan. Puskas mencetak 84 gol tapi ia butuh 85 pertandingan. Secara rataan gol, Kocsis masih yang terbaik.
“Puskas dianggap lebih menentukan sebuah era, tetapi penyerang mereka saat itu adalah Kocsis. Salah satu penyerang hebat di dunia. Saya tidak berpikir kalau Kocsis memberi dampak besar pada sepakbola. Dia memang tidak seperti Puskas karena memilih untuk tidak kembali ke kampung halamannya. Kepribadiannya juga cukup pendiam dan sedikit tertutup,” kata Gergely Marosi, pengamat sepakbola Hungaria.
Puskas terkenal karena kemampuan bermainnya yang mementingkan teknik. Permainan indah dengan skill individu menjadi andalan Puskas. Namun Kocsis adalah target man yang akan menyelesaikan peluang dari lini kedua.
Kelebihan Kocsis terletak pada tinggi badannya. Posturnya yang menjulang membuat ia unggul dalam duel-duel udara. The Man with the Golden Head adalah julukannya. Tiap kali Kocsis ada di kotak penalti, maka bisa dipastikan lawan akan ketar-ketir karena dia cukup ahli dalam menggunakan kepalanya.
“Leher Kocsis begitu kuat. Efeknya bisa menghancurkan lawan. Dia mampu mengalahkan semua orang dengan sundulannya. Saat di udara, dia akan berhenti sejenak di puncak lompatan untuk mengirim sundulan kepalanya ke gawang lawan.”
“Kakek saya pernah bilang kalau teknik sundulan Kocsis itu yang paling bersih yang pernah dia saksikan. Dikombinasikan dengan lompatan yang hebat dan caranya mengarahkan bola yang kuat ke sisi bawah yang membuat penjaga gawang kesulitan untuk menjangkaunya,” katanya menambahkan.
Kocsis mengawali karier bersama Kobanyai sebelum hengkang ke Ferencvaros pada 1946 dan menjadi juara liga tiga tahun kemudian. Ketika menjadi bagian dari Tentara Nasional Hungaria, ia memutuskan hengkang ke Honved. Di sana kariernya semakin cemerlang dengan menjadi juara liga dan beberapa kali menjadi pencetak gol terbanyak. 217 gol ia cetak selama tujuh tahun memperkuat Honved. Sama seperti di timnas, Kocsis juga berduet dengan Puskas ketika di Honved.
Terjadinya revolusi Hungaria membuat beberapa penduduk harus terusir dari kampung halamannya. Saat itu, masyarakan Hungaria menolak pemerintahan Republik Rakyat Hongaria dan intervensi kebijakan negara oleh Uni Soviet. Hal ini tidak luput menimpa para pemain sepakbola termasuk Kocsis. Ia sampai harus bermain untuk tim Swiss, Young Fellow Zurich akibat peristiwa tersebut.
Setelah revolusi berakhir, Kocsis memilih untuk tidak pulang. Ia dan Puskas bahkan kembali dipertemukan ketika pada 1958 mereka sama-sama memilih Spanyol sebagai tempat melanjutkan karier. Yang membedakan adalah, Puskas memilih Real Madrid sedangkan Kocsis membela Barcelona.
Memperkuat Blaugrana, Kocsis tampil apik dengan langsung mencetak gol pada debut ketika mereka menang 4-1 melawan Real Betis. Ia juga langsung membawa Barcelona menjadi juara liga Spanyol dua kali berturut-turut. Sayangnya, ia tidak bisa membawa gelar Piala Champions Eropa. Pada 1961, Barcelona kalah dari Benfica pada laga puncak. Satu-satunya gelar Eropa yang ia raih adalah Piala Fairs pada 1960 ketika mengalahkan Birmingham City.
Inilah yang membuat Kocsis tampak tidak terlalu mentereng jika dibandingkan dengan Puskas. Di saat yang bersamaan, rekan setimnya tersebut memberikan tiga gelar Piala Champions dan satu gelar Piala Interkontinental. Jumlah ini belum ditambah dengan lima gelar Liga Spanyol. Sebaliknya, Kocsis hanya punya sembilan gelar sepanjang karier dengan lima gelar ia raih bersama Barcelona.
Kocsis sendiri juga memilih untuk menetap di Barcelona hingga akhir hidupnya. Berbeda dengan Puskas yang memutuskan untuk pulang setelah bertahun-tahun tinggal di negeri orang. Kocsis pensiun pada usia 37 tahun dan sempat menjadi pelatih. Pada saat menjadi pelatih itulah, ia terkena Leukemia dan kanker perut. Hingga pada 22 Juli 1979, Kocsis jatuh dari lantai empat di sebuah rumah sakit di Barcelona. Banyak yang menganggap kalau Kocsis bunuh diri meski kemudian tidak sedikit yang menyebut kalau Kocsis kecelakaan. 33 tahun kemudian, jenazah Kocsis dipindahkan ke kampung halamannya di Hungaria.
Tulisan ini untuk mengenang Sandor Kocsis yang lahir pada 21 September lalu.