Menggadaikan Medali Juara demi Narkoba

Kita mungkin sering mendengar ada atlet yang sampai harus menggadaikan medalinya untuk menyambung hidup. Hal serupa juga dilakukan Flavio Donizete yang menjual medali juara Piala Dunia Antarklub.

Sao Paulo yang keluar sebagai juara Copa Libertadores, berhasil melaju ke final dan menghadapi Liverpool, yang merupakan juara Liga Champions 2004/2005. Di final tersebut, Sao Paulo menang 1-0 lewat satu gol Mineiro.

Untuk mengarungi Piala Dunia Antarklub 2005, pelatih Sao Paulo, Paulo Autuori, membawa 23 pemain. Salah satunya adalah Flavio Donizete yang mengenakan nomor punggung 18 dan berposisi sebagai bek. Meski dibawa, tapi ia tak dimainkan di pertandingan final tersebut.

Saat itu, Donizete masih berusia 21 tahun. Ia adalah alumnus akademi Sao Paulo. Di musim keduanya, ia berada dalam skuad yang memenangi banyak gelar, dan termasuk musim paling sukses dalam sejarah klub yang bermarkas di Morumbi tersebut.

Dengan usianya yang masih muda, ia minim pengalaman. Perannya cukup tak terlihat di skuad Sao Paulo yang menjuarai Paulista State Championship serta Copa Libertadores tersebut. Pemain yang berposisi sebagai bek tengah tersebut hanya bermain di beberapa pertandingan. Itu pun karena sang bek utama, Leandro Bonfim cedera.

Meski demikian, ia tetap mendapatkan medali juara Piala Dunia Antarklub sebagai bentuk penghargaan. Akan tetapi, ia memutuskan untuk menjual medali tersebut pada 2010 silam.

“Aku menjualnya untuk membeli narkoba. Aku menjualnya senilai tujuh ribu reais (sekitar 50 juta rupiah). Saat aku menjualnya, aku mendapatkan uang, dan aku menghabiskan hampir semuanya buat kokain,” kata Donizete.

Ia menghabiskan 1000 reais pertamanya buat kokain. Donizete menghabiskan sebegitu banyak kokain hanya dalam waktu dua hari.

“Semakin banyak uang yang kumiliki, semakin banyak keinginanku pada narkoba,” ucap Donizete.

Gara-gara kokain pula, Donizete kehilangan segalanya. Awalnya, ia hanya menggunakannya dalam jumlah sedikit. Sampai akhirnya, kokain berubah menjadi barang paling penting dalam hidupnya.

“Aku mulai kehilangan segala yang kumiliki. Semua uang yang kutabung, aku pakai buat membeli narkoba. Aku tak membiarkan diriku tanpa narkoba. Pagi, siang, dan malam, aku terus pakai kokain,” ucap pemain kelahiran 16 Januari 1984 ini.

Ketika itu, Donizete menghabiskan semua uangnya di rekening, tabungannya. Ia kehilangan semuanya, kecuali istrinya, anak perempuannya, dan keluarganya, yang hingga saat ini masih bersamanya.

Sejatinya, setelah final Piala Dunia Antarklub tersebut, Donizete melihat karier yang cerah. Ia dipinjamkan ke sejumlah klub seperti Portuguesa, America, dan Nacional. Saat kontraknya berakhir pada 2009, Sao Paulo tak memperpanjangnya.

Donizete merasa kecewa. Ia pun memilih untuk beristirahat dan menjauh dari rutinitas sepakbolanya, sembari memikirkan masa depannya. Namun cara “istirahat” Donizete tidak diduga: ia memilih berpesta bersama teman-temannya. “Istirahat” ini pun berlangsung hingga enam tahun, sebelum ia kembali ke sepakbola dengan memperkuat Taboao da Serra.

“[Teman-temanku] Akan bilang, ‘isaplah!’. Aku pun mengisap (narkoba) dan di momen yang sama, efek minuman langsung hilang. Setiap hari aku bilang, ‘Hari ini aku bisa minum sebanyak yang kumau karena saat aku pakai kokain, efeknya langsung hilang,” kata Donizete.

“Aku tidak pernah di rumah. Kehidupanku hanyalah untuk pesta dan minum-minum. Ada kalanya aku tidak menghabiskan seharipun tanpa pakai kokain. Aku pun menjadi gemuk karena minuman keras. Aku mengalami cedera lutut dan aku tak bisa berlari. Jadi aku bilang ‘itu saja’. Aku berhenti main bola untuk selamanya.”

Donizete akhirnya berhenti pada akhir 2018 lalu. Ia kini tak lagi pakai narkoba dan bekerja sebagai tukang kebun di Americana, bagian dari wilayah Sao Paulo. Ia sendiri masih punya mimpi untuk kembali bermain sebagai pesepakbola profesional. Namun, waktu yang ia punya, ia habiskan dengan percuma.

“Aku menjalani 13 tahun ketergantungan pada kokain. Penyakit ini lambat, progresif, tak bisa disembuhkan, dan fatal. Aku hampir mati.”

“Penyesalan terbesarku adalah mencoba kokain. Itu menghancurkanku,” kata Donizete.

Sumber: Goal.com