Sepakbola tak lagi sama sejak adanya Aturan Bosman. Pemain kini bebas pergi kalau kontraknya habis. Terdengar sangat biasa, bukan? Karena sebelum era Aturan Bosman, pemain bahkan belum tentu bisa pindah meski kontraknya sudah selesai. Tidak semudah itu.
Segala hal ini tentu menguntungkan pemain. Lalu, muncul satu hal lain lagi yang memudahkan hidup pemain: agen.
Agen kerap disalahkan dalam inflasi harga pemain. Salah satu pemicunya adalah sang legenda, Mino Raiola. Sir Alex Ferguson sampai benci betul berhubungan dengan pria kelahiran Italia tersebut. Namun, di sepakbola modern, agen adalah bagian integral dari sang pemain itu sendiri. Sepakbola hampir sulit melepaskan diri dari kehadiran seorang agen; dan ini adalah cerita tentang seorang Mino Raiola.
Agen Punya Kontrol Besar
Pada awal 2000-an, banyak yang sudah memprediksi kalau agen yang akan mengambil alih sepakbola. Di saat yang sama, uang yang mengalir di sepakbola kian deras dan tak bisa dibendung. Saat pemain punya cukup uang, ia akan mempekerjakan pihak ketiga yang membantunya di luar sepakbola, yang biasanya ditangani oleh agen.
Dalam proses transfer pemain, agen bukan cuma mendapatkan persenan dari pemain, tapi juga dari biaya transfer. Menurut Mirror, Raiola rata-rata mendapatkan hampir 800 ribu paun atau 15 miliar rupiah dari setiap transfer. Capaian tertingginya adalah 24 juta paun waktu memulangkan Paul Pogba dari Juventus ke Manchester United.
Besarnya biaya ini sudah diprediksi dari awal. Pada 2001, politisi Inggris meminta pemerintah untuk menginvestigasi soal agen ini. Walau demikian, peran agen jadi makin penting. Apalagi, mereka mendapatkan uang yang tak sedikit.
Tentu, tidak ada yang salah dengan agen. Mereka justru membantu pemain mulai dari kontrak yang rumit, sampai urusan sehari-hari. Dalam hal Raiola, tentu ia tak mengerjakannya sendiri ke setiap pemain. Namun, mengapa ia yang terkenal? Tentu karena ia mewakili para pemain yang selain berbakat, juga disukai media: dari Erling Haaland, Zlatan Ibrahimovic, sampai Paul Pogba.
Yang dilarang oleh Pemerintah Inggris, dan juga FIFA, adalah praktik kepemilikan oleh pihak ketiga. Artinya, pemain harus dimiliki oleh klub, bukan oleh agensi pemain atau si agen itu sendiri. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Carlos Tevez yang ternyata dimiliki oleh Kia Joorabchian, agen dari Media Sport Investment.
Alasan Pemain Butuh Agen
Tujuan awalnya adalah soal kontrak. Pesepakbola, umumnya tidak mendapatkan gelar sarjana hukum. Di sisi lain, kontrak adalah hukum yang harus ditaati. Sialnya, di klub besar, kontrak jumlahnya bukan satu lembar tapi berlembar-lembar. Pemain bisa tersesat di dalamnya dan melakukan kesalahan yang bisa membuatnya menyesal.
Pada momen inilah ia membutuhkan bantuan. Agen akan membaca kontrak sekaligus melakukan negosiasi. Karena lagi-lagi, tidak semua pemain adalah ekstrovert yang pandai menawar.
Sementara salah satu kemampuan yang harus dimiliki agen adalah bisa bernegosiasi. Ini penting untuknya dan kliennya. Klien akan mendapatkan gaji yang diinginkan, ia pun akan mendapatkan persenan dari sana.
Raiola dan Pesepakbola
Raiola pernah melakukan ini bersama Zlatan Ibrahimovic dalam kepindahannya ke Juventus dan Barcelona. Saat pindah ke Juve, masalah Raiola adalah Luciano Moggi. Ia sebal betul padanya bahkan mendeklarasikan diri sebagai “musuh Moggi”.
Namun, karena harus menjual kliennya, Raiola memutar otak. Moggi merasa kalau Juventus tak butuh striker baru karena punya David Trezeguet. Oleh karena itu, Raiola mengundang Fabio Capello yang memang menyukai Zlatan. Lalu, Capello sendiri yang meminta Moggi untuk merekrut Zlatan dari Ajax.
Pun saat mengeluarkannya dari Inter. Tidak ada yang menduga kalau Zlatan akan pergi dari Inter karena ia adalah pemain andalan. Zlatan pun berpesan untuk menolak semua tawaran kecuali dari Barcelona.
Saat Barcelona menawar, Inter juga menolaknya. Raiola tak bisa apa-apa karena Barca enggan menaikkan biaya transfer. Lalu, saat Joan Laporta dan Txiki Begiristain terbang ke Ukraina, Raiola punya ide untuk mengundangnya ke Milan atas nama Presiden Inter, Massimo Moratti.
Padahal, belum ada pembicaraan sebelumnya antara Raiola dengan Moratti. Mau tak mau, Moratti pun menyetujui pertemuan itu. Di akhir pertemuan, Zlatan pun dipastikan bisa pindah ke Barcelona.
Ada hubungan unik antara pemain dengan agen dan klub. Pemain kerap hanya dijadikan komoditas oleh keduanya. Akan tetapi, hubungan pemain dengan agen menjadi lebih personal. Karena agen hidup dari performa si pemain. Di sisi lain, klub kerap menjanjikan segalanya untuk pemain, tapi saat ia tak main bagus, tak jarang pemain di lempar ke tumpukan sampah.
Sementara karier emas pesepakbola berada di kisaran lima sampai delapan tahun. Mereka harus memaksimalkan betul waktu singkat tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Dan wajar kalau banyak pemain yang tak akan menolak kalau diageni oleh Raiola.
Sumber: Forbes