Mircea Lucescu, Rasanya Melatih Klub yang (Pernah) Ia Benci

Mircea Lucescu memang berkebangsaan Rumania. Akan tetapi, kalau bicara soal sepakbola, ia terasa lebih “Ukraina”. Salah satu alasannya, tentu karena trofi yang membuat namanya melegenda.

Sebagai pemain, Lucescu menghabiskan sebagian besar kariernya bersama Dinamo Bucuresti. Ia berhasil meraih enam gelar liga. Usai pensiun, Lucescu melanjutkan kariernya sebagai pelatih. Sempat mengelana ke Italia, Lucescu akhirnya mendapatkan kejayaan di Ukraina bersama Shakhtar Donetsk.

Di tangannya, Shakhtar meraih delapan gelar liga serta satu Piala UEFA pada musim 2008/2009. Ia bertahan di Shakhtar selama 12 tahun, dari 17 Mei 2004 hingga 24 Mei 2016. Lucescu memimpin 573 pertandingan dengan rataan kemenangan mencapai 68 persen!

Kariernya menurun usai gagal bersama timnas Turki pada periode 2017-2019. Ia pun sempat menganggur selama setahun, sebelum tawaran “aneh” itu tiba padanya. Lebih anehnya lagi, ia menerima tawaran tersebut.

Dikecam Kedua Belah Pihak

Sebagai manajer legendaris, tentu kepindahan Lucescu ini menghadirkan banyak pertentangan. Ia adalah simbol kejayaan Shakhtar, tapi justru melatih musuh bebuyutannya. Lucescu dianggap sebagai pengkhianat oleh para pendukung Shakhtar.

Namun, cerita tidak berhenti sampai di situ. Soalnya, Ultras Kyiv juga enggan menerima kehadiran pelatih kelahiran 29 Juli 1945 tersebut. Mereka juga menulis pernyataan soal perekrutan Lucescu:

“Kami ingin percaya kalau ini adalah hoax yang bodoh, tapi ternyata manajemen telah kehilangan akal sehat, kehormatan, dan harga diri mereka. Mereka meludahi wajah penggemar Dynamo dan harus sepenuhnya memahami konsekuensinya.”

Sejarah Panjang Rivalitas Dynamo Kyiv dan Shakhtar Donetsk

Buat penonton awam, kepindahan Lucescu ke Kyiv mungkin bisa dilihat sebagai pindahnya pelatih Liverpool ke Manchester City, misalnya. Pindah dari satu tim kuat ke tim kuat lainnya. Faktanya, tidak demikian. Soalnya, rivalitas Kyiv dan Donetsk jauh lebih besar dari sekadar “tim kuat”.

Kalau ditarik ke era Soviet, Dynamo Kyiv adalah kekuatan utama sepakbola Ukraina. Para pemain terbaik di Ukraina, main di Dynamo. Ini merupakan sesuatu yang umum bagi negara-negara di Soviet untuk punya klub yang punya kualitas timnas. Ada Dinamo Tbilisi di Georgia, Ararat Yerevan di Armenia, Nefthci Baku di Azerbaijan, dan Dinamo Minsk di Belarusia.

Ukraina punya sejumlah tim bagus, tapi para pemain akan selalu bermuara ke Kyiv. Alasannya? Karena mereka punya kekuatan lewat dukungan dari pemerintah.

Ini yang membuat klub lain di Ukraina hidup dalam bayang-bayang. Setelah Soviet runtuh, dominasi Dynamo Kyiv masih terlihat hingga 2004. Titik baliknya terjadi pada 1996 ketika pebisnis kaya Ukraina, Rinat Akhmetov, menjadi presiden Shakhtar Donetsk. Ia menanamkan investasi gila-gilaan agar Shakhtar bisa menjadi kekuatan besar di Ukraina.

Dynamo meremehkan Shakhtar. Soalnya, di era Soviet, Shakhtar tak pernah benar-benar menjadi ancaman. Sampai akhirnya, Shakhtar menunjuk Lucescu sebagai pelatih pada 2004. Hebatnya, Lucescu mampu menjawab tantangan untuk menggeser Dynamo Kyiv sebagai kekuatan sepakbola Ukraina.

Bagaimana tidak? Lucescu langsung mempersembahkan gelar di tahun pertamanya. Dalam 10 tahun, delapan gelar liga telah ia persembahkan!

Revolusi Lucescu Bersama Shakhtar

Secara permainan di atas lapangan, Kyiv mengandalkan kecepatan dan kemampuan fisik. Untuk mengatasi itu, Lucescu menjadikan Shakhtar bermain umpan-umpan pendek. Lewat pemantauan, Lucescu pun mendaratkan sejumlah pemain Brasil yang sesuai dengan gaya main Shakhtar yang baru.

Pertarungan juga hadir di media. Lucescu bukanlah tipe yang cukup hanya dengan kemenangan di atas lapangan. Di setiap ada kesempatan, misalnya di depan media, ia selalu melawan Dynamo tanpa henti dan sepenuh hati dengan mengkritik mereka. Yang paling utama adalah tuduhannya soal Kyiv yang mendapatkan perlakuan istimewa. Ia menggambarkan Shakhtar sebagai orang baik yang menghadapi orang jahat.

Secara politik, rivalitas Shakhtar dengan Kyiv juga panas. Shakhtar adalah klub paling penting di bagian timur Ukraina. Secara sejarah, mereka lebih dekat dengan Rusia. Bahkan, dalam situs resmi Shakhtar, Rusia adalah bahasa bawaannya.

Puncaknya hadir pada 2014 ketika Rusia mengambil alih Semenanjung Krimea dengan mempersenjatai kelompok pemberontak.

Ketegangan ini bikin Shakhtar harus meninggalkan Donetsk dan stadion mereka. Ironisnya, kini mereka main di Kyiv. Meski terusir dan hidup di kota rival, tapi Lucescu masih meneruskan serangannya pada Dynamo.

Setelah Dynamo meraih dua gelar juara beruntun, Lucescu memutuskan untuk pindah. Caranya juga mengundang konflik. Ia pindah ke Zenit St. Petersburg, klub yang disponsori BUMN Rusia, Gazprom.

Mengapa mengundang konflik? Utamanya karena ia pindah ke Rusia, ke tim yang dibiayai BUMN Rusia, yang bisa dibilang adalah perwakilan Rusia itu sendiri. Mengapa Rusia tak disenangi? Karena mereka menganeksasi Crimea yang mana adalah wilayah Ukraina, karena Ukraina kini berkiblat pada dunia “Barat”.

Tiga tahun kemudian, bek terbaik Ukraina, Yaroslav Rakitsky, pindah dari Shakhtar ke Zenit. Dampaknya? Ia dikeluarkan dari timnas!

Kegagalan Lucescu dan Kembalinya ke Ukraina

Di Zenit, Lucescu tak lama. Ia cuma bertahan selama setahun empat hari. Rataan kemenangannya tidak buruk: 62 persen. Namun, masalah muncul ketika ia bertengkar tak habis-habis dengan pemain, manajemen, wasit, dan wartawan.

Akhirnya Lucescu pindah ke Turki. Ia ingin mengulang masa lalu ketika meraih gelar juara bersama Galatasaray dan Besiktas. Akan tetapi, Lucescu tak menangani klub, melainkan timnas. Sayangnya, di timnas Turki, ia mengalami kegagalan. Turki gagal lolos ke Piala Dunia dan UEFA Nations League. Hasilnya, ia pun pergi pada Februari 2019.

Kegagalannya bersama timnas Turki bisa jadi akhir kariernya di sepakbola. Usianya sudah 73 tahun dan kejayaan sudah pernah ia raih.

Sampai akhirnya, teman Lucescu, Alexandru Spiridon, mengumumkan kalau Lucescu akan mencari pekerjaan lain dan bahkan akan kembali ke Ukraina.

Suporter Shakhtar bersemangat mendengarnya. Namun, Lucescu membantah. Soalnya, Shakhtar sudah punya Paulo Fonseca yang terbilang berhasil. Ia memang membangun sistem di Shakhtar dan masih berjalan sampai sekarang. Akan tetapi, ia tak ingin merusak itu semua dengan kembali ke Shakhtar. Soalnya, setelah Lucescu pergi, Shakhtar meraih empat gelar liga.

Setahun setelah berita tersebut, Lucescu mendarat di Ukraina. Bukan di Donetsk, tapi di Kyiv.

Hampir Gagal di Kyiv

Sebelumnya, Dynamo Kyiv menunjuk legenda mereka, Alyaksandr Khatskevich dan Oleksiy Mikhaylichenko. Namun, keduanya gagal sebagai manajer. Ini membuat pemilik klub, Ihor Surkis, memutuskan untuk mengubah arah sekalian; dan Lucescu dianggap sebagai penyelamat yang paling mungkin didatangkan.

Perekrutan Lucescu mendapatkan pertentangan. Salah satunya dari jurnalis Tribuna, Ilya Novikov. Ia bilang kalau Surkis, sebagai pemilik Kyiv, tak memahami sepakbola Eropa dengan baik.

Surkis tak memilih pelatih berkebangsaan Rusia karena situasi politik yang tak mendukung. Sementara Lucescu adalah sosok yang sudah kenal dengan sepakbola Ukraina. Ditambah lagi, Lucescu punya catatan yang bagus ketika menangani Shakhtar. Ini yang bikin Surkis menyingkirkan faktor rivalitas saat menunjuk Lucescu.

Ultras Dynamo jelas tak senang karena di masa lalu, Lucescu kerap menyuarakan kritikannya. Mereka bahkan meminta para pegawai Dynamo untuk segera resign!

Protes ini menghadirkan tekanan besar yang bikin Lucescu membatalkan kesepakatan dengan Dynamo. Namun, Surkis menolak pengunduran diri tersebut. Ia mengirimkan surat dan meyakinkan Lucescu untuk melanjutkan kesepakatan tersebut. Surkis menulis: “Perasaan sejumlah fantas tak bisa menjadi faktor penentu dalam masa depan klub.”

Wajar kalau fans Dynamo marah. Soalnya, Lucescu memang suka bikin naik darah. Setahun sebelumnya, ia mengkritik Lobanovsky, yang wafat pada 2002, karena ada di peringkat keenam dalam daftar “Pelatih Terhebat” versi France Football. Di sisi lain, ia cuma ada di peringkat ke-41.

Saat ia tiba di Kyiv sebagai pelatih anyar mereka, Lucescu langsung membikin gimmick dengan membawa karangan bunga yang ia taruh di depan patung Lobanovsky seraya bilang: “Aku sangat menghormatinya.”

Di laga pertamanya menghadapi Olimpik Donetsk, Lucescu berhasil membawa timnya menang 4-1. Akan tetapi, dalam laga yang digelar tanpa penonton ini justru diakhiri dengan masuknya suporter yang mencaci maki Surkis serta Lucescu.

Laga penting lainnya adalah pertandingan Piala Super Ukraina menghadapi Shakhtar. Di laga itu, Dynamo menang 3-1 tapi protes terhadap Lucescu tetap tak berhenti. Meski demikian, Lucescu tak mau ambil pusing. Ia ingin fokus bekerja dan menunjukkan kalau dirinya benar-benar profesional.

Salah satu caranya adalah dengan tinggal di tempat latihan Dynamo. Ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk menghindari kontak dengan para penggemar. Ketika ditanya soal Shakhtar pun, Lucescu selalu menolak untuk menjawab. Ia berusaha untuk memberi jarak pada masa lalunya.

Lucescu sendiri bilang kalau hubungannya dengan fans Shakhtar juga rusak karena ia bekerja untuk Dynamo. Namun, keinginannya untuk terlibat lagi di sepakbola sudah kepalang besar. Ia menganggap sepakbola adalah bagian dari hidupnya sementara ia sudah menganggur selama setahun. Sehingga ketika ada tawaran untuk melatih lagi, ia sulit untuk menolaknya.

Di musim pertamanya bersama Dynamo Kyiv, Lucescu hebatnya berhasil memberikan mereka gelar juara. Dari 26 pertandingan, Kyiv hanya sekali kalah. Mereka ada di atas musuh bebuyutannya, Shakhtar, dengan selisih 11 poin. Sebagai pelengkap, Lucescu juga mengantarkan Dynamo menjuarai Ukrainian Cup musim lalu.

Bagaimana dengan musim ini? Hingga pekan ke-18, Dynamo ada di peringkat kedua di bawah Shakhtar dengan selisih dua poin. Bukan tidak mungkin mereka akan menyusul dan memberikan Lucescu trofi liga kedua secara beruntun buat klub yang pernah ia sangat benci, Dynamo Kyiv.

Sumber: BBC.com